Dua hari berlalu dengan cepat. Ketika matahari baru menjenguk kademangan itu dari atas gunung, halaman balai kademangan yang luas itu telah dibanjiri penduduk. Mereka datang membawa tenong di atas kepala. Wadah makanan dari anyaman bambu itu berisi berbagai panganan, di antaranya sebuah tumpeng kecil dari nasi yang cukup untuk lima sampai sepuluh orang.
Di bawah cahaya mentari pagi, dan belaian lembut angin kemarau, mereka menikmati bersama berbagai makanan. Wajah riang dan senyum gembira tergambar jelas di raut muka semua orang di halaman kademangan itu. Baru kali ini kademangan Maja Dhuwur menyelenggarakan acara seperti ini.
"Setiap tahun kita akan selenggarakan upacara seribu tumpeng, untuk memperingati para pahlawan yang gugur di medan perang, dalam rangka memperjuangkan keselamatan dan keamanan kademangan kita. Kita doakan bersama semua pahlawan itu hidup kekal di nirwana." Demikian kata-kata yang terpateri dalam ingatan mereka yang diutarakan ki demang sentika saat sesorah sebelum pesta dimulai.
Esoknya para prajurit Bala Putra Raja ditarik dari kademangan Maja Dhuwur pulang ke pesanggrahan Wawatan Mas. Sebuah barisan keluar dari regol kademangan itu ketika matahari sudah sepenggalah. Warga kademangan melepas mereka dengan berdiri di pinggir jalan. Dengan melambai-lambaikan dedaunan sebagai pengganti ucapan selamat jalan.
Dua buah pusaka keramat kerajaan Medang Kamulan di bawa pasukan berkuda, yang berjalan pelan di belakang tiga pedati yang memuat harta karun hasil rampasan.
Sembada dan Sekar Arum bergabung dengan pasukan berkuda itu. Keduanya mengenakan pakaian kependekarannya berwarna hitam. Nampaknya Sembada tak bersenjata, namun semua prajurit tahu, sebuah cambuk sakti yang bisa mengeluarkan cahaya berkekuatan dahsyat melingkar di pinggangnya.
Sementara Sekar Arum juga duduk di atas kuda dengan anggunnya. Dua buah pedang tipisnya terselip dalam sarung pedang yang menggantung di punggungnya. Gadis cantik murid Nyai Rukmini itu berulang kali mengangkat tangannya untuk membalas lambaian tangan warga kademangan.
Di depannya senopati Wira Manggala Pati dan Mpu Barada juga berkuda berdampingan. Tiga cantrik guru suci itu berjalan dalam barisan para prajurit.Â
Ki Ageng Gajah Alit tidak terlihat dalam barisan prajurit yang pulang itu. Lelaki tua yang masih tegap gagah itu memilih tinggal sementara waktu di rumah Mbok Darmi, menemani istrinya yang tak lagi mau tinggal di lingkungan istana.
Demikian pula Ki Ardi dan Nyai Rukmini, mereka tidak pulang ke padepokannya bersama para mentrik. Gadis-gadis cantik yang berpakaian pendekar itu menempuh perjalanan pulang dengan berkuda pula. Â Membawa beberapa cangkang kelapa gading berisi abu dan sisa tulang kawan-kawannya yang menjadi korban perang.