Mohon tunggu...
Wahyudi Nugroho
Wahyudi Nugroho Mohon Tunggu... Freelancer - Mantan MC Jawa. Cita-cita ingin jadi penulis

Saya suka menulis, dengarkan gending Jawa, sambil ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Bab 51 Tembang Tantangan

10 September 2024   14:51 Diperbarui: 10 September 2024   19:21 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

TEMBANG TANTANGAN

Oleh : Wahyudi Nugroho

Pagi itu terlihat empat orang melangkahkan kaki keluar dari barak prajurit, mengayun kaki berjalan menuju istana. Mereka adalah Senopati Wira Manggala Pati, Sembada, Sekar Arum dan Kala Bajra.  Bergiliran empat orang itu masuk lewat gapura bentar atau arga belah, gapura yang dibentuk seperti sebuah gunung yang terbelah jadi dua.

Sembada berdecak kagum melihat bangunan megah yang baru tampak atapnya itu. Setelah memasuki gapura pertama, mereka harus berjalan melewati tanah lapang yang luas. Tanah lapang itu baru ditanami rerumputan, namun belum kelihatan rumput-rumput itu bersemi dan menghijau daunnya.

Mereka berjalan menuju gapura kedua.  Gapura yang sering disebut paduraksa itu bentuknya berbeda. Gapura paduraksa berwujud utuh, tidak seperti gapura bentar yang terkesan terbelah. Gapura ini memisahkan tanah lapang dan halaman utama kraton.

Sekar Arum tidak begitu heran dengan berbagai bangunan  di Istana Giriwana itu. Sebuah bangunan yang dikelilingi tembok tebal, dengan dua pintu masuk berupa gapura, bentar atau arga belah dan paduraksa. 

Ia telah sering keluar masuk istana Medang Kamulan. Rupanya istana Giriwana tak jauh beda dengan istana Medang yang sangat terkenal indahnya. Para kawula memuji keindahan Istana Medang mirip Kaendran, Istana Bathara Indra.

Namun gadis itu sedikit heran, istana Giriwana dirasakannya lebih menyerupai tempat suci, ketimbang sebuah keraton tempat penguasa memerintah sebuah negeri. Bangunan itu lebih memanifestasikan konsep Tri Mandhala, sebuah keyakinan bahwa alam semesta terbagi dalam tiga ranah yang masing-masing sangat berbeda. Nistha Mandhala, Madya Mandhala dan Utama Mandhala.

Gapura bentar atau Arga Belah memisahkan Nistha Mandhala dengan Madya Mandhala. Sedangkan Gapura Paduraksa memisahkan Madya Mandhala dengan Utama Mandhala.

Beberapa calon bangunan nampak pula di tiga mandhala itu. Terutama di wilayah Madya Mandhala, di sana terlihat beberapa fondasi bangunan sedang ditata. 

Adakah Pangeran Erlangga tidak ingin menjadi raja ? Tetapi justru bercita-cita menjadi pertapa suci ? Entahlah. Gadis itu tentu tidak mengerti pikiran apa yang bersemayam dalam kepala menantu Prabu Dharmawangsa itu.

Di depan gapura padureksa Sembada dan Sekar Arum berhenti sebentar. Mereka memandang keindahan bangunan yang terbuat dari batu kali itu. Betapa megah, terukir rumit, dan indah.

Bangunan gapura itu cukup tinggi, mungkin lebih dari sepuluh tombak. Berdiri di atas tanah yang juga lebih tinggi dari wilayah Madya Mandhala. Untuk masuk pintu gapura yang cukup sempit itu harus naik lewat sebuah selasar berundak, yang diapit oleh dua lidah tangga yang halus. Masih ada tangga pendek di depan pintu gapura itu. Itulah bagian lantai bangunan.

Badan bangunan adalah tiang batu penyangga atap gapura. Sedikit dari ujung atas tiang terdapat hiasan sulur tanaman, sehingga tangga terkesan tidak terlalu tinggi.

Sebuah relif kala bermata melotot besar dan bertaring runcing nampak menghiasi bagian atap tepat di atas pintu. Sementara puncak atap berupa batu kubus yang sangat besar.

Setelah lewat pintu gapura paduraksa masuklah mereka di bagian utama istana di Utama Mandhala. Beberapa bangunan di sana sudah jadi, hanya saja pohon-pohon yang ada belum nampak rindang daunnya. Pasti pohon-pohon itu baru ditanam.

Dok.istagram. gapura paduraksa
Dok.istagram. gapura paduraksa

Namun bangunan-bangunan di sini bukan bangunan-bangunan suci, tempat melakukan upacara keagamaan, namun lebih memperlihatkan ciri sebagai bangunan -bangunan kraton tempat raja memerintah negeri.

Empat orang itu berjalan lewat sebuah lorong menuju bale Prabayeksa. Tempat di mana Pangeran Erlangga bercengkrama dengan Narotama, pemimpin seluruh prajurit yang ikut mengungsi di Wawatan Mas itu.

Ketika mereka hendak menaiki tangga bale Prabayeksa, mereka bertemu dengan Dyah Tumambong. Dengan ramah lelaki itu menyapa duluan para tamu yang baru datang.

"Selamat datang kakang Manggala. Kalian telah ditunggu Gusti Pangeran dan Gusti Senopati Narotama." Katanya ramah seolah ia tidak pernah melakukan kesalahan apa-apa terhadap orang-orang yang dipersilahkannya.

Senopati Manggala menatapnya dengan pandangan tajam saat menyalaminya. Namun Dyah Tumambong menghindari tatapan mata senopati itu.

"Mari mari kakang silahkan masuk."katanya sambil tersenyum kecut.

"Terima kasih Adi Tumambong. Hampir saja aku terlambat menghadap" kata senopati menyindir.

"Ahhh tidak kakang. Beliau berdua juga baru saja bercengkrama." Kata Dyah Tumambong pura-pura tak paham.

Saat menyalami Sembada nampak Dyah Tumambong kepingin memperlihatkan kekuatannya. Ia pegang telapak tangan Sembada dengan kuat dan ia remas dengan keras memakai seluruh tenaga sakti yang ia miliki.

Secara spontan Sembada bereaksi. Namun ia tidak memakai sisi keras dari Aji Tapak Naga Angkasa, sebaliknya ia gunakan sisi lembut dan lemas aji itu. Ketika jemarinya diremas oleh jemari tangan Dyah Tumambong, seperlu kulit belut yang sangat licin jemari itu terlepas dengan sendirinya.

"Maaf tuan. Telapak tangan saya baru saya lumasi dengan minyak kelapa." Kata Sembada lirih sambil tertawa.

"Syetan. Tangan demit." Kata Dyah Tumambong.

Ketika lelaki itu mengulurkan tangan kepada Sekar Arum, gadis itu tak mau menyambutnya. Ia berpegang lengan Sembada dan bergegas menghindari tatapan mata yang sedikit kurang ajar dari lelaki itu.

"Awas. Kemana kau pergi akan aku kejar gadis." Bisiknya lirih.

Sembada dan Sekar Arum tidak mau menanggapinya. Mereka mengikuti Senopati Manggala dan Kala Bajra masuk ruang Bale Prabayeksa. Telapak kaki mereka merasakan dingin ketika menginjak lantai bale prabayeksa yang terbuat dari batu hitam yang digosok halus itu.

"Rahayu Paman Manggala. Aku kepingin segera mendengar laporanmu." Seorang lelaki gagah dan tampan bersanggul rambut di atas kepala dan berjubah kuning menyapanya, setelah senopati dan dua orang muda-mudi itu duduk di depannya. Dialah Pangeran Erlangga yang sehari-hari menyukai pakaian pendeta ketimbang pakaian ala ksatria.

"Rahayu Pangeran. Semua tugas telah aku tunaikan. Termasuk membawa dua anak-anak muda yang berhasil membawa dua pusaka Medang yang hilang."  Jawab Senopati Manggala.

"Benarkah pemuda ini yang kau sebut bernama Sembada, Kakang Narotama ?" Tanya Pangeran Erlangga sambil memandang Sembada. Pemuda itu tak dapat mendongakkan mukanya. Ia rasakan perbawa Pangeran Erlangga besar sekali.

"Benar Dinda Pangeran. Dialah yang mewarisi seluruh ilmu Pamanda Kidang Gumelar, pendekar dan senopati jaman ayahanda Prabu Dharmawangsa. Ia ternyata anak Paman Manggala yang baru aku ketahui belakangan." Jawab Senopati Narotama. Pangeran Erlangga mengangguk-anggukkan kepala.

"Sedangkan gadis ini ?" Tanya Pangeran Erlangga.

"Ia putri Tuan Gajah Alit, tumenggung jaman Medang Kamulan masih jaya, sekaligus junjungan hamba sebagai pemimpin pasukan pengawalnya, Pangeran. Namanya Sekar Arum. Murid pendekar wanita dari lereng gunung Arjuna, yang terkenal dengan julukan Si Walet Putih Bersayap Pedang." Jawab Senopati Manggala.

"Si Walet Putih Bersayap Pedang ? Aku pernah mendengar namanya. Beliau pernah mengembara sampai pulau Bali, ikut memadamkan pemberontakkan di sana." Kata Pangeran Erlangga sambil memandang Sekar Arum.

"Siapa tadi namamu gadis ?" Tanya Pangeran.

"Hamba Sekar Arum Pangeran." Jawab Sekar Arum agak bergetar.

"Yah. Jasa kalian berdua besar sekali bagi negeri yang hendak kita susun lagi, setelah Medang Kamulan hancur ditelan Mahapralaya. Baru saja kami berbincang tentang kalian berdua, apa imbalan yang pantas bagi kalian." Kata Pangeran.

"Kami sekedar menjalankan tugas yang diperintahkan Gusti Senopati Narotama, Pangeran. Tidak mengharapkan imbalan apapun." Kata Sembada.

Pangeran Erlangga tertawa. Ia semakin tertarik menjadikan pemuda itu sebagai salah satu rakyan di negeri yang hendak ia dirikan kelak. Ia telah memperbincangkannya tadi dengan senopati Narotama.

"Sembada, dan kau Sekar Arum, aku sudah banyak memperoleh keterangan tentang dirimu, baik dari Kakang Narotama, maupun dari para prajurit sandi yang aku tebarkan. Dari sanalah aku berniat mengangkatmu menjadi salah satu rakyan untuk kerajaan yang hendak kita dirikan. Agar kalian berdua sepenuhnya bisa membantuku kelak. Apakah kalian mau ? " Tanya pangeran Erlangga.

"Ini anugrah bagi kami berdua Pangeran. Pangeran berkenan meminta kepada kami untuk membantu tuan." Jawab Sembada.

"Yah, kalian aku tugaskan untuk menghimpun pemuda dan pemudi  di wilayah selatan yang berminat menjadi prajurit. Kelak kesatuan prajuritmu akan aku jadikan pasukan khusus yang menjadi benteng pertahanan negeri yang hendak kita dirikan." Kata Pangeran.

"Kami mau pangeran. Tugas itu akan kami kerjakan sebaik-baiknya." Jawab Sembada.

"Segala kebutuhan untuk melaksanakan tugas itu laporkan kepada Kakang Narotama, seluruh biaya akan menjadi tanggung jawabku. Tugasmu hanya menggembleng para pemuda dan pemudi itu untuk menjadi prajurit yang tangguh." Kata Pangeran Erlangga.

"Terima kasih pangeran. Perintah pangeran akan hamba junjung tinggi."kata Sembada.

"Sebagai senopati yang kelak bertanggung jawab di daerah selatan, gelar namamupun telah kami pilihkan. Dalam catatan riwayat Senopati Kidang Gumelar, ada nama Naga Wulung yang menguasai ilmu Naga Geni. Nama itu aku anugrahkan padamu sekarang, meski belum bisa aku kuatkan dengan Serat Kekancingan. Kau bisa pakai nama gelarmu dalam segala urusan keprajuritan." Kata Pangeran Erlangga.

"Baik Pangeran. Sekali lagi terima kasih." Kata Sembada.

"Lengkapnya, sebagai senopati daerah selatan, gelarmu adalah Rakai atau Rakyan Halu Dyah Naga Wulung, pemimpin pasukan khusus kerajaan kita kelak." Kata Pangeran Erlangga.

"Terima kasih pangeran, terima kasih." Kata Sembada sambil membungkuk hingga dahinya menempel di tikar putih yang tergelar di atas lantai batu hitam yang mengkilat itu.

******

Tanpa sepengetahuan mereka yang tengah berbincang di bale Prabayeksa, seseorang menguping pembicaraan tersebut di balik tembok belakang bangunan itu. Seluruh isi perbincangan itu telah dipahaminya, bahwa pemuda yang berhasil mengembalikan pusaka kerajaan Medang yang hilang itu, mendapat anugrah pangkat sebagai senopati daerah selatan. 

Pemuda itu memperoleh tugas untuk membentuk pasukan khusus yang kelak akan jadi benteng utama kerajaan yang akan didirikan Pangeran Erlangga.

Lelaki itu benar-benar tidak senang, jika Pangeran Erlangga memberi kepercayaan yang besar kepada pemuda itu. Anak bau kencur itu sangat diragukan tingkat ilmunya. Keberhasilannya mengambil pusaka-pusaka yang hilang itu besar kemungkinan karena bantuan guru-gurunya, atau bahkan dibantu oleh Senopati Wira Manggala Pati, yang ternyata ayah anak muda itu.

"Aku harus membuat perhitungan dengannya. Pasti ia bukan dari kelompok Bhairawa Tantra. Barangkali penganut Shiwa, atau Wisnu. Pasti bukan pula dari golongan Kalacakra atau Durga. Semua petinggi harus dari Bhirawa Tantra, yang lain harus dihapus dengan cara apapun." Katanya dalam hati.

Lelaki itu dengan berjingkat meninggalkan tempatnya. Ketika hendak keluar lewat pintu belakang ia berpapasan dengan Kala Bajra. Anak muda itu heran melihat kelakuan Rakyan Dyah Tumambong, kepala punggawa dalam istana Giriwana itu.

"Aneh, kenapa paman berjalan berjingkat-jingkat ? Apakah di halaman bale Prabayeksa ada ularnya Paman." Tanya Kala Bajra.

"Hus, kamu anak kecil jangan ceriwis kaya perempuan." Katanya sembari ngeloyor pergi.

Kala Bajra geleng-geleng kepala memikirkan tingkah laku Dyah Tumambong. Ia meneruskan langkahnya membawa bumbung tuak yang sudah dicampur madu hutan untuk menjamu tamu Pangeran Erlangga.

Sementara Dyah Tumambong segera bergegas pulang ke pondoknya. Ia segera mengambil kudanya di kandang dan memacunya ke desa Jabong, untuk menemui salah seorang kepercayaannya, sesama penganut aliran Bhairawa Tantra. Sumo Gedeg.

Lelaki setengah umur yang kepalanya selalu bergerak-gerak itu menyambut kedatangan Dyah Tumambong yang telah turun dari kuda. Pasti ada sesuatu yang sangat penting punggawa dalam istana  Giriwana itu menemui dirinya. Pasti ia akan memberinya tugas. 

"Selamat datang Adi Tumambong. Mari-mari masuk gubugku, jika ada sesuatu yang penting untuk dibicarakan." Kata Soma Gedeg sumringah.

Dyah Tumambong segera masuk rumah bambu itu. Ternyata ada tiga orang di dalam gubug itu. Mereka tengah menikmati tuak dan ayam bakar. Tiga orang itu bergegas berdiri dan membungkuk hormat kepada Dyah Tumambong.

"Mereka saudara kita sendiri Adi. Datang dari Lhodoyong, negeri kaum Bhairawa Tantra mendapat tempat yang sangat terhormat. Mereka datang untuk melihat pembangunan istana bagi para pengagum wangsa Isyana itu." Kata Sumo Gedeg.

"Oh, baiklah baiklah. Silahkan duduk. Aku hanya ingin berbincang sedikit dengan pemilik rumah." Kata Dyah Tumambong.

"Bolehkah kami ikut mendengarkan, sambil menikmati tuak dan daging ayam bakar ini ?" Kata salah seorang tamu dari Lhodoyong itu.

"Kalian adalah saudara kami, sesama penganut Bhairawa Tantra. Meski kalian bukan warga Giriwana, namun abdi setia penguasa Lhodoyong nan jauh di Tulung Agung sana." Kata Soma Gedeg.

"Kami bukan abdi setia Gusti Mahadewi Panuda, Soma Gedeg. Kami adalah kepercayaannya. Setiap tugas penting, berat dan berbahaya selalu dibebankan kepada kami." Kata tamu Soma Gedeg yang paling tua.

"Baiklah, baiklah, tuan-tuan. Kalian boleh mendengarkan. Ini persoalan yang akan kita hadapi bersama. Karena menyangkut kekuatan kelompok kita kelak di negeri yang akan didirikan Pangeran Erlangga." Kata Dyah Tumambong.

"Terima kasih Adi, kau memang punggawa yang bijak." Kata Soma Gedeg memuji.

Dyah Tumambong tersenyum. Tanpa sengaja ia bertemu dengan tokoh-tokoh sealiran yang bisa diajak kerjasama. Sejak dulu negeri-negeri yang ada diperintah oleh kaum penyembah Shiwa. Dharmawangsa raja Medang Kamulan orang Shiwa, namun aneh ia mengambil menantu keponakannya sendiri yang mengagungkan Wisnu. Jadi kelak kaum Shiwa dan Wisnu akan bersatu, untuk membangun kekuatan di negeri yang hendak didirikan Erlangga.

"Pagi ini, Erlangga pengagung Wisnu itu, mengangkat seorang anak muda bau kencur untuk menjadi senopati yang bertugas menjaga keamanan daerah selatan. Ia diperintah untuk menghimpun pemuda dan pemudi yang berminat menjadi prajurit, dan menggemblengnya agar kelak jadi prajurit tangguh. Diharapkan pasukan ini bisa menjadi pasukan khusus benteng utama kerajaan." Kata Dyah Tumambong.

Semua yang mendengar informasinya tercengang. Terutama tiga orang tamu Soma Gedeg.

"Kau bilang pemuda bau kencur, siapa namanya ? Dan dari mana asalnya ?" Tanya Soma Gedeg.

"Namanya Sembada. Berdua dengan sahabatnya seorang gadis putri Ki Ageng Gajah Alit, bernama Sekar Arum, yang bisa mengembalikan pusaka keramat milik Medang Kamulan ke pangkuan ahli warisnya. Songsong Tunggul Naga dan keris Jalak Saleksa." Kata Dyah Tumambong.

"Itu alasan utama Erlangga mengangkatnya sebagai senopati. Tapi siapa pemuda ini belum kau jelaskan. Aliran keyakinannya apa, siapa gurunya dan dari mana asal-usulnya. Barangkali itu maksud pertanyaan Adi Soma Gedeg." Kata tamu tertua di rumah itu.

"Baiklah Ki,... Siapa nama Aki ?" Tanya Dyah Tumambong.

"Aku Aki Tangkis Baya. Guru dari dua orang muda ini. Mereka bernama Blungki dan Gempol." Jawab orang tua itu. Dyah Tumambong mengangguk-angguk.

"Sembada itu anak tunggal Rakyan Halu Dyah Wira Manggala Pati, lebih dikenal Senopati Manggala. Jika merunut dari ayahnya kemungkinan dia orang Shiwa. Sedangkan Sekar Arum dari golongan pengagung Wisnu, nama ayahnya memakai nama jenis hewan, Gajah Alit." Jawab Dyah Tumambong.

"Yah, Shiwa dan Wisnu bersatu dalam diri sepasang pendekar itu. Mereka akan menghimpun pemuda dan pemudi sealiran dengan mereka." Kata Tangkis Baya.

"Lantas siapa guru pemuda bau kencur itu ?" Tanya Soma Gedeg.

"Dari pembicaraan yang aku dengar, Sembada murid Senopati Kidang Gumelar dan pewaris cambuk sakti Naga Geni. Sedangkan Sekar Arum, murid terkasih Nyai Rukmini, Si Walet Putih Bersayap Pedang pendekar dari lereng Arjuna." terang Dyah Tumambong.

"Waaah kalau itu bukan bau kencur lagi, bisa jadi keduanya raksasa pemilik ilmu kanuragan zaman ini. Guru-guru mereka adalah dewa perang pada zamannya. Almarhum Mpu Panuda, ayah Mahadewi Panuda penguasa Lhodoyong, terbunuh oleh setan itu. Sampai sekarang junjunganku masih dendam dengan kaki tangan Dharmawangsa dari desa Adiluwih itu." Kata Aki Tangkis Baya.

"Lantas apa rencanamu Tumambong ?" Tanya Soma Gedeg.

"Melenyapkan pemuda itu dari atas bumi." Jawab Dyah Tumambong tegas.

"Tapi tidak termasuk gadis itu bukan ?" Kata Soma Gedeg bercanda.

Semua yang mendengarnya tertawa. Bagi kaum Bhairawa Tantra wanita adalah sesuatu yang menarik, meski sering kali mereka membunuhnya setelah upacara Panca Makara Puja selesai. Bahkan sebelum upacarapun kadang mereka telah menghembuskan nafas terakhir, karena tak kuat meladeni belasan bahkan puluhan lelaki yang menyenggamainya dengan brutal setelah mabuk tuak.

"Aku minta Kakang Soma Gedeg melakukan tugas ini. Aku tidak yakin pemuda bau kencur itu telah menguasai semua ilmu gurunya. Cegat mereka di hutan sebelah selatan dusun Jungabang. Tangkap ia hidup-hidup, aku sendiri yang akan memenggal lehernya." Kata Dyah Tumambong.

"Baik adi mumpung macan itu masih kecil, kita lenyapkan saja. Tapi sesajennya harus genap..hahaha" kata Soma Gedeg.

Dyah Tumambong membuka saku bajunya, dan mengambil kampil berisi keping logam di dalamnya.

"Ini sekampil untukmu Kakang. Isinya tiga puluh keping emas." Jawab Dyah Tumambong. 

Semua yang mendengar kata Dyah Tumambong terhenyak. Betapa mahal harga leher pemuda itu. Namun mereka akhirnya manggut-manggut mengerti, tentu Sekar Arum, gadis yang diincarnya sangat istimewa.

Demikianlah pembicaraan di gubug bambu, tempat tinggal Soma Gedeg itu, akhirnya berakhir. Dyah Tumambong segera berdiri dan melangkah keluar pintu. Lelaki itu menghampiri kudanya dan segera memacunya kembali ke istana Giriwana.

*****

Malam ketiga Sembada dan Sekar Arum mendapat undangan dari Pangeran Erlangga, agar keduanya hadir di istananya untuk menyaksikan bersama para putri yang tinggal di taman sari berlatih menari.

Sekar Arum yang saat kecil dulu sering menari di istana Prabu Dharmawangsa sangat tertarik melihat gadis-gadis Giriwana berlatih. Sembada hanya tersenyum saja melihat Sekar Arum begitu bernafsu ingin menonton acara itu.

Berbekal sebuah lencana gambar burung garuda, mereka berdua bebas kemanapun pergi ketempat-tempat tertentu yang menarik hatinya. Namun mereka tahu di mana saja tempat yang terlarang di datangi orang lain, kecuali kerabat istana.

Ketika mereka datang Pangeran Erlangga dengan dua isterinya telah duduk di balok batu yang ada di serambi istananya. Gamelan sudah ditabuh, irama gendingnya mengalun merdu. Dari balik pintu tujuh gadis melangkahkan kaki sambil berjinjit ke tengah serambi itu. Di sanalah mereka akan memamerkan gemulai anggota badan mereka dalam menari.

Pangeran Erlangga tertawa-tawa, demikian juga kedua isterinya. Mata mereka tertuju kepada gadis kecil, termuda di antara tujuh penari itu, tengah menari dengan luwesnya. Geraknya tak kalah indah dengan penari lainnya, hanya saja gelung rambutnya agak terlalu besar buat dirinya.

"Kau lihat gadis kecil itu Sekar Arum ? Bagaimana menurut penilaianmu, apakah dia sudah menyamaimu sebagai penari istana dulu. Aku tahu dari Dinda Galuh Sekar, bahwa kau seorang penari juga." Tanya pangeran kepada gadis yang bersimpuh di lantai dekat dengan Pangeran yang duduk di atas balok batu.

"Gadis itu sangat manis pangeran. Gerak tarinya sangat luwes dan indah. Meski usianya barangkali masih lebih muda dariku saat jadi penari istana." Kata Sekar Arum.

"Berapa usiamu saat jadi penari dulu Sekar,?" Tanya Permaisuri.

"Sebelas tahun Gusti Ayu." Jawab Sekar Arum.

"Kilisuci masih tujuh tahun. Ia sangat berbakat rupanya." Kata Gusti Ayu Galuh Sekar.

"Iyah. Ia berbakat sekali. Gelungnya yang agak kebesaran membuatnya nampak lucu." Kata Sekar Arum. Semua yang mendengar ucapan Sekar Arum tertawa bersama. Mereka setuju gelung gadis itu terlalu besar untuk dirinya.

"Siapakah gadis itu pangeran ?" Tanya Sekar Arum.

"Anakku. Namanya Kilisuci. Dyah Ayu Sanggramawijaya." Jawab pangeran sambil tersenyum dan terus memandangi putrinya yang sedang menari itu.

Demikianlah Sembada dan Sekar Arum menyaksikan latihan tari itu sampai hampir tengah malam. Mereka berterima kasih kepada Pangeran Erlangga yang telah berkenan mengundang mereka ikut menyaksikan latihan itu.

"Janganlah berterima kasih padaku. Terima kasihlah kepada Dinda Galuh Sekar. Dialah yang mengusulkan gagasan acara ini, karena tahu kau dulu bersama kakakmu adalah penari terkenal di istana Ayahanda Dharmawangsa." Jawab pangeran.

"Terima kasih Gusti Ayu prameswari Galuh Sekar." Kata Sekar Arum sambil membungkukkan badan.

Prameswari Galuh Sekar hanya tertawa saja sambil melambaikan tangan. Ketiganya lantas masuk istana lewat pintu samping, pintu yang juga dilalui oleh para penari itu.

Sembada dan Sekar Arum bergegas mengayun langkah keluar istana. Ketika mereka hampir sampai di depan pintu barak, Sembada menarik tangan Sekar Arum dan mendorong kepalanya agar merunduk. Sebuah anak panah melesat kencang di samping mereka, dan menancap pada gawang pintu barak itu.

Ekor anak panah itu masih bergetar. Sembadapun mencabutnya dari gawang pintu. Sebuah rontal tergulung rapi, dan diikat dengan tali dari serat tanaman. Sebuah surat ditujukan padanya oleh orang yang belum di kenal.

Sekar Arum juga tertarik dengan rontal itu. Setelah Sembada berhasil melepasnya dari batang anak panah, ia segera membukanya. Keduanya membaca guratan tulisan yang ada di permukaan rontal.

"Yen sira yekti prawira. Sun tantang tanding prang. Ing wana kidul Jungabang. Perawan ayu sisihira dadi bebanane. Aja tinggal glanggang colong playu sawusnya maca tembang tantangan iki.

Saka Aku Rakyan Dyah Tumambong saka desa Cane."

(Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun