Mohon tunggu...
Wahyudi Nugroho
Wahyudi Nugroho Mohon Tunggu... Freelancer - Mantan MC Jawa. Cita-cita ingin jadi penulis

Saya suka menulis, dengarkan gending Jawa, sambil ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Bab 49. Pesta Seribu Tumpeng

2 September 2024   11:50 Diperbarui: 3 September 2024   14:44 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PESTA SERIBU TUMPENG

Oleh Wahyudi Nugroho

Ketika Mpu Barada tengah sibuk mengembalikan sukma Naga Kumala agar menempati bilah tombak milik Ki Ageng Gajah Alit, Nyai Rukmini telah bertemu dengan Mbok Darmi dan Nyai Gajah Alit di tempat pengungsiannya di dusun Tiga Wangi. Dua wanita tua itu telah tinggal di rumah bekel dusun itu sejak perang belum terjadi.

"Hampir aku lupa Nyai, jika aku telah menitipkan kalian di dusun ini. Maklum usiaku sudah senja, jadi gampang sekali melupakan sesuatu. Jika Ki Ageng Gajah Alit tidak datang berkunjung, mungkin aku tak ingat lagi. Sementara Sekar Arum juga telah jarang bertanya tentang keberadaan ibunya. Asal aku diam, ia menganggap ibunya baik-baik saja." Kata Nyai Rukmini.

Kedua wanita tua itu menanggapinya hanya dengan tertawa saja. Nyai Gajah Alit sudah tahu watak kedua putrinya yang tak ingin dimanja kedua orang tuanya.

"Apakah perang sudah selesai ? Sudah benar-benar amankah kademangan Maja Dhuwur ? Kami memilih tinggal di sini jika keadaan belum pulih kembali." Kata Nyai Gajah Alit.

"Sudah aman Nyai. Kademangan itu sudah kembali tentram. Nyai Ageng ditunggu Ki Ageng Gajah Alit dan kedua putri Nyai." Jawab Nyai Rukmini.

"Baiklah. Kita pulang sekarang Mbok. Aku sudah sangat rindu dengan dua putriku." Ajak Nyai Ageng Gajah Alit kepada Mbok Darmi.

Demikianlah ketiganya segera pamit kepada  Ki Bekel Tiga Wangi yang masih sangat muda itu. Mereka berjalan kaki di bawah sinar matahari musim kemarau yang sudah tidak terasa panas lagi. Angin semilir bertiup dari selatan membelai wajah mereka dengan lembutnya. Menjelang matahari tenggelam di barat mereka telah sampai di depan pintu butulan halaman rumah Mbok Darmi.

Ketika masuk rumah tak ada seorangpun yang ada di sana. Nyai Rukmini keluar rumah lewat pintu depan, beberapa prajurit dan pengawal sedang duduk di amben bambu depan rumah.

"Kemana para tamu yang lain ?" Tanya wanita pendekar itu#.

"Mereka mengikuti Sembada dan Sekar Arum ke suatu tempat Nyai. Senopati tidak memberi tahu kami ke tempat mana. Kami diminta menunggu di sini." Jawab seorang prajurit.

"Baiklah kalau begitu. Selamat istirahat." Kata Nyai Rukmini.

Wanita pendekar itu kemudian ke dapur lagi, memberitahukan kepergian tamu-tamu yang lain. Mbok Darmi sebagai pemilik rumah lantas berinisiatif untuk memasak makanan buat hidangan para tamu. Mereka sepakat untuk menanak pohong untuk hidangan itu.

Saat 'sirep bocah' waktu anak-anak kecil telah tidur, Sembada bersama rombongannya datang. Tiga wanita tua menjemput mereka di depan pintu. Sekar Sari melihat ibunya yang telah lama tidak dijumpainya, ia meloncat dari punggung kuda tanpa mengikat kuda itu terlebih dahulu. Ia berlari kearah wanita tua yang sudah dirindukannya itu.

"Bunda !!!" Teriaknya.

Semua mata menyaksikan Sekar Sari langsung merangkul leher ibunya dan menangis. Sekar Arum juga mendekati ibunya, ketiganya lantas saling berangkulan.

"Apakah hanya anak-anakmu yang kau rindukan Nyai." Kata Ki Ageng Gajah Alit. Wanita tua itupun bergegas jongkok di depan suaminya, dan menangis sambil merangkul kaki lelaki itu.

"Kakang !!!" Hanya kata itu yang sempat keluar dari mulut wanita tua itu.

"Nyai tidak bilang kalau akan menjemput ibu." Kata Sekar Arum.

"Bukankah aku sudah berkata, akan melengkapi kebahagiaan kalian?" Kata Nyai Rukmini.

Sembadapun menyaksikan peristiwa mengharukan itu. Ia hanya terpaku melihat tiga wanita berangkulan. Selanjutnya Nyai Gajah Alit berjongkok dan merangkul kaki suaminya.

"Bunda, ingatkah bunda dengan Sembada. Anak dayang pamomongku di katumenggungan ?" Kata Sekar Arum.

"Tentu aku ingat. Tapi sejak sebelum perang anak itu telah diungsikan." Jawab Nyai Gajah Alit.

"Yah. Tapi sekarang ia di sini. Jadi anak angkat Mbok Darmi. Itulah orangnya Bunda." Kata Sekar Arum.

Wanita tua itu memandang seorang pemuda yang gagah dan tampan. Ia lantas menganggukkan kepalanya. Sembadapun mengangguk pula. Ia lantas melangkahkan kakinya mendekati wanita tua itu.

"Sungkem saya untuk Nyai." Katanya sambil melakukan sembah grana.

Wanita tua itu mendekat dan memegang pundak Sembada. Sambil tersenyum ia berkata.

"Kau sekarang tumbuh jadi pemuda yang gagah dan tampan." Mendengar pujian Nyai Gajah Alit Sembada hanya bisa menundukkan kepala.

Semua terharu menyaksikan pertemuan anggota keluarga yang sempat terpecah belah karena perang itu. Namun merekapun bersyukur, keluarga Ki Ageng Gajah Alit masih utuh. Banyak keluarga lain yang ditinggal keluarganya, sebagaimana Mbok Srikanthi, yang harus rela hidup sebatang kara karena suami dan anaknya ikut menjadi korban.

"Perang, membuat kawula hidup sengsara." Bisik Sembada. Pemuda itupun hingga kini belum tahu kabar tentang ibunya.

*******

Seminggu setelah dua pusaka kerajaan Medang Kamulan itu diboyong ke balai kademangan Maja Dhuwur, pasukan berkuda yang bertugas merampas harta karun hasil perampokan cantrik-cantrik padepokan Lodhaya, telah datang. Tak ada korban yang jatuh dalam pertempuran dengan para penjaga padepokan.

"Sisa pengikut Singa Lodhaya belum kembali ke padepokan. Kami dapat mengusir para penjaga padepokan itu dengan mudah. Sona Wana pemimpin para cantrik mati terbunuh, demikian pula sebagian cantrik lainnya." Kata Jalak Seta kepada Senopati Wira Manggala Pati.

"Jika demikian mereka masih menghuni pesanggrahannya. Jika tidak di Sambirame tentu di Wanajaya." Kata Senopati.

"Tidak senopati. Mang Ogel yang ketemu dengan kami di padepokan Lodhaya telah membuktikan bahwa dua pesanggrahan itu kosong. Beliau telah membuktikan saat mengejar musuhnya, Bonge Kalungkung, yang lari dari arena pertempuran." Lanjut Jalak Seta.

"Aku juga mendapat laporan kalau Bonge Kalungkung lepas dari tangan Mang Ogel, pendekar Pasundan itu. Tentu mereka telah berkumpul kembali di suatu tempat. Apakah mungkin mereka akan mencegat kita saat pulang ke Wawatan Mas ?" Kata senopati.

"Mang Ogel kini masih memburu musuh bebuyutannya itu ke padepokannya di lereng Semeru." Kata Jalak Seta.

"Mang Ogel pula yang membantu kami membuka pintu goa tempat Singa Lodhaya menyimpan harta karun hasil rampogannya." Kata Jalak Seta lagi. 

"Kalian seratus prajurit tidak mampu membuka pintu goa itu ?" Tanya senopati.

"Pintunya terbuat dari batu yang sangat besar senopati. Batu itu menyumbat mulut goa. Puluhan prajurit telah mendorongnya, tapi sejengkalpun batu itu tidak bergerak." Kata Jalak Seta.

"Bagaimana cara pendekar bajang itu menyingkirkan batu penutup goa ?" Tanya senopati.

"Dipukulnya dengan tangan. Sungguh, dipukulnya dengan tangan. Semula beliau berdiri beberapa depa dari batu itu. Kemudian mengangkat tangan kanan ke atas, tangan kiri menempel dada dan mengangkat kaki kirinya. Dibarengi sebuah teriakan keras beliau meloncat dan memukulkan sisi telapak tangannya ke permukaan batu itu. Dan 'blaaarrr' batu itu pecah berserakan." Kata Jalak Seta menjelaskan.

"Sasra Bhirawa, ilmu langka yang hampir punah di negeri ini." Tiba-tiba terdengar suara dari Ki Ardi yang ikut duduk dalam lingkaran itu.

"Benar. Sasra Bhirawa, ilmu sakti yang nggegirisi." kata Ki Ageng Gajah Alit.

"Berarti kalian berhasil menguras seluruh isi goa itu ?" Tanya senopati lagi.

"Benar senopati. Isinya kami kuras. Ada lima pedati penuh berbagai perhiasan tersimpan di sana. Semuanya dari emas." Jawab Jalak Seta.

"Sesuai titah pangeran Erlangga kita tinggalkan dua pedati untuk kademangan Maja Dhuwur. Karena kademangan ini telah membantu melenyapkan musuh Medang Kamulan. Terserah kepada ki demang, hendak digunakan untuk apa harta karun tersebut. Namun seyogyanya untuk kesejahteraan kawula."

"Saya ucapkan terima kasih kepada senopati, memberikan sebagian harta rampasan tersebut untuk rakyat Maja Dhuwur. Tentu harta tersebut akan kami gunakan untuk kesejahteraan kawula, termasuk membangun kembali rumah penduduk yang terbakar. Juga untuk padepokan-padepokan yang telah menyelamatkan kademangan kami." Kata ki demang Sentika.

"Baiklah ki demang. Tiba saatnya kami para prajurit Bala Putra Raja kembali ke pesanggrahan Pangeran Erlangga di Wawatan Mas. Prajurit yang terlukapun kelihatan sudah mulai sembuh. Aku kira sudah cukup kuat mereka menempuh  perjalanan jauh hingga sampai di pesanggrahan." Kata senopati.

"Kapan pasukan prajurit Bala Putra Raja meninggalkan Kademangan Majadhuwur ?" Tanya Ki demang Sentika.

"Sejak sekarang aku perintahkan melakukan persiapan. Mungkin dua hari lagi kami meninggalkan Majadhuwur." Kata senopati.

"Jika demikian besok lusa, pagi pagi sekali kita selenggarakan makan bersama, seluruh warga Majadhuwur bersama seluruh prajurit. Kita adakan pesta seribu tumpeng di halaman balai kademangan." Kata Ki demang.

Demikianlah perbincangan para pemimpin tertinggi prajurit dan punggawa kademangan siang itu berakhir. Kawula kademangan Maja Dhuwur ikut senang mendengar berita bahwa kademangan memperoleh bagian harta karun pampasan perang. Harapan mereka untuk segera memiliki asrama pendidikan bagi anak-anak mereka akan terkabul, rumah-rumah penduduk yang terbakarpun bisa dibangun lagi. Jaringan irigasi dan embung-embung baru bisa dibangun, untuk meningkatkan produksi sawah mereka.

Dua hari berlalu dengan cepat. Ketika matahari baru menjenguk kademangan itu dari atas gunung, halaman balai kademangan yang luas itu telah dibanjiri penduduk. Mereka datang membawa tenong di atas kepala. Wadah makanan dari anyaman bambu itu berisi berbagai panganan, di antaranya sebuah tumpeng kecil dari nasi yang cukup untuk lima sampai sepuluh orang.

Sumber gambar dok Antara
Sumber gambar dok Antara

Di bawah cahaya mentari pagi, dan belaian lembut angin kemarau, mereka menikmati bersama berbagai makanan. Wajah riang dan senyum gembira tergambar jelas di raut muka semua orang di halaman kademangan itu. Baru kali ini kademangan Maja Dhuwur menyelenggarakan acara seperti ini.

"Setiap tahun kita akan selenggarakan upacara seribu tumpeng, untuk memperingati para pahlawan yang gugur di medan perang, dalam rangka memperjuangkan keselamatan dan keamanan kademangan kita. Kita doakan bersama semua pahlawan itu hidup kekal di nirwana." Demikian kata-kata yang terpateri dalam ingatan mereka yang diutarakan ki demang sentika saat sesorah sebelum pesta dimulai.

Esoknya para prajurit Bala Putra Raja ditarik dari kademangan Maja Dhuwur pulang ke pesanggrahan Wawatan Mas. Sebuah barisan keluar dari regol kademangan itu ketika matahari sudah sepenggalah. Warga kademangan melepas mereka dengan berdiri di pinggir jalan. Dengan melambai-lambaikan dedaunan sebagai pengganti ucapan selamat jalan.

Dua buah pusaka keramat kerajaan Medang Kamulan di bawa pasukan berkuda, yang berjalan pelan di belakang tiga pedati yang memuat harta karun hasil rampasan.

Sembada dan Sekar Arum bergabung dengan pasukan berkuda itu. Keduanya mengenakan pakaian kependekarannya berwarna hitam. Nampaknya Sembada tak bersenjata, namun semua prajurit tahu, sebuah cambuk sakti yang bisa mengeluarkan cahaya berkekuatan dahsyat melingkar di pinggangnya.

Sementara Sekar Arum juga duduk di atas kuda dengan anggunnya. Dua buah pedang tipisnya terselip dalam sarung pedang yang menggantung di punggungnya. Gadis cantik murid Nyai Rukmini itu berulang kali mengangkat tangannya untuk membalas lambaian tangan warga kademangan.

Di depannya senopati Wira Manggala Pati dan Mpu Barada juga berkuda berdampingan. Tiga cantrik guru suci itu berjalan dalam barisan para prajurit. 

Ki Ageng Gajah Alit tidak terlihat dalam barisan prajurit yang pulang itu. Lelaki tua yang masih tegap gagah itu memilih tinggal sementara waktu di rumah Mbok Darmi, menemani istrinya yang tak lagi mau tinggal di lingkungan istana.

Demikian pula Ki Ardi dan Nyai Rukmini, mereka tidak pulang ke padepokannya bersama para mentrik. Gadis-gadis cantik yang berpakaian pendekar itu menempuh perjalanan pulang dengan berkuda pula.  Membawa beberapa cangkang kelapa gading berisi abu dan sisa tulang kawan-kawannya yang menjadi korban perang.

Beberapa kali barisan prajurit Bala Putra Raja itu beristirahat. Ketika matahari telah melewati puncaknya mereka berada di tengah hutan yang masih rapat. Di bawah pepohonan hutan sinar mentari di musim kemarau itu tak mampu menyentuh kulit mereka. Angin yang sejuk mengawani mereka makan bekal yang mereka bawa dari kademangan Maja Dhuwur.

Sejenak mereka terhibur oleh suara-suara satwa di hutan itu. Lutung jantan berteriak dengan kerasnya, memanggil anggota kelompoknya untuk menjauh dari rombongan prajurit itu. Aum harimau terdengar samar, suaranya terbawa angin sepoi yang membelai mereka. Tekukur mendekur di pucuk pohon yang tinggi. Namun kicau burung tak terdengar di telinga mereka, mungkin mereka tengah tidur setelah perutnya kenyang.

Sejenak kemudian senopati menjatuhkan perintah untuk melanjutkan perjalanan. Barisan prajurit itupun segera mengular memenuhi jalan.

Menjelang senja mereka telah keluar dari hutan yang lebat itu. Ketika barisan prajurit mendekati dusun Jungabang, mereka dikejutkan oleh suara panah sendaren dua kali berdengung di udara. Rupanya pasukan sandi yang mereka sebar pada jalur jalan yang akan dilewati barisan pasukan itu telah mengirim pesan peringatan.

Senopati segera memerintahkan pasukan berkuda mendahului barisan. Sembada dan Sekar Arum ada dalam barisan berkuda. Mereka berdua merasa wajib mengamankan dua buah pusaka yang telah mereka temukan.

Sementara pasukan yang berjalan kaki segera mengambil posisi di sekitar dua prajurit berkuda yang membawa pusaka. Tiga pedati dirapatkan dan dilindungi dua lapisan pasukan di setiap sisinya.

Bersamaan dengan dengung suara sendaren ketiga nampak gerombolan orang yang berlari-lari sambil berteriak-teriak dan mengacungkan senjata keluar dari dusun Jungabang.

"Serbuuu, hancurkan..."

Jalak Seta mengangkat pedangnya. Ketika jarak penyerbu dengan pasukan berkuda itu tinggal lima puluh langkah, ia menurunkan pedang komando itu menuding para penyerbu.

"Hancurkan mereka, serbu...."

Barisan kuda itu tiba-tiba melompat dan berlari dengan cepat menerjang musuh.  Para penyerbu itu berhamburan menghindari terjangan pasukan berkuda. Belum bisa bernafas lega terhindar injakan kaki kuda, barisan berkuda berikutnya menerjang dengan sabetan-sabetan pedang. 

Terdengar jeritan dan umpatan para penyerbu itu. Namun pasukan berkuda berikutnya bergerak melanda mereka lagi. Demikian seperti gelombang air laut pasukan berkuda itu silih berganti menyerang lawan. Para penyerbu merasa kewalahan menghadapi pasukan berkuda Bala Putra Raja yang perkasa itu.

Namun di antara para penyerbu itu terdapat dua orang yang cukup gesit geraknya. Mereka dapat membalas serangan-serangan prajurit berkuda dengan baik. Salah seorang mengenakan cakar baja di tangannya, dialah Macan Belang jantan, menantu Singa Lodhaya.

Namun yang seorang lagi berperawakan kerempeng, dengan kaki pincang. Dialah Bonge Kalungkung yang berhasil lolos dari kejaran pendekar bajang Pasundan. Hantu lereng Semeru itu mengamuk dengan dahsyatnya.

Sembada dan Sekar Arum yang melihat kedua tokoh itu tidak tinggal diam. Mereka melompat dari kudanya menghampiri lingkaran pertempuran dua tokoh sakti itu.

"Lepaskan dia, bandot pincang itu biar aku yang mengurus."teriak Sembada.

"Jumawa. Kamu pemuda bau kencur sesumbar hendak melawan gembong lereng Semeru ?  Cepatlah bergabung dengan kawan-kawanmu yang mengeroyokku. Lima kedipan mata nyawamu akan melayang."  Kata Bonge Kalungkung marah.

Sembada melepas cambuknya, dengan cepat ia menyerang Bonge Kalungkung dengan sengitnya. Dengan ilmu peringan tubuh sampai puncak ia melibat pendekar pincang itu dengan dahsyat. Kemanapun Bonge Kalungkung menghindar, selalu dikejarnya dengan serangan-serangan cambuk yang menggila.

Menghadapi Sembada yang sengaja hendak menunjukkan dirinya dihadapan pendekar pincang itu, agar tidak selalu mengumbar kata meremehkannya, Bonge Kalungkung kerepotan juga. Kulitnya yang tak kebal senjata berulang kali kena sambaran cambuk yang berkarah baja tajam pada ujungnya. Jalur-jalur merah mewarnai seluruh permukaan kulit tubuhnya. Meski tidak mengeluarkan darah namun pedih dirasakannya.

"Setan alas, anak demit kau. Ternyata kau mampu melawanku." Kata Bonge Kalungkung saat bisa melepaskan diri dari libatan Sembada.

"Jangan lari kau. Pendekar penakut, jerih melihat darah, selalu meninggalkan gelanggang saat-saat terakhir." Kata Sembada.

Bonge Kalungkung menggigit bibirnya. Dua kali ia memang menghindar dari gelanggang perang. Pertama saat di hutan dekat padepokan Singa Lodhaya. Kedua saat perang di Maja Dhuwur. Sehingga ia tak bisa menjawab perkataan Sembada.

Sementara Sekar Arum sudah berhadapan dengan Macan Belang Jantan. Lelaki menantu Singa Lodhaya itu telah ditinggal mati isterinya. Terbunuh oleh Sekar Sari di medan pertempuran Maja Dhuwur.

"Kau yang membunuh istriku dalam perang kemarin. Jangan coba-coba melawanku anak manis. Lebih baik kau kujadikan penggantinya. Kita bisa bersenang-senang dimanapun dan kapanpun. Hahaha." Kata Macan Belang Jantan.

"Puih. Siapa yang sudi jadi pengganti istrimu. Bukan aku yang membunuh Macan Belang Betina, putri Singa Lodhaya yang bernama Genduk itu. Tetapi kakakku, Sekarsari, yang membelah dadanya. Sekarang aku ingin memenggal lehermu untuk tumbal dusun kecil itu. Jungabang" Kata Sekar Arum.

"Jangan jumawa kau di hadapanku. Meski pedangmu rangkap, kau akan hancur tercabik-cabik cakarku." Kata Macan Belang Jantan.

Lelaki itu melompat dengan cepat menerkam lawannya. Namun Sekar Arum dengan cepat melompat maju menghadang, sambil mengirim tendangan kaki kanan. 

"Buuukk" sebuah benturan yang sangat keras terdengar. Tumit Sekar Arum yang telah dialiri tenaga dalam sampai puncak membentur perut Macan Belang Jantan.

"Aduuh, syetan." Lelaki berkostum kulit harimau loreng itu terlempar tubuhnya  ke belakang dan jatuh di tanah dalam posisi telentang. 

Dengan gesit ia menggulung tubuhnya dan menggelinding ke belakang, kemudian melompat berdiri. Ia berusaha menjauh dari lawan yang ternyata sangat perkasa itu..

Namun dengan cepat Sekar Arum melompat, dilambari ilmu peringan tubuh yang matang, ia manpu menjangkau jarak antara dirinya dengan lawannya. Seperti kilat menyambar di langit kaki kirinya menghantam dada Macan Belang Jantan.

Lelaki itu terlempar lagi, tubuhnya melayang jauh. Nasib buruk ternyata menimpa dirinya. Ketika belum sampai tubuhnya jatuh di tanah ia dilanda oleh kuda yang lari kencang yang ditunggangi seorang prajurit. Tubuhnya terpental lagi dan jatuh di depan Sekar Arum. Gadis itu mencabut satu pedang dan membabat punggung Macan Belang.

"Aaahhh" terdengar jerit menyayat dari mulut lelaki itu. Ketika tubuhnya jatuh di tanah, nafasnya tak terdengar lagi. Ia mati terbelah punggungnya.

Nasib jelek juga menimpa Bonge Kalungkung. Ketika ia berbalik arah dan lari meninggalkan gelanggang, seleret cahaya putih kebiruan yang meloncat dari ujung cambuk Sembada menghantamnya dari belakang.

"Blaaarrr..." Bonge Kalungkung tak sempat menjerit kesakitan. Tubuhnya hancur berantakan. Darah segar berceceran dan cuwilan-cuwilan daging berserakan.

(Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun