"Ya ki demang. Akan aku panggil sayap-sayap gelar kita, agar segera menyerang lambung barisan lawan." Kata senopati.
Terdengar sebuah suitan nyaring, di susul suara dua panah sendaren meluncur di udara menuju arah yang berlawanan. Sebentar saja sorak membahana terdengar dari sayap-sayap prajurit Maja Dhuwur yang muncul dari gerombul-gerumbul tanaman di pinggir sawah.
Dua kelompok pasukan yang baru datang itu segera lari mendekati pasukan induk mereka yang terdesak mundur. Kemudian segera saja mereka masuk menusuk lambung barisan lawan. Semangat mereka menggelora dan menggetarkan. Terpaksa barisan musuh itu harus membagi perhatian, sebagian di antara mereka segera menghadapi barisan yang baru datang.
Kini nampak ada keseimbangan jumlah pasukan yang tengah bertempur di sawah yang baru dipanen itu. Pedang, tombak, trisula, canggah, saling berbenturan berebut dulu menjatuhkan lawan. Â Pasukan induk Maja Dhuwur tak lagi mundur terdesak pasukan musuh.
Di sayap kiri pasukan gadis dan mentrik padepokan gunung Arjuna merangsek terus dengan serangan-serangan yang cepat dan ganas. Demikian pula murid-murid Cemara Sewu dan cantrik Mang Ogel dari tanah pasundan itu, mereka tak mau kalah dengan para wanita yang telah berjuang keras melibas lawan. Dengan teriakan-teriakan yang tak kalah keras mereka gerakkan senjata untuk menyerang.
Sekar Sari bersama Handaka yang memimpin sayap pasukan juga telah berhadapan dengan musuh yang tangguh. Mereka bertemu kembali dengan Macan Belang Jantan dan Macan Belang Betina untuk bertempur mengadu nyawa.Â
Wanita ganas dengan jari-jari bersalut logam tajam anak pemimpin padepokan Lodhaya itu bertemu kembali dengan wanita yang pernah melukainya. Dendamnya melonjak naik untuk membalas kekalahannya dulu. Dengan geram penuh kemarahan ia menyerang dengan cepat sengit dan keras.
"Sebentar lagi wajah cantikmu akan aku robek-robek dengan cakarku. Bukankah kau gadis yang dulu melukai dadaku." Teriaknya garang.
"Iya, akulah Sekar Sari yang juga telah membunuh Gagak Ijo. Jangan kau bermimpi mampu menyentuh wajahku selama aku masih berpedang." Jawab Sekar Sari.
"Jangan kau jumawa mampu membunuh gagak kerdil itu. Aku telah mewarisi Aji Macan Liwung milik ayahku, sebentar lagi kau akan kehilangan kecantikan dan yawamu."
"Aku tak takut dengan ajimu. Sesumbarmu saja yang menggetarkan langit, belum tentu kemampuanmu menggetarkan dada dan pedangku."