Mohon tunggu...
Wahyudi Nugroho
Wahyudi Nugroho Mohon Tunggu... Freelancer - Mantan MC Jawa. Cita-cita ingin jadi penulis

Saya suka menulis, dengarkan gending Jawa, sambil ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Bab 43. Selempang Janur Kuning

5 Agustus 2024   13:40 Diperbarui: 14 Agustus 2024   21:04 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input sumber gambar dokpri

Permusyawaratan antar pimpinan gerombolan hitam yang hendak menyerbu kademangan Maja Dhuwur hari itu berhasil memutuskan kapan mereka menyerbu lagi kademangan yang kaya raya itu. Mereka harus melengkapi peralatan perang yang memadai, karena perlengkapan perang yang ada terbukti masih kurang cukup untuk menggempur pasukan musuh.

Jika perlengkapan yang mereka butuhkan sudah mencukupi dalam tiga hari, esoknya mereka akan terjun ke medan perang lagi. Mereka bertekad membalas kematian teman-temannya.  

Mereka membutuhkan tameng, untuk melindungi tubuh dari tajamnya ujung anak panah, yang bisa melesat cepat di udara dari jarak yang jauh. Juga dapat digunakan saat pertempuran jarak dekat, menahan serangan pedang atau tombak lawan.

Sebenarnya tak pernah mereka menggunakan alat itu selama melakukan kekerasan. Cukup mereka menggunakan pedang untuk melakukan perampokan atau pembegalan.  Mereka pikir tameng hanya akan merepotkan saja mereka bergerak.

Kini dipaksa oleh keadaan dan pengalaman mereka harus melengkapi dirinya dengan benda itu. Namun mereka harus membuatnya terlebih dahulu.

Tetapi peralatan untuk membuatnya tak ada, yang mereka bawa hanya senjata untuk bertempur. Bahan untuk tameng kayu pengadaannya sulit, mereka harus menebang pohon dulu, dan itu membuat mereka umumnya segan. Butuh waktu lama untuk mengerjakannya.

Meski sepanjang hidup, waktu mereka sebagian besar digunakan untuk melakukan kekerasan, merampok dan membegal, namun pengalaman bertempur dalam perang sedikit sekali.  Tak pernah mereka memikirkan tentang  perlengkapan, seperti halnya tameng. Apalagi berpikir tentang gelar dan siasat bagaimana menundukkan musuh dalam jumlah banyak. 

Sebagian mereka memang pernah terlibat dalam perang besar, saat mereka bergabung dengan pasukan Wura Wari, bersama dengan pasukan Sriwijaya, Wengker dan Campur Darat menggempur Kerajaan Medang Kamulan. Namun perang itu bukan perang gelar, tetapi perang brubuh yang tak beraturan.

Medang Kamulan saat itu sedang menyelenggarakan pesta besar. Pesta perkawinan putri raja dengan Erlangga, pangeran dari pulau Bali itu. Meski semua prajurit sudah melakukan persiapan demi menjaga keamanan negeri, namun suasana yang meriah penuh kebahagiaan itu mengurangi kewaspadaan mereka.  Banyak prajurit yang larut dalam kemeriahan.

Musuh memasuki kota raja dengan menyamar sebagai warga yang ingin ikut memeriahkan keramaian itu.  Berbagai senjata perang diselundupkan dengan bermacam cara. Saat keramaian perayaan pernikahan mencapai puncaknya mereka membuat  keonaran. Apa saja yang mereka temui mereka bakar.

Benar mereka memperoleh kemenangan saat itu. Istana Medang bisa mereka bumi hanguskan, raja Darmawangsa dapat mereka bunuh, namun perang saat itu tidak memberi pengalaman yang bermakna bagi orang-orang yang pekerjaannya merampok itu. 

Karena hakekatnya perang saat itu sama dengan perampokan yang sering mereka lakukan. Hanya saja dilakukan oleh pasukan prajurit gabungan yang jumlahnya sangat besar.

Kini situasi yang mereka hadapi berbeda, meski musuh yang mereka serang malam itu nampak lemah, jumlah prajuritnya tidak seberapa banyak, namun dipimpin seorang senopati yang cemerlang otaknya. Secerah matahari di musim kemarau.  

Nafsu mereka yang besar untuk segera melibas lawan justru disikapi sebagai kelemahan oleh pihak musuh. Apalagi mereka tak membawa obor untuk penerang, serta tameng sebagai pelindung. Sama saja menyerahkan tubuh mereka sendiri bulat-bulat sebagai sasaran terbuka  panah dan tombak, di tengah malam yang gelap gulita tanpa cahaya.

Korban berjatuhan tak terhitung lagi, kekuatan yang besar susut dalam sekejap. Kemarahan yang melonjak menutup kejernihan pikiran untuk mencari cara pembalasan yang tepat. Terpaksa mereka harus mundur daripada maju terus tapi hancur.

Demikianlah tak habis-habisnya Singa Lodhaya merenungi kesalahannya. Sambil berkeliling pedesaan Sambirame untuk memantau kesibukan anak buahnya.

"Gunakan saja papan-papan yang dipakai sebagai  dinding rumah penduduk, daripada menebang pohon.  Jika kurang tebal bikin rangkap dua. Waktu kerja kita akan lebih singkat daripada menebang pohon dulu." Saran Singa Lodhaya kepada murid-muridnya yang hendak membuat tameng.

"Jangan lupa mencari pula batang bambu untuk membuat lembing. Cari jenis bambu yang batangnya kecil.  Lancipkan ujungnya dan olesi dengan racun.  Buatlah lembing sebanyak-banyaknya. Kita balas mereka dengan lemparan lembing bambu beracun." Kata Srigunting.

"Kita tak punya persediaan racun." Kata Singa Lodhaya.

"Kita minta kepada Kelabang Gede, barangkali masih punya persediaan. Jika tidak ada, minta petunjuk cara pembuatannya. Mungkin banyak bahan yang tersedia di desa ini." Jawab Srigunting.

Demikianlah berbagai upaya dilakukan anggota gerombolan itu, untuk melindungi diri mereka dari serangan musuh.  Tidak sekedar alat-alat untuk berlindung, tapi juga alat-alat serang jarak jauh, seperti anak panah dan lembing.  Namun sama sekali mereka tak menyiapkan obor untuk penerang medan.

Segalanya tak terlepas dari pengamatan prajurit sandi pasukan Bala Putra Raja. Segala informasi yang diperoleh prajurit sandi dilaporkan kepada senopati, untuk menjadi bahan bagi Senopati Wira Manggala Pati berpikir bagaimana menghadapinya.

"Mereka mencari batang-batang bambu wuluh, bambu yang kecil dan lurus-lurus." Kata seorang prajurit sandi.

"Tentu mereka akan membuat lembing untuk menandingi tombak lempar kita." Kata senopati.

"Untung kita memiliki tameng yang banyak, untuk menahan senjata jarak jauh mereka." Kata Jalak Seta. 

"Semua prajuritku telah memilikinya. Kita harus membuat barisan bertameng juga bagi para pengawal, sebagai pelindung bagi teman-temannya." Lanjutnya.

"Para pengawal juga punya alat itu. Pasukan gadis dan remaja yang belum punya." Kata Handaka.

"Jika demikian pasukan gadis dan remaja harus terpisah pada jarak yang tak terjangkau senjata-senjata itu untuk sementara waktu. Baru nanti jika kedua pasukan telah bertemu di medan perang, bisa bergabung menghadapi lawan." Kata senopati.

"Apakah mereka membuat obor-obor untuk penerang ?"

"Tidak senopati. Untuk membuat minyak biji jarak mungkin terlalu lama, jarang sekali terdapat tanaman jarak yang sudah kering buahnya. Obor penduduk yang biasa diletakkan di regol halaman mungkin dibawa pemiliknya juga. Mereka berangkat mengungsi di malam hari."

"Jika demikian kemungkinan mereka menyerang pada siang hari.  Kita sambut mereka dengan memasang gelar." Kata Senopati.

"Gelar apa yang harus kita persiapkan ?" Tanya Handaka.

"Kebiasaan mereka bertempur tanpa gelar. Mereka datang berbondong-bondong tanpa aturan tertentu. Oleh karena itu, kita siapkan gelar yang lebar. Jika mereka menyerang induk pasukan kita, sayap-sayap gelar kita bisa menusuk lambung kanan dan kiri barisan lawan." Usul Jalak Seta.

"Kita pilih gelar Garuda Nglayang ? Akupun setuju. Andai kita pasang gelar Jurang Grawah juga tak apa-apa.  Kita pancing mereka masuk lubang jurang, lantas kita timbun dengan dinding-dinding pasukan dari kanan kiri." Kata Senopati.

"Kita pilih Garuda Nglayang saja, agar gerak sayap lebih leluasa. Karena ada senopatinya sendiri yang memimpin masing-masing sayap." Kata Sambaya.

"Baiklah kita pilih gelar itu. Senopati induk pasukan aku yang pegang, jadi paruh garuda. Di dampingi senopati pengapit dua orang, ki demang Sentika dan Jalak Seta. Senopati sayap kanan Sambaya, dibantu Kartika. Membawa sebagian besar barisan pengawal. Sedangkan sayap kiri senopatinya Handaka di bantu Sekar Sari. Membawa pasukan gadis Maja Dhuwur, mentrik-mentrik gunung Arjuna, cantrik Cemara Sewu dan cantrik-cantrik gunung Halimun." Kata Senopati.

"Bagaimana dengan barisan remaja ?" Tanya Guritno pemimpin pengawal Sumber Bendo.

"Kita jadikan barisan cadangan."

"Kenapa Sekar Arum dan Sembada tidak kita pasang dalam gelar saja ?" Tanya Kartika.

"Mereka bersama pinisepuh yang hadir, Nyai Rukmini, Ki Ardi dan Mang Ogel kita biarkan bebas. Tugas mereka menghentikan gerakan gembong-gembong gerombolan itu. Jangan sampai mereka jadi algojo prajurit-prajurit kita." Kata Senopati.

Semua mengangguk-angguk mengerti maksud senopati. Bagi para pengawal yang tahu peran Sembada dalam perang setahun yang lalu di padang rumput barat dusun Wana Asri, cepat memahami. Saat itu Sembada tak terikat dalam pasukan, ia bebas bergerak menjelajahi medan. Oleh karena itu banyak pengawal yang terselamatkan oleh keroyokan pasukan musuh. Dengan cambuknya Sembada menghisap perlawanan mereka.

"Belum seluruhnya kita mengenal satu sama lain di antara pasukan kita. Harus ada tanda agar nanti dalam kecamuk perang kita tidak salah pilih lawan. Kata-kata sandi atau tanda-tanda lain yang mudah dikenali perlu kita putuskan juga." Kata Mang Ogel.

Semua yang mendengar usulannya mengangguk-angguk. Bisa di mengerti hal itu perkara kecil yang sangat penting artinya. Dengan sandi tertentu atau tanda yang disematkan dalam tubuh, langsung bisa dikenal mana kawan dan mana lawan.

"Kita pakai janur kuning sebagai tanda. Daun kelapa yang masih muda itu kita bikin selempang. Warnanya yang cerah, mudah dilihat dan dikenal. Dengan demikian gampang kita kenali mana kawan kita." Kata Ki Ardi.

"Tidakkah itu terlalu mencolok ?" Kata senopati.

"Justru harus mencolok, agar lebih cepat dikenal." Lanjut Ki Ardi.

"Baiklah. Jika semua setuju dipakainya tanda itu, saat terjun di medan semua harus memakai janur kuning sebagai selempang." Kata senopati memutuskan.

Demikianlah dua pasukan yang tengah berhadapan menyusun rancana sendiri-sendiri. Mereka yakin rencana itulah yang terbaik, yang diharapkan dapat berhasil mengalahkan musuh. Namun senopati prajurit Bala Putra Raja itu masih menyimpan rencana tersembunyi. Tak ada yang tahu apa rencananya itu. Termasuk para prajuritnya sendiri.

Lima hari terhitung sejak benturan pertama, pasukan gerombolan golongan hitam baru  siap melakukan penyerbuan lagi. Sebagaimana diperkirakan oleh para prajurit sandi, mereka memilih siang hari untuk melakukannya. 

Hampir semua anggota pasukan membawa tameng, terbuat dari kayu atau bambu. Tangan kanan membawa lembing terbuat dari bambu wuluh yang diruncingkan ujungnya. Tak banyak yang bisa mereka bawa, satu atau dua lembing telah cukup merepotkan bagi mereka.

Mereka melangkah dalam barisan dengan penuh keyakinan akan dapat membalas kematian kawan-kawan mereka. Teriakan-teriakan penuh semangat mengiringi perjalanan mereka.

Ketika telah sampai di tanah sawah yang menjadi medan pertempuran beberapa hari lalu, mereka lihat barisan lawan yang teratur rapi. Ratusan pengawal berdiri rapat berjajar-jajar, seolah seperti benteng baja yang kokoh dan sulit ditembus lawan. 

Tangan kiri membawa tameng berlapis besi, tangan kanan membawa pedang yang telah siap mereka gerakkan. Semuanya berselempang daun kelapa muda yang masih kuning warnanya. Ternyata kademangan Maja Dhuwur mampu menghimpun pasukan yang besar dan siap menyambut lawan.

Setelah berhenti sebentar mengamati kekuatan lawan, Singa Lodhaya segera mengangkat tangannya sembari berteriak keras seperti aum singa di hutan belantara.

"Serangggg, hancurkan barisan pengawal Maja Dhuwur. Maju !!!" 

Sambil bersorak pasukan golongan hitam itu berlari kencang, seolah mereka berlomba siapa yang lebih dulu dapat menjatuhkan lawan. 

Melihat pasukan lawan telah bergerak maju dengan berlari kencang, senopati tetap diam. Namun ketika jarak mereka telah dekat, dan ratusan lembing meluncur deras di udara dari tangan-tangan lawan, barulah senopati berteriak.

"Maju !!! Serang !!!" 

Pasukan induk yang terdiri dari para prajurit Bala Putra Raja itu dengan sigap dan cepat berlari menyambut lawan. Dengan begitu mereka sekaligus menghindari bidikan lembing lawan. 

Saat lembing-lembing pasukan gerombolan golongan hitam itu menukik turun, lawannya sudah tidak berada di tempatnya lagi. Ratusan lembing itu akhirnya menancap di tanah sawah seperti ratusan bambu yang baru ditanam.

Hampir semua anggota barisan pasukan gerombolan hitam mengumpat, lembing-lembing mereka satupun tidak mengenai musuhnya. Bahkan kini para pengawal Maja Dhuwur itu telah bergerak lari menyambut kedatangan pasukan mereka dengan pedang diacung-acungkan.

Sungguh usaha mereka membuat lembing-lembing itu terasa tidak ada gunanya. Lawan berpindah tempat maju menyerang saat lembing mereka masih melayang membentuk garis lengkung di udara. Kini mereka terpaksa menggunakan senjata lamanya, mencabut pedang untuk menghadapi lawan.

Sebentar saja pekik perang dan denting senjata beradu telah memenuhi udara. Jumlah anggota barisan induk pasukan Maja Dhuwur ternyata kalah banyak dengan jumlah pasukan lawan, oleh karena itu segera saja mereka terdesak ke belakang.

Senopati tidak begitu cemas melihat itu semua, sekali-sekali ia masih menyambut serangan lawan dengan pedangnya. Demikian juga dua orang pengapitnya, Jalak Seta dan ki demang Sentika, sambil bergeser mundur mereka terus menangkis dan menghindari serangan lawan.

"Tidakkah kau panggil sayap-sayap gelar pasukan kita ? Pasukan lawan seperti banjir bandang melanda kita." Kata ki demang.

"Ya ki demang. Akan aku panggil sayap-sayap gelar kita, agar segera menyerang lambung barisan lawan." Kata senopati.

Terdengar sebuah suitan nyaring, di susul suara dua panah sendaren meluncur di udara menuju arah yang berlawanan. Sebentar saja sorak membahana terdengar dari sayap-sayap prajurit Maja Dhuwur yang muncul dari gerombul-gerumbul tanaman di pinggir sawah.

Dua kelompok pasukan yang baru datang itu segera lari mendekati pasukan induk mereka yang terdesak mundur. Kemudian segera saja mereka masuk menusuk lambung barisan lawan. Semangat mereka menggelora dan menggetarkan. Terpaksa barisan musuh itu harus membagi perhatian, sebagian di antara mereka segera menghadapi barisan yang baru datang.

Kini nampak ada keseimbangan jumlah pasukan yang tengah bertempur di sawah yang baru dipanen itu. Pedang, tombak, trisula, canggah, saling berbenturan berebut dulu menjatuhkan lawan.  Pasukan induk Maja Dhuwur tak lagi mundur terdesak pasukan musuh.

Di sayap kiri pasukan gadis dan mentrik padepokan gunung Arjuna merangsek terus dengan serangan-serangan yang cepat dan ganas. Demikian pula murid-murid Cemara Sewu dan cantrik Mang Ogel dari tanah pasundan itu, mereka tak mau kalah dengan para wanita yang telah berjuang keras melibas lawan. Dengan teriakan-teriakan yang tak kalah keras mereka gerakkan senjata untuk menyerang.

Sekar Sari bersama Handaka yang memimpin sayap pasukan juga telah berhadapan dengan musuh yang tangguh. Mereka bertemu kembali dengan Macan Belang Jantan dan Macan Belang Betina untuk bertempur mengadu nyawa. 

Wanita ganas dengan jari-jari bersalut logam tajam anak pemimpin padepokan Lodhaya itu bertemu kembali dengan wanita yang pernah melukainya. Dendamnya melonjak naik untuk membalas kekalahannya dulu. Dengan geram penuh kemarahan ia menyerang dengan cepat sengit dan keras.

"Sebentar lagi wajah cantikmu akan aku robek-robek dengan cakarku. Bukankah kau gadis yang dulu melukai dadaku." Teriaknya garang.

"Iya, akulah Sekar Sari yang juga telah membunuh Gagak Ijo. Jangan kau bermimpi mampu menyentuh wajahku selama aku masih berpedang." Jawab Sekar Sari.

"Jangan kau jumawa mampu membunuh gagak kerdil itu. Aku telah mewarisi Aji Macan Liwung milik ayahku, sebentar lagi kau akan kehilangan kecantikan dan yawamu."

"Aku tak takut dengan ajimu. Sesumbarmu saja yang menggetarkan langit, belum tentu kemampuanmu menggetarkan dada dan pedangku."

Macan Belang Betina marah, ia meloncat menerkam Sekar Sari dengan membuka jari-jarinya yang tajam. Gadis cantik calon menantu ki demang itu tetap waspada terhadap bahaya cakar lawan, ia menghindar kesamping dengan lompatan panjang.

Demikianlah keduanya segera terlibat dalam pertempuran yang sengit. Saling menghindar dan menyerang silih berganti, dengan cepat keras dan sengit.

Di tempat lain Handaka juga tengah bertempur dengan Macan Belang Jantan. Lelaki musuhnya itu kini lebih ganas dan membahayakan. Namun Handaka juga telah digembleng ayahnya, sama sekali ia tak gentar menghadapi menantu Singa Lodaya itu.

Di sekitar Handaka dan Sekar Sari pasukan gadis Maja Dhuwur dan para mentrik murid Nyai Rukmini itu juga tengah bertempur dengan musuh-musuhnya. Lawan-lawannya yang semula meremehkan mereka karena yang mereka hadapi kebanyakan hanya wanita, kini mereka harus berjuang keras dan memeras keringat melawan gadis-gadis yang ganas itu.

"Ayo pulang saja ke rumahmu, menunggu aku menjemputmu untuk kujadikan istriku. Buang senjatamu, jangan lagi melawan. Percuma kalian hanya wanita-wanita lemah."

Namun ucapan lawan yang mereka dengar itu mereka sambut dengan serangan-serangan yang lebih ganas dan keras.  Para lelaki brandal yang pemberani itu terkejut dengan tandang gadis-gadis yang dihadapinya. Mereka kewalahan menangkis dan menghindar dari sabetan senjata gadis-gadis itu.

Di sayap kanan Kartika dan Sambaya terpaksa mengeroyok Gemak Sangklir murid Srigunting dari padepokan Gunung Kendeng. Lelaki itu ternyata sangat sakti. Kulitnya tak mempan oleh tajamnya senjata mereka berdua. Terpaksa mereka memilih bagian-bagian tubuhnya yang di anggap lemah. Yakni mata lelaki yang juling itu.

Gemak Sangklir menyadari betapa bahayanya serangan kedua lawannya. Ia selalu menghindar dan menangkis serangan yang mengarah ke matanya. Tapi membiarkan serangan yang mengenai tubuhnya. Kenyataan ini meyakinkan Sambaya dan Kartika untuk terus mengarahkan serangan ke mata yang juling itu.

"Licik kalian hanya berani mengeroyokku." Kata Gemak Sangklir.

"Ini perang terbuka. Bukan perang tanding. Jadi boleh-boleh saja kami mengeroyokmu." Jawab Sambaya.

"Setan alas. Sebentar lagi kalian akan kehilangan kepala karena pecah terbentur bindiku." Ancam Gemak Sangklir.

Dengan cepat Sambaya dan Kartika bergantian menyerang berandal sakti dari gunung Kendeng itu. Jika gagal serangannya keduanya segera melompat menjauhi lawannya. Mereka tidak mau tubuhnya terhantam bindi yang digerakkan tangan berkekuatan besar itu.

Menghadapi cara perang kedua pemuda itu Gemak Sangklir mengumpat-umpat. Ia semakin marah kepada dua musuhnya itu. Segera ia memutar bindinya dengan cepat seperti baling-baling. Suaranya menderu keras menusuk telinga.

Sambaya dan Kartika kaget dengan suara itu. Deru suara itu menyakiti gendang telinga mereka. Segera mereka menutup lubang telinga mereka dengan jari-jari. Tangan kanannya yang memegang senjatapun mereka angkat untuk menutup telinga kanan mereka.

Kesempatan itu dipergunakan Gemak Sangklir untuk menyerang.  Ia berteriak dengan keras sambil melompat ke arah Sambaya, Bindinya ia angkat tinggi-tinggi siap dibenturkan kepala pemuda itu.

"Awas Kakang. Bindi itu mengarah kepalamu." Teriak Kartika.

Tak ada kesempatan Sambaya melompat menghindar. Ia hanya menyiapkan pedangnya untuk menangkis gerakan bindi yang mengarah ke kepalanya. Matanya terpejam menanti maut menjemputnya, akibat benturan kepalanya dengan bindi itu tentu akan menewaskannya.

Namun aneh ternyata nyawanya belum melayang. Terdengar suara wanita berteriak, dan dentang senjata beradu. Bindi yang tengah meluncur ke kepala Sambaya tertepis dengan keras oleh pedang seorang gadis, benturan dua senjata itu memercikkan bunga api, dan selamatlah kepala Sambaya.

"Lepaskan musuhmu, biar aku yang meladeninya. Jangan biarkan pasukanmu morat-marit tanpa pimpinan." Suara gadis itu.

Sambaya membuka matanya, ia melihat Sekar Arum bertempur dengan kerasnya melawan Gemak Sangklir. Betapa ia malu melihat kenyataan, bahwa gadis itu sendirian mampu melawan musuhnya yang sakti itu dengan baiknya.

"Jangan diam saja kalian berdua. Segera atur perlawanan para pengawal, jangan biarkan mereka terdesak." Teriak Sekar Arum.

Barulah Sambaya dan Kartika sadar bahwa tugas mereka mengatur pasukannya menghadapi lawan. Segera mereka melayangkan pandangannya ke barisan pengawal yang tengah bertempur pula. Benar saja pasukannya agak terdesak oleh gempuran lawan.

"Terima kasih Sekar atas pertolonganmu." Teriak Sambaya lantas melompat masuk ke barisan pengawal yang dipimpinnya.

Sementara Sekar Arum terus dengan ganasnya melibat gemak Saklir dalam pertempuran yang dahsyat. Sepasang pedangnya bergerak bergantian menyerang tubuh Gemak Saklir. Semula ujung pedang itu tidak mampu menembus kulit lelaki itu. Namun setelah Aji Garuda Sakti telah mengalir ke tangan kanannya, kekuatannya menjadi berlipat.

Dengan cepat Sekar Arum bergerak. Dua pedangnya berputar dengan keras, kemudian tubuhnya melayang sambil menggerakkan ujung pedang di tangan kanannya menusuk dada Gemak Sangklir.  Lelaki itu memiringkan tubuhnya untuk menghindar, namun sabetan pedang di tangan kiri Sekar Arum berhasil membelah punggungnya.

"Setan kau. Mampu menembus Lembu Sekilanku." Kata Gemak Saklir.

"Apalagi hanya sekilan, lembu sedepapun akan tertembus ilmu pedangku." Jawab Sekar Arum.

Gemak Sangklir terhuyung-huyung, dengan cepat Sekar Arum melompat tinggi kearahnya, tangannya bergerak cepat dan keras menyabetkan pedang ke leher lawan.

Tubuh Gemak Sangklir roboh ke tanah, kepalanya lepas menggelinding ke arah barisan pasukan yang masih sengit bertempur. Sekar Arum melesat meninggalkan musuhnya yang berkalang tanah.

Sorak-sorai membahana di tengah medan tempur sayap kanan itu.

"Gemak Sangklir mati. Gemak Sangklir tewas. Dibunuh Sekar Arum"

"Gemak Sanglir kepalanya lepas, Gemak Sangklir kepalanya lepas." Demikian sorak itu tiada henti-hentinya.

(Bersambung)

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun