Terdengar jeritan dan umpatan para penyerbu itu. Namun pasukan berkuda berikutnya bergerak melanda mereka lagi. Demikian seperti gelombang air laut pasukan berkuda itu silih berganti menyerang lawan. Para penyerbu merasa kewalahan menghadapi pasukan berkuda Bala Putra Raja yang perkasa itu.
Namun di antara para penyerbu itu terdapat dua orang yang cukup gesit geraknya. Mereka dapat membalas serangan-serangan prajurit berkuda dengan baik. Salah seorang mengenakan cakar baja di tangannya, dialah Macan Belang jantan, menantu Singa Lodhaya.
Namun yang seorang lagi berperawakan kerempeng, dengan kaki pincang. Dialah Bonge Kalungkung yang berhasil lolos dari kejaran pendekar bajang Pasundan. Hantu lereng Semeru itu mengamuk dengan dahsyatnya.
Sembada dan Sekar Arum yang melihat kedua tokoh itu tidak tinggal diam. Mereka melompat dari kudanya menghampiri lingkaran pertempuran dua tokoh sakti itu.
"Lepaskan dia, bandot pincang itu biar aku yang mengurus."teriak Sembada.
"Jumawa. Kamu pemuda bau kencur sesumbar hendak melawan gembong lereng Semeru ? Â Cepatlah bergabung dengan kawan-kawanmu yang mengeroyokku. Lima kedipan mata nyawamu akan melayang." Â Kata Bonge Kalungkung marah.
Sembada melepas cambuknya, dengan cepat ia menyerang Bonge Kalungkung dengan sengitnya. Dengan ilmu peringan tubuh sampai puncak ia melibat pendekar pincang itu dengan dahsyat. Kemanapun Bonge Kalungkung menghindar, selalu dikejarnya dengan serangan-serangan cambuk yang menggila.
Menghadapi Sembada yang sengaja hendak menunjukkan dirinya dihadapan pendekar pincang itu, agar tidak selalu mengumbar kata meremehkannya, Bonge Kalungkung kerepotan juga. Kulitnya yang tak kebal senjata berulang kali kena sambaran cambuk yang berkarah baja tajam pada ujungnya. Jalur-jalur merah mewarnai seluruh permukaan kulit tubuhnya. Meski tidak mengeluarkan darah namun pedih dirasakannya.
"Setan alas, anak demit kau. Ternyata kau mampu melawanku." Kata Bonge Kalungkung saat bisa melepaskan diri dari libatan Sembada.
"Jangan lari kau. Pendekar penakut, jerih melihat darah, selalu meninggalkan gelanggang saat-saat terakhir." Kata Sembada.
Bonge Kalungkung menggigit bibirnya. Dua kali ia memang menghindar dari gelanggang perang. Pertama saat di hutan dekat padepokan Singa Lodhaya. Kedua saat perang di Maja Dhuwur. Sehingga ia tak bisa menjawab perkataan Sembada.