Ketika matahari hampir tenggelam di ufuk barat, setelah barisan itu melewati tanjakan yang cukup tinggi, dari atas kuda Sembada dan Sekar Arum menyaksikan sebuah pemandangan yang menabjupkan. Di depan mata mereka terlihat sebuah bangunan yang tinggi dan megah, berdiri dengan anggunnya di atas gundukan tanah yang tinggi pula.
"Itukah kakang Istana Giriwana Wawatan Mas ?" Â Tanya Sekar Arum.
"Mungkin. Aku sendiri belum pernah melihatnya. Betapa megahnya Arum." Jawab Sembada.
Rasa hati keduanya ingin bergegas mempercepat jalan, agar lekas sampai di tempat bangunan itu. Namun barisan prajurit dan tiga pedati di depan mereka tak mungkin lagi mempercepat jalannya. Terpaksa keduanya harus sabar mengikuti irama kaki kuda yang setapak demi setapak melangkahkan kakinya.
Namun pada akhirnya merekapun sampai di depan bangunan megah itu. Tetapi terpaksa mereka harus menginap di barak prajurit yang terletak beberapa tombak dari pagar pembatas istana.
Sekar Arum mendapat tempat tersendiri di sebuah ruangan khusus. Sementara Sembada malam itu tidur dibarak yang dihuni belasan prajurit. Â Karena semua capek telah menempuh perjalanan jauh, belum sampai tengah malam barak itu telah sepi sekali.
Esok harinya, saat matahari telah merangkak naik sampai sepenggalah, datang utusan dari istana menemui senopati Wira Manggala Pati. Kebetulan Sembada dan Sekar Arum tengah berada di ruang pimpinan tersebut. Mereka menyambut kedatangan utusan itu bersama.
"Rahayu Kakang Manggala. Rupanya kakang sudah siap menghadap pangeran." Kata utusan itu dengan ramahnya.
"Rahayu adi Tumambong, aku dengar adi telah diangkat jadi pimpinan prajurit dalam di istana baru ini. Selamat untukmu." Jawab Senopati.
"Ah bukan apa-apa jabatan itu, lebih menyenangkan bertugas di luar seperti kakang. Bisa pelesir bebas kesana kemari tanpa pengawasan." Kata Rakyan Dyah Tumambong.