GALUH SEKAR TEWASÂ
Oleh Wahyudi Nugroho
Hampir tengah malam Badra sampai di pesanggrahan Candi Jalatunda. Ia segera turun dari atas kuda. Setelah mengikat tali kendali hewan itu di dahan pohon perdu, ia segera bergegas menghadap Pangeran Erlangga.
Kebetulan Pangeran Erlangga baru saja menyelesaikan meditasinya. Bersama Senopati Narotama beliau menerima kedatangan prajurit penghubung itu.
"Ketiwasan, Gusti Pangeran. Celaka !!! " katanya dengan nafas terengah-engah.
"Ada berita buruk Badra, segera laporkan !!" Kata Pangeran.
"Prajurit penjaga istana Giriwana tidak mampu menahan barisan lawan Gusti. Jumlahnya dua kali lipat dari kekuatan kami. Terpaksa kami meninggalkan medan." Lapor Badra.
"Laporanmu berbongkah-bongkah Badra. Itupun kau ambil ujungnya saja. Coba ceritakan lebih terinci. " kata Senopati Narotama.
"Ampun senopati. Saya kehilangan ketenangan pikiran dan hati untuk bisa melapor secara rinci. Peristiwa di istana benar-benar mengguncangkan hati kami." Jawab Badra.
"Kau seorang prajurit. Jangan gampang kehilangan kendali atas pikiran dan hati. Belajarlah untuk selalu tenang dan jernih, dalam menanggapi setiap keadaan." Pesan Senopati Narotama.
"Sendika Gusti." Kata Badra.Â
Lelaki itu segera menarik nafas dalam dan menghembuskan udara lewat mulut dengan pelan. Demikian ia lakukan beberapa kali. Setelah debar didadanya reda ia mulai bercerita.
"Sehari setelah Gusti pangeran pergi tetirah, esoknya, menjelang fajar, kuda-kuda prajurit disatroni musuh. Dengan panah beracun mereka berhasil membunuh hewan-hewan itu lebih dari separo jumlah kuda yang kami miliki. Tak satupun musuh yang bisa kami tangkap. Mereka kabur setelah prajurit Giriwana bergerak.
Kakang Jalak Seta hari itu juga mempersiapkan pertahanan. Ia yakin pembunuhan atas kuda-kuda prajurit itu akan disusul dengan penyerangan berikutnya.
Dengan membagi prajurit menjadi tiga kelompok, kakang Jalak Seta menyusun tiga lapis pertahanan. Lapis pertama di perintah memantau dan menghadang musuh pada jarak seribu tombak dari istana, di empat penjuru angin. Lapis kedua di belakang tembok halaman Nistha Mandala, dilengkapi dengan senjata panah api dan panah-panah tajam. Dan lapisan terakhir menjaga istana di Madya Mandala.
Esok hari menjelang fajar kami dikagetkan oleh sorak sorai musuh dari selatan. Prajurit dilapis pertama dari arah itu rupanya tak mampu menghadang lawan. Mereka berlarian mundur, dan berhasil melewati tumpukan jerami persediaan pakan kuda yang kami sebar di lapangan terbuka. Bumbung-bumbung bambu berminyak terselip di bawahnya. Ketika prajurit lapis pertama melintas, mereka menggulingkan bumbung-bumbung itu. Maka siaplah penyambutan atas kedatangan prajurit musuh dengan kobaran api.
Tak berapa lama kami menunggu, sebentar kemudian bermunculan orang-orang bercawat dari hutan perdu. Mereka bersenjata pedang yang mereka acung-acungkan keatas dan sebuah tameng kecil sebesar caping bambu. Pergerakan mereka bisa kami pantau karena cahaya beberapa obor yang kami pasang di tanah lapang.
Ketika sebagian besar orang-orang bercawat melewati tumpukan jerami, pasukan Giriwana pada lapis kedua menyambutnya dengan panah berapi. Serentak orang-orang bercawat itu berhenti, untuk menangkis panah-panah api itu. Namun panah api yang jatuh ketanah segera membakar jerami berminyak yang menutupinya. Maka berkobarlah api yang besar membakar arena jebakan itu.
Prajurit musuh mundur. Menunggu kobaran api jerami padam. Apa yang dialami orang-orang bercawat dari arah selatan itu, juga dialami oleh gerombolan serupa dari barat. Mereka tak berani menerobos kobaran api jerami itu, entahlah apa sebabnya. Mungkin takut dengan panah-panah tajam yang telah kami persiapkan, dan sudah memakan korban dari mereka yang datang menyerang.
Beberapa saat mereka menahan diri. Ada yang duduk atau diam berdiri. Namun ada pula yang mondar mandir berjalan kesana kemari, namun tetap menjaga jarak dari jangkauan panah-panah kami.
Sebagian menggoda para prajurit panah dengan membawa ranting ranting pohon, mendekati pagar istana agar jadi sasaran bidik prajurit Giriwana. Namun kami tidak mau terpancing dengan aksi mereka yang hanya ingin menguras anak-anak pan)ah kami.
Namun Gusti Pangeran.
Keadaan berbalik setelah matahari naik sepenggalah. Dari arah utara datang pula musuh, mereka melengkapi diri dengan panah-panah api. Atap sirap kayu istana Giriwana menjadi sasaran anak-anah panah yang turun deras seperti air hujan. Kepanikan terjadi. Sebagian prajurit berusaha untuk memadamkan api yang mulai membakar atap itu, mereka lupa bahwa musuh telah mengepung di luar.
Kesempatan itu dimamfaatkan orang-orang bercawat untuk bergerak mendekati istana. Dengan formasi menyebar mereka mengurangi resiko untuk terhadang dan tertembus anak-anak panah. Maka sebentar kemudian perang brubuh tanpa gelar segera berkobar di halaman istana.
Meski prajurit berkuda mampu mengurangi jumlah lawan yang hendak melompat pagar istana saat itu, namun jumlah mereka benar-benar besar sekali. Seperti banjir bandang mereka melanda pasukan kami, hingga akhirnya kami berusaha menghindar lewat pintu butulan istana bagian timur.
Orang-orang bercawat itu terus mengejar para prajurit. Mungkin besok pagi mereka akan tiba di sini jika sisa-sisa prajurit Giriwana itu terlacak hendak bergabung dengan pasukan di candi Jalatunda.
Demikian laporan saya Gusti. Karena besarnya prajurit musuh, alangkah baiknya jika semua yang ada di pesanggrahan ini mengungsi Gusti. " kata Badra mengakhiri laporannya.
Pangeran Erlangga dan Senopati Narotama menarik nafas dalam, setelah mendengar laporan lengkap Badra, prajurit penghubung itu.
"Bagaimana pendapatmu kakang Narotama ?" Tanya pangeran Erlangga menoleh dan menatap mata senopati andalannya.
"Kita ikuti saran Badra dulu dinda Pangeran. Kita ungsikan keluarga besar istana ke tempat yang aman dulu. Peristiwa ini benar-benar di luar dugaan kami, dan menunda upaya kita dari rencana besar yang telah kita persiapkan." Kata Senopati Narotama.
Maka dengan sedikit tergesa-gesa mereka segera menyiapkan para pengikut pangeran Erlangga untuk meninggalkan pesanggrahan di halaman candi Jalatunda itu. Setelah semuanya siap segera mereka berangkat, menerobos gelap malam dan hutan perdu di lereng gunung Penanggungan menuju ke arah utara.
Menjelang fajar mata mereka telah menangkap gemerlap air sungai Brantas yang mengalir tenang. Permukaan air mengalir itu tertimpa cahaya pagi, menimbulkan bayangan dalam angan laksana sisik naga raksasa yang tengah berjalan.Â
Namun semua hati pasukan yang bergerak mengungsi itu sama sekali tak mampu menangkap keindahan yang terpancar dari pemandangan alam yang terpapar di hadapan mereka.
Jalan mereka justru agak tergesa-gesa, ingin lekas sampai di tepian sungai raksasa itu. Jika mereka dapat menyebrang, maka mereka akan bisa sedikit bernafas lega. Dari sebrang sungai mereka bisa menyusun pertahanan sementara, untuk menghadang prajurit musuh yang mungkin terus mengejar mereka.
****
Di saat Badra tengah menghadap Pangeran Erlangga, dengan gigih prajurit Giriwana terus memberikan perlawanan sengit. Mereka masuk ke dalam hutan, menggunakan gelap malam dan batang-batang pohon di hutan itu sebagai perisai. Mereka dapat membedakan lawan dengan mudah, karena semua lawannya hanya bercawat.
Dengan gerak cepat masing-masing prajurit menyerang lawan, menusukkan tombak atau menyabetkan pedang, kemudian lari menghilang dan berlindung di balik-balik pohon.
Menghadapi bahaya yang besar bagi prajuritnya, Yuyu Rumpung memerintahkan pasukannya untuk mundur dan keluar dari lebatnya hutan.
Namun prajurit Giriwana terus mengikuti gerak mundur lawan. Sekali-sekali mereka menyerang dan menjatuhkan musuh. Namun usaha mereka berhenti ketika orang- orang bercawat itu telah keluar hutan dan bergabung dengan kawan-kawannya.
Mendengar perintah bersambung dari lawannya agar mereka mundur, Jalak Seta segera memperdengarkan suara burung Bence yang tengah menciat-ciat. Isyarat sandi itu telah dikenal oleh para prajuritnya agar mereka segera berkumpul di tempat suara itu berasal. Sebentar saja mereka telah bergerombol mengelilingi pemimpinnya.
"Kita lanjutkan gerak mundur kita. Kita buat pertahanan baru di hutan timur desa terakhir. Jika prajurit lawan bergerak ke tempat pesanggrahan Gusti Pangeran Erlangga kita hadang. Agar memberi kesempatan bagi Gusti Pangeran dan keluarganya mengungsi dari halaman candi Jalatunda."
Demikian perintah Jalak Seta. Iapun mendahului bergerak, melangkahkan kakinya menerobos gelap malam menuju ketimur. Menjelang pagi mereka telah sampai di hutan lebat di timur desa untuk membuat pertahanan baru.
Pagi itu mereka memiliki cukup waktu beristirahat di hutan pinggir desa. Sebagian dari mereka masuk hutan lebih dalam untuk mengumpulkan bahan pangan yang dapat mereka pakai untuk mengisi perut. Beberapa buah-buahan mereka kumpulkan, demikian pula beberapa jenis pala kependem mereka dapatkan. Segera mereka bawa barang-barang itu ketempat teman-temannya berkumpul.
Dengan makan beberapa butir buah-buahan yang mereka petik di hutan, dan pala-pala kependem yang mereka bakar cukup sudah mereka mengembalikan tenaga yang terkuras dalam perang brubuh semalam.
Matahari terus bergerak. Di bawah rindangnya hutan mereka sempat tidur sejenak. Mereka terbangun saat terdengar suara sorak-sorai barisan prajurit lawan yang sebentar lagi melintasi jalan yang membelah hutan itu. Dengan sigap mereka segera mencabut senjata, dan mencari tempat untuk mengintip barisan lawan yang tengah berjalan.
Mereka menunggu aba-aba untuk menyerang pasukan lawan yang telah melintas di depan mereka. Namun aba-aba itu terasa tidak kunjung datang. Pasukan prajurit istana Giriwana sudah tak sabar. Mereka mengira serangan pendadakan dalam pencegatan itu dibatalkan.
Namun ternyata tidak. Ketika barisan tinggal terlihat ekornya segera bunyi suara burung kedasih terdengar. Dengan sigap prajurit Giriwana berlari keluar dan menerjang ekor pasukan lawan.
Orang-orang bercawat di ekor barisan itu sempat gugup. Prajurit Giriwana tanpa mereka duga bermunculan dari hutan di kanan kiri jalan yang mereka lewati. Sebuah pertempuran sengit berlangsung sejenak. Keributan pada ekor barisan itu menyebabkan gerak barisan berhenti.
Ketika orang-orang bercawat yang berada di ujung kepala barisan berbalik badan, dan hendak bergerak untuk membantu kawan-kawannya di ekor barisan, sebuah anak panah sendaren terdengar. Ternyata itu aba-aba agar pasukan panah Giriwana beraksi. Dengan cepat ratusan anak panah meluncur membidik punggung-punggung orang-orang bercawat itu.
Jerit kesakitan dan caci maki terdengar. Sebagian orang-orang bercawat itu tertembus punggungnya dan jatuh menelungkup di atas tanah. Kepanikan terjadi sebentar di antara orang-orang bercawat itu. Namun musuh-musuhnya tidak melanjutkan serangan.
Setelah beberapa korban berhasil mereka jatuhkan, segera prajurit Giriwana lari dan masuk hutan lagi. Demikian pula yang dilakukan prajurit-prajurit yang menyerang ekor barisan lawan. Setelah pedang mereka berhasil memakan korban, segera mereka melompat lari masuk hutan, untuk bergerak lagi ke tempat baru agar terus bisa mengganggu laju perjalanan barisan lawan.
****
Sementara itu rombongan Pangeran Erlangga telah mencapai tepian sungai Brantas. Namun mereka tak dapat menyebrang sungai itu karena tak ada satupun gethek  di sana. Terpaksa mereka harus membuat gethek-gethek dulu agar mereka bisa segera terhindar dari kejaran lawan.
Senopati Narotama segera menjatuhkan perintah, agar sebagian pasukannya mencari batang-batang bambu di hutan sekitar sungai itu. Tanpa perlu diulang perintahnya, prajurit itupun segera tahu apa yang harus dikerjakan. Mereka bergegas masuk hutan dan menebangi bambu, dan menyeretnya ke tepian.
Kesibukan di tepian Brantas itu sedikit mengurangi kewaspadaan mereka. Tanpa mereka ketahui sepasang mata tengah mengawasi mereka. Tahu bahwa rombongan Pangeran Erlangga terhalang laju perjalanannya oleh aliran sungai Brantas, segera lelaki itu melangkah surut dan bergegas lari menuju seekor kuda yang ia tambatkan di pinggir hutan.
Setelah mencapai tempat kuda itu ia segera melompat naik kepunggung hewan tunggangannya. Dengan menarik salah satu tali kendali kuda itu berputar dan melompat lari setelah tumit lelaki itu menyentuh perut kuda.
Dengan kencangnya kuda itu berlari melewati jalan yang baru dilalui oleh rombongan pangeran Erlangga. Ketika mencapai jalan besar ia belok ke kanan, menuju istana Giriwana. Ia harus segera melaporkan hasil kerjanya memata-matai pergerakan pasukan pengikut pangeran Erlangga.
Di jalan tengah hutan ia menemui sebuah barisan yang baru berbenah setelah dikacaukan oleh sergapan pasukan lawan. Segera ia bergegas turun dan menuntun kudanya berjalan untuk menghadap pimpinan pasukan itu.
Yuyu Rumpung yang tahu kehadiran seorang prajurit sandi Lhodhoyong, segera memerintah anak buahnya untuk mencari Maha Dewi Panida di tengah barisan orang-orang bercawat itu. Tidak lama kemudian mereka berkumpul.
"Adakah berita penting yang kau bawa ?" Tanya Maha Dewi Panida.
"Hamba Maha Dewi. Ada berita yang harus segera saya sampaikan." Jawab prajurit sandi itu sambil menundukkan kepala. Lelaki itu sama sekali tak berani mendongakkan kepala untuk menikmati pemandangan indah di depannya.
"Segera laporkan...!!!"
" Sendika Gusti Ayu. Tengah malam rombongan pangeran Erlangga meninggalkan pesanggrahan di halaman candi Jalatunda. Dikawal limaratusan prajurit mereka merebos hutan perdu di lereng gunung Penanggungan di tengah gelap malam. Pagi tadi mereka sampai di tepian Brantas. Namun karena tak ada gethek mereka tak dapat menyebrang."Â
"Lantas ?"
"Beberapa prajurit masuk hutan dan menebangi batang bambu, kemudian menyeret batang-batang bambu itu ke tepian. Bisa jadi kini mereka sibuk membuat gethek untuk digunakan menyebrangi sungai Brantas."Â
"Jika lima ratus prajurit dikerahkan untuk membuat gethek, dalam waktu singkat mereka akan bisa membuat lima puluh buah gethek. Dengan dua kali angkut gethek-gethek itu akan segera bisa menyebrangkan rombongan itu ke tepian sebelah utara. Kita bawa pasukan ini kesana." Kata Maha Dewi Panida.
"Apakah waktu kita cukup untuk mengejar mereka ?" Kata Yuyu Rumpung.
"Aku akan mendahului bersama empat pengawalku. Berkuda. Kebetulan kita berhasil merebut lima ekor kuda milik pasukan Giriwana." Jawab Maha Dewi Panida.
"Tidakkah itu berbahaya bagi Gusti Ayu ?" Tanya Yuyu Rumpung.
"Aku akan mengawasi saja pergerakan mereka dari jauh. Sambil menanti kedatangan pasukanmu. Mudah-mudahan kita tidak terlambat untuk menyergap mereka bersama-sama."
"Jika demikian alangkah baiknya Gusti Ayu membawa busur dan anak panah." Saran Yuyu Rumpung.
"Baik. Coba carikan senjata itu untukku. Syukur ada lima busur dan andong yang penuh anak panah." Kata Maha Dewi.
Yuyu Rumpung segera memerintah salah seorang prajuritnya untuk mencari busur dan anak-anak panah untuk melengkapi persenjataan Maha Dewi Panida. Setelah mendapatkannya segera wanita sangar itu mengajak para pengawalnya untuk mendahului bergerak agar bisa mengawasi sendiri pergerakan rombongan Pangeran Erlangga.
Enam orang segera mendahului perjalanan barisan orang-orang bercawat itu. Mereka melarikan kudanya dengan kencang seperti angin. Prajurit sandi berada di depan sebagai petunjuk jalan, di belakangnya Maha Dewi Panida. Baru kemudian dua pasang prajurit pengawal mengikutinya.
*****
Beberapa buah gethek telah berhasil dibuat oleh para prajurit. Sebagian telah dimasukkan ke sungai. Dengan seutas tali yang mereka buat dari kulit kayu, gethek-gethek itu terikat pada sebuah pathok bambu. Dengan demikian gethek-gethek itu tak hanyut terbawa arus.
Bahkan sebagian telah digunakan untuk mengantarkan para emban menyebrang, mengawani Dewi Kilisuci yang sudah gelisah ingin segera naik gethek melintasi sungai yang besar itu.
"Tidakkah ibunda mengawani saya menyebrang sungai terlebih dahulu ?" Tanya gadis itu.
"Berangkatlah dulu Suci, bersama para emban. Aku akan menyebrang bersama ramamu." Jawab Gusti Ayu Galuh Sekar.
Dengan gembira Dewi Kilisuci mengangguk. Meski sedikit takut karena belum pernah melakukan penyebrangan dengan gethek, namun ia kuatkan hatinya. Bersama beberapa  emban gadis itu mendahului menyebrang.
Tangannya tak berhenti melambai kearah rama dan ibunya, bibirnya tak juga berhenti tersenyum. Betapa ia menikmati pengalaman pertamanya menyebrangi sungai Brantas di bawah ancaman musuh yang terus memburu.
Demikianlah usaha menyebrangi sungai Brantas itu hampir berakhir. Beberapa kali belasan gethek itu hilir mudik untuk mengangkut penumpang yang hendak menyebrang. Tinggal sekali lagi belasan gethek itu menjalankan fungsinya, menyebrangkan pangeran Erlangga bersama kedua istrinya, senopati Narotama dan limapuluhan prajurit.
Semua penumpang telah naik di atas gethek. Pangeran Erlangga bersama kedua istrinya, berdiri di belakang tandu-tandu yang juga telah dinaikkan. Di dampingi senopati Narotama yang selalu siaga menjaga junjungannya.
Ketika gethek-gethek telah bergerak hampir mencapai tengah sungai, tiba-tiba beberapa anak panah melayang di udara menyerang mereka. Seorang tukang satang yang mengendalikan laju gethek yang ditumpangi pangeran Erlangga dan istri-istrinya tiba-tiba terjungkal dan ambruk masuk sungai. Diikuti jerit wanita yang menyayat kesakitan karena ujung anak panah menembus keningnya.
"Dinda...." terdengar teriakkan Pangeran Erlangga yang sigap menolong Gusti Ayu Galuh Sekar. Darah menyembur membasahi muka serta pakaiannya. Gusti Ayu Sri Laksmi segera berjongkok berlindung di balik tandu.
Gethekpun oleng terbawa arus. Seorang prajurit dengan sigap menyeburkan diri kearus sungai dan berenang mengejar gethek yang ditumpangi pangeran Erlangga. Upaya prajurit itu diikuti oleh teman-temannya. Mereka segera naik keatas gethek pangeran dan mengendalikan gethek itu dengan satang yang tertinggal.
Senopati Narotama amatlah marah mengalami peristiwa itu semua. Segera ia tahu dari mana asal anak-anak panah itu. Dengan ketajaman matanya ia melihat ada lima orang meluncurkan anak panah. Bahkan dua orang bercawat dengan beraninya membidik sambil berdiri di atas batu.
Tanpa pikir panjang senopati Narotama menarik pedang pusakanya. Sesaat ia diam sebentar, getaran ilmu dahsyat yang mengalir dari jantungnya merambat dengan cepat kepermukaan bilah pedangnya. Cahaya kuning gemerlapan memancar dari bilah pedang itu.
"Ciaaaaatttt" teriak senopati Narotama sambil menyabetkan pedang dengan gerakkan menyilang. Cahaya kuning melesat dari ujung pedang, seperti kilat menghantam dua orang yang masih terus memainkan busur dan anak panah. Namun kena hantaman cahaya kuning itu tiba-tiba tubuh dua orang itu meledak dan hancur berkeping-keping.
Peristiwa mengerikan itu tak berhenti sampai di situ. Bebatuan besar yang dipakai sebagai persembunyian tiga orang lainnya juga meledak dan hancur berantakan. Tiga orang bercawat yang berapa di belakang bebatuan itu terpental beberapa puluh tombak dan jatuh bergulingan di tanah. Bahkan beberapa pohon di sekitar tempat itu tiba-tiba juga roboh. Suaranya berderak-derak menakutkan.
Maha Dewi Panida yang bergulingan di tanah akibat terpental karena bebatuan di depannya meledak, meriut hatinya menyaksikan itu semua. Ia segera merunduk-runduk lari meninggalkan tempat itu. Setelah mendapatkan kudanya ia segera meloncat naik dan melarikan kudanya dengan kencang. Wanita itu tak peduli lagi apakah para pengawalnya selamat.
Sementara gethek yang ditumpangi pangeran kian merapat di pinggir sungai. Segera para prajurit mengangkat tubuh Gusti Ayu Galuh Sekar ke darat. Dengan bebeberapa lembar daun pisang sebagai alas, tubuh permaisuri pangeran Erlangga itu ditelentangkan.Â
Ketika seorang tabib rombongan itu datang, dan meletakkan jarinya di leher permaisuri, lelaki tua geleng kepala.
"Ampun pangeran. Gusti Ayu Galuh Sekar sudah tak dapat ditolong lagi. Beliau telah wafat." Â Kata tabib.
Suara itu terdengar pula di telinga Dewi Kilisuci. Tiba-tiba gadis itu menjerit. Setelah merangkul tubuh ibunya sebentar, gadis itupun jatuh tak sadarkan diri. Pingsan.
(Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H