Mohon tunggu...
Wahyudi Nugroho
Wahyudi Nugroho Mohon Tunggu... Freelancer - Mantan MC Jawa. Cita-cita ingin jadi penulis

Saya suka menulis, dengarkan gending Jawa, sambil ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Bab 42: Gagak Ijo Tewas (Cersil STN)

30 Juli 2024   19:08 Diperbarui: 30 Juli 2024   20:35 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar dokpri

Ketika barisan depan pasukan yang menyerbu kademangan Maja Dhuwur banyak yang terjungkal karena anak panah, barisan di belakangnya berhenti serta balik badan hendak lari menghindar. Namun barisan di belakangnya lagi merangsek maju, mereka tidak tahu apa yang terjadi. Akibatnya situasi kacau, berjubal dan berdesakan.

Pasukan panah berhenti meluncurkan anak panah, kini berganti prajurit yang tadi berbaris di depan, dengan cepat mereka lari maju lagi mendekati lawan mereka yang tengah panik. Di tangan kanan mereka tergenggam sebatang tombak lempar. Bahkan ada yang membawa lebih dari satu.

Ketika jarak mereka dengan musuh sudah dekat, dengan sekuat tenaga mereka melemparkan tombaknya ke arah kerumunan orang-orang yang dilanda kepanikan itu. Tak ada kesempatan untuk menghindar, menangkispun tidak, gelapnya malam menutupi mata mereka, kalau ada benda tajam meluncur deras mengancam tubuh mereka.

Terdengar rentetan jerit kesakitan orang-orang yang terkena tajamnya tombak. Sebentar saja mereka bergelimpangan jatuh ke tanah. Darah menyembur dari luka mereka yang parah. Cairan merah itu tumpah di tanah persawahan yang baru dipanen.

Pasukan Maja Dhuwur segera balik lari ke belakang setelah melempar tombaknya. Ia berlindung di belakang pasukan panah. Andai ada musuh mengejar, nyawanya pasti terbang melayang oleh tajamnya anak panah pasukan remaja Maja Dhuwur.

"Munduuuŕr !!, mundur semua !!!"terdengar teriakan keras yang menggetarkan dada. Perintah itu keluar dari mulut Singa Lodhaya. Suaranya seperti aum singa yang sedang marah.

Pasukan penyerbu gabungan beberapa gerombolan golongan hitam itu segera menarik diri. Meninggalkan teman-teman mereka yang tengah meregang nyawa. Bahkan banyak pula  yang langsung tewas, akibat panah atau tombak yang langsung menghujam jantung.

Sungguh benturan pertama itu benar-benar membuat hati para penyerbu itu panas. Mereka semua sangat marah. Namun tidak ada yang dapat mereka lakukan untuk membalas. Malam yang gelap, tiada setitik cahaya yang menerangi medan itu, membuat hati mereka kian pilu.

Meski masih banyak kesempatan untuk menyergap pasukan lawan, dan persediaan anak panah dan tombak lempar masih cukup, namun Jalak Seta menghentikan gerakan itu.

Lurah prajurit dari pasukan Bala Putra Raja itu menganggap cukup untuk menjatuhkan mental musuh. Jumlah lawan yang tak lagi berdaya melanjutkan perang sudah banyak. Keadaan mereka itu benar-benar mempengaruhi kejiwaan semua anggota gerombolan penyerbu. Baik pemimpinnya, apalagi anak buah mereka.

Terbukti situasi jeda itu berlangsung lama. Tak ada tanda-tanda mereka melakukan  gerakan lagi. Bahkan ketika pagi tiba, fajar mulai menyingsing di timur, gerombolan pasukan penyerbu itu justru balik badan dan berjalan pulang ke pesanggrahan mereka yang baru.

Pasukan Maja Dhuwur tiba-tiba bersorak gembira. Hati mereka yang sempat tercengkam oleh keadaan yang menegangkan saat menghadapi para penyerbu itu, kini cengkaman itu seperti terlepas begitu saja, melihat semua barisan lawan meninggalkan gelanggang. Semua bisa bernafas lega, tugas pertama mereka telah tertunaikan dengan baik.

Sambaya dan Kartika yang meminpin barisan panah pasukan remaja Maja Dhuwur bergerak maju ke depan barisan itu. Keduanya hampir bersamaan mengangkat tangan mereka, untuk menghentikan sorak sorai mereka. Dengan isyarat keduanya menjatuhkan perintah agar barisan kembali ke dusun induk kademangan Maja Dhuwur.

Demikian pula Jalak Seta. Ia perintahkan anak buahnya semua kembali ke kademangan.

Barulah prajurit yang bertugas menangani korban pertempuran bekerja. Mereka segera berjalan mendekati bekas arena pertempuran yang cukup singkat namun menegangkan itu. Meski pekerjaan demikian sudah sering mareka lakukan, namun begitu melihat banyaknya orang yang bergelimpangan di arena itu, tubuh-tubuh mereka malang melintang bahkan saling tindih satu dengan yang lain, membuat bulu kuduk mereka sempat merinding.

Segera mereka halau suasana hati yang mengganggu itu. Tanpa ragu-ragu mereka segera memilih dan memilah mana yang masih hidup dan yang sudah tewas.  

Meski semuanya lawan, namun yang masih hidup segera mereka beri pertolongan. Jika ada yang merasa haus lekas-lekas mereka beri air minum. Kemudian satu persatu membawa mereka ke tempat perawatan yang telah disediakan.

Musuh yang sudah tewas mereka bawa ke pinggir hutan untuk dimakamkan. Meskipun tak ada satupun teman mereka yang memperhatikan orang-orang yang telah tewas itu, mereka tetap menyelenggarakan pemakaman dengan baik.

Demikianlah pertempuran di tanah sawah yang baru dipanen itu berakhir. Kesepian dan keheningan pagi datang kembali bersama sinar matahari yang ramah menyapa bumi.

Suara burung-burung gagak yang berebut berkaok di udara, yang berdatangan karena mencium bau darah tercecer di tanah, membuat suasana pagi itu terasa tintrim dan tambah ngelangut menyesakkan isi dada.

****

Rupanya pasukan kecil yang dipimpin Gagak Ijo dan Kelabang Ireng, yang melepaskan diri dari induk pasukannya, telah sampai di dusun Sumber Bendo. Dusun itu sepi sekali, tak  seorangpun yang tersisa tinggal di rumah.  Semua  diungsikan oleh para pengawal, dibantu oleh para prajurit Bala Putra Raja.

Pasukan kecil itu tidak segera menunaikan tugas; membuat onar dusun itu agar terjadi kekacauan, sehingga pasukan induk Maja Dhuwur pecah. Mereka tertarik untuk menggeledah dulu semua rumah  di dusun itu, barangkali masih ada barang-barang berharga yang lupa dibawa pemiliknya mengungsi.

Namun usaha mereka ternyata sia-sia. Bahkan saat masuk rumah besar milik juragan ternak  di dusun itu, tak secuwil barang berharga mereka temukan. Bahkan seekor ternakpun tak ada yang tertinggal, kecuali ayam-ayam yang dilepaskan agar hidup bebas di luar kandangnya.

Betapa kesal dan marah hati mereka, tak dapat memperoleh barang berharga yang mereka harapkan. Segera mereka mengumpulkan dedaunan kering, mereka tumpuk di dekat dinding-dinding kayu atau bambu rumah-rumah di dusun itu. Kemudian mereka ambil obor-obor yang masih menyala yang terpasang di setiap regol rumah, lantas menyulut sampah-sampah dedaunan kering itu dengan api.

Sebentar saja api menyala, dan merambat ke dinding dan atap yang terbuat dari bahan-bahan tak tahan api. Nyalanya berkobar menggapai langit, diikuti asap hitam tebal membelah angkasa.

Kobaran api dan kepulan asap yang menjulang tinggi di angkasa di dusun Sumber Bendo bagian selatan itu menarik perhatian pasukan yang dipimpin  ki demang Sentika. Mereka baru saja masuk regol padukuhan Sumber Bendo sebelah utara. Mata ki demang menyala karena hatinya sangat marah.

"Cepat kita bergegas ke arah api. Jangan sampai mereka bakar semua rumah di dusun ini." Teriak ki demang dengan geram.

Pasukan yang sebagian besar anggotanya para gadis itu segera berlari dengan kencang. Mereka langsung menuju lokasi kebakaran. Ketika telah dekat mereka lihat para pembakar rumah itu masih bergerombol sambil bersorak-sorak.

Betapa marah hati setiap anggota pasukan yang di bawa ki demang. Sebagian gadis-gadis itu ada yang membawa busur dan anak panah. Tanpa di perintah gadis-gadis itu ambil busur dan anak panahnya, sebentar saja belasan anak  panah melayang di udara.

Para pembakar rumah  itu terlena  dengan kegembiraan mereka, tidak tahu panah berujung tajam meluncur ke arah tubuhnya. Baru mereka sadar ada kekuatan yang mengancam keselamatan mereka setelah teman-temannya banyak yang menjerit kesakitan. Anak-anak panah menancap dalam di tubuh teman-temannya itu.

Segera mereka lari berhamburan mencari perlindungan di balik pepohonan. Tangan-tangan mereka telah menggenggam senjata. Ketika yang datang kebanyakan gadis segera tumbuh keberanian mereka untuk keluar dari persembunyian.

Namun gadis-gadis itu ternyata lebih  beringas dan ganas daripada laki-laki. Saat para pembakar rumah itu tersenyum-senyum bahkan ada yang tertawa-tawa sambil melangkahkan kakinya keluar dari persembunyian, tiba-tiba gadis-gadis  itu melandanya dengan serangan-serangan yang keras cepat dan ganas.

Para pembakar rumah itu kewalahan untuk menghindar dan menangkis, meski mereka telah banyak berpetualang di dunia kekerasan, namun kini yang dihadapi sangat berbeda. Gadis-gadis itu adalah anggota pasukan wanita yang terlatih, kemampuannya bermain  senjata tidak lagi bisa diragukan.

Maka sebentar saja para pembakar rumah itu dapat didesak dengan dahsyat. Bahkan ada di antara mereka yang terluka, dadanya atau pundaknya tersabet tajamnya pedang.

Apalagi Sekar Sari yang hatinya terbakar perasaan geram, dengan pedang tipisnya ia mengamuk membabat semua yang menghadangnya. Berulang kali ia  berganti lawan setelah lawan-lawannya terdahulu terjungkal di tanah.

"Hebat kau gadis. Mampu menebas musuh-musuhmu hingga tewas. Lebih baik  segera hentikan ulahmu itu. Aku muak melihatnya." Kata Gagak Ijo yang juga marah melihat anak buahnya tak berdaya menghadapi gadis cantik itu.

"Jangan banyak bacot, majulah. Jika kau tak terima anak buahmu aku babat habis." Kata Sekar Sari sambil tetap menggerak-gerakkan pedangnya menyerang lawanlawannya.

"Minggir kalian !! Melawan perempuan saja tak becus." Katanya kesal.

Gagak Ijo segera mencabut sepasang pisau pendeknya. Ia berteriak keras sambil melompat maju, untuk memberi sarangan-serangan mematikan kepada Sekar Sari.

"Hiyyaat, mampus kau gadis. Sebentar lagi kulitmu akan aku kupas dengan kedua belatiku ini." Geramnya.

Sekar Sari waspada terhadap  datangnya serangan lawannya yang berbahaya. Ia yang telah tertata urat syaraf dan nadinya, sehingga tak lagi ada hambatan dalam tubuhnya untuk menyalurkan tenaga dalam, dengan sigap ia menangkis setiap serangan Gagak Ijo.

Lelaki kekar berjambang lebat dengan tampang mengerikan itu kaget, bukan pedang gadis cantik lawannya itu yang terlempar saat senjata mereka berbenturan, namun justru tangan Gagak Ijo yang bergetar.  Terasa jari-jarinya yang menggenggam sepasang belati itu seperti kesemutan, hampir saja senjatanya terlepas. Segera lelaki itu meloncat mundur sambil mengumpat.

"Setan alas. Anak demit. Ternyata ilmumu telah berkembang pesat. Jauh dari kemampuanmu  saat kita bertemu di hutan Waringgin Soban." Kata Gagak Ijo dengan geram.

Di luar lingkaran pertempuran Sekar Sari dan Gagak Ijo, pertempuran di dusun Sumber Bendo itu ternyata berlangsung dengan dahsyatnya. Di jalan-jalan, di pekarangan penduduk, di halaman rumah-rumah yang terbakar, telah terjadi perkelahian yang seru dan sengit.

Handaka dikeroyok oleh tiga orang anak buah Kelabang Ireng. Para pengawal yang dibawapun telah berhadapan dengan musuh-musuhnya. Bahkan ki demang Sentika telah terlibat pertempuran pula, melawan musuh yang pernah mengeroyoknya bersama Gagak Ijo, bahkan sempat melukai dadanya pula. Dialah Kelabang Ireng pendekar hitam dari pesisir selatan.

Meski Kelabang Ireng telah mewarisi ilmu puncak gurunya, Aji Kelabang Kures, yang mampu menyemburkan air liur yang panas, dan dapat membuat kulit melepuh, namun kini ki demang tidak merasa kesulitan apapun. Nadi dan syarafnya juga telah tertata berkat bantuan Sembada, maka tenaga dalam ki demang dapat disalurkan sampai tuntas.

Pertempuran di antara keduanya berlangsung dengan dahsyat. Saling serang dan mendesak dengan dahsyatnya. Keduanya sedikit demi sedikit telah meningkatkan ilmu kanuragan mereka.

Ki demang takjub dengan ilmu lawannya, badannya dapat meliuk-liuk lemas, dan melingkar-lingkar seperti lipan atau kelabang. Dan tanpa diduga melemparkan pisau-pisau kecil dengan tangan kirinya dengan cepat, jika pedang besarnya tidak mengenai sasaran saat dia menyerang.

"Sekali kena pisauku kau pasti mampus ki demang. Ujungnya telah aku oles bisa ular yang paling tajam. Bisa ular Gundhala." Katanya.

Namun ki demang cukup hati-hati. Pedangnya dapat menghalau pisau-pisau yang meluncur mengancam nyawanya. Setiap pisau itu terbang dari tangan kiri lawannya dengan sigap ki demang menepisnya dengan pukulan pedang.

Demikianlah pertempuran dua orang pemimpin dari kesatuan pasukan yang berbeda itu berlangsung dengan serunya. Keduanya sama-sama lincah gesit dan kuat. Tak seorangpun anak buah mereka berani mendekat dengan dua orang yang mengadu nyawa itu.

Di lain tempat, gadis-gadis yang dibawa Sekar Sari tidak juga mengecewakan. Ilmu kanuragan mereka mampu mengimbangi ilmu lawan-lawan mereka, meski lawan-lawannya itu bertempur dengan kasar dan berteriak-teriak mengeluarkan kata-kata kotor. Justru karena tersulut oleh kebencian atas kata-kata itu, para gadispun berjuang kian keras untuk segera menghalau lawan-lawannya.

Pedang-pedang mereka bergerak kian kuat dan cepat, menangkis dan menyerang dengan dahsyat. Ketika lawan-lawan mereka kehilangan kewaspadaan, tanpa ragu-ragu mereka menikam dan menyabet bagian tubuh lawannya.

Terdengar jerit menyayat berurutan, ketika pedang-pedang mereka berhasil melukai lawan.  Beberapa lelaki roboh dengan dada yang terbelah memuncratkan darah.

Gadis-gadis tidak berhenti bertempur ketika lawannya telah tersungkur. Mereka segera terjun membantu sahabat-sahabatnya. Maka korban kian lama kian bertambah banyak, anggota pasukan pembuat onar itu akhirnya berantakan.

Mengetahui keadaan anak buahnya yang morat-marit melawan pasukan gadis, Gagak Ijo benar-benar marah. Ia berteriak memaki-maki anak buahnya itu.

"He musuh-musuhmu itu kebanyakan gadis. Kenapa tidak segera kalian melibasnya. Setan kalian." Teriak murid Gagak Arga itu.

Namun Gagak Ijo tak melihat ke dirinya sendiri. Iapun melawan seorang gadis pula, tetapi hingga kini belum juga mampu mengalahkannya. Iapun kesal dan marah. Semua jurus andalan ilmu kanuragannya telah ia keluarkan, untuk segera melibas gadis perkasa yang menjadi lawannya itu.

Namun apapun yang ia lakukan seolah cabar dihadapan gadis itu. Ia mampu memunahkan setiap bahaya dari gerak ilmu kanuragannya. Kecepatan geraknya juga tinggi, apalagi tenaga dalamnya, benar-benar matang.

Ketika ia menengok saat terdengar jeritan anak buahnya, waktu sesaat itu digunakan Sekar Sari dengan baiknya. Ia meloncat dengan kecepatan tinggi dengan tangan menjulurkan pedangnya ke dada Gagak Ijo yang terbuka. Terasa ujung pedang itu menyentuk kulit lawannya, dan terus menyusup mengoyak daging dan organ dalamnya.

Lelaki kekar berjambang lebat itu berusaha menghindar dan memukul balik lawannya, tapi dengan cepat Sekar Sari mencabut pedangnya sambil menghindari pukulan pisau lawan itu. Gagak ijo terhuyung badannya ke depan karena pukulannya tak mengenai sasaran. Sekar Sari melihat perut lawannya terbuka, dengan cepat ia menyabetkan pedang sekuatnya. Ujung pedang itu bergerak menyilang membelah perut hantu Hutan Waringin Soban itu.

Jerit kesakitan bergema dari mulut Gagak Ijo. Ia terhuyung-huyung sebentar ke belakang sambil menudingkan salah satu pisau kepada lawan.

"Setan kau gadis. Anak demit. Kau tusuk dadaku dan kau belah perutku." Katanya dengan mata menyala. Ia lemparkan pisaunya kearah Sekar Sari, namun tenaga lemparannya sudah tak besar lagi. Sekar Sari menggeser kaki dan memiringkan tubuhnya untuk menghindari lemparan itu.

Gagak ijo menekam perutnya yang terbelah. Tubuhnya gemetar sesaat, kemudian ia jatuh terduduk dengan kedua lutut menyangga badannya. Tidak lama lagi iapun jatuh tengkurap memeluk tanah. Nafasnya putus bersama nyawanya yang terlepas. 

Sorak-sorai pecah membahana dari mulut pasukan gadis Maja Dhuwur.

"Gagak Ijo mati. Gagak Ijo tewas." Demikian bersaut-sautan.

Berita itu mengagetkan semua anggota pasukan yang ditugaskan Singa Lodhaya bikin keonaran itu. Tidak berselang lama terdengar suitan panjang dari bibir Kelabang Ireng. Suitan perintah agar pasukannya lari meninggalkan gelanggang.

Semua anggota pasukan itu segera melompat mundur dan berbalik badan untuk lari dari gelanggang. Demikian juga Kelabang Ireng, iapun dengan cepat berusaha melepaskan diri dari libatan ki demang.

Tiga buah pisau terbang menyerang ki demang berurutan, lelaki itu melompat-lompat untuk menghindarinya. Saat ada kesempatan terbuka Kelabang Ireng segera melontarkan tubuhnya ke belakang dan lari sekencang-kencangnya.

Ki demang tidak membiarkan musuhnya lepas, dengan cepat ia bangkitkan getaran Aji Sapta Dahana. Dengan segera ia ulurkan tangan kirinya untuk menyerang Kelabang Ireng. Seleret cahaya merah mengejar punggung Kelabang Ireng.  Cahaya yang panasnya setara lipat tujuh nyala api. Namun hantu pesisir laut selatan itu keburu terlindung beberapa pohon di pekarangan rumah itu. Akibatnya pohon-pohon itulah yang tersambar aji ki demang.

Terdengar ledakkan dahsyat. Pohon itu batangnya bergetar hebat. Daun-daunnya jatuh berguguran. Nampak warna hitam bekas terbakar pada batang pohon yang besar itu.  Kulit dan bagian dalam batang kayu itu sebagian hancur.  Bara api dan asap masih tersisa di batang kayu yang menghitam itu.

Semua yang menyaksikan peristiwa itu berdecak kagum. Baru sekarang mereka tahu, ternyata ki demang Sentika menyimpan ilmu yang dahsyat pula.

Ki demang segera memerintahkan agar semua berkumpul. Ia ingin mengetahui apakah jatuh korban dalam pasukannya. Ternyata dalam penyergapan itu tak ada yang tewas di antara mereka. Beberapa orang terluka ringan. Namun ada seorang gadis yang terluka berat. Ia harus dibuatkan tandu untuk membawanya pulang.

Korban tewas dipihak musuh cukup banyak, termasuk pemimpinnya, Gagak Ijo. Raja perampok hutan Waringin Soban itu tamat riwayatnya di dusun Sumber Bendo. Sementara korban luka terpaksa harus dirawat terlebih dahulu di kademangan Maja Dhuwur.

Berita tewasnya Gagak Ijo di tangan Sekar Sari telah tersebar di dua induk pasukan yang tengah bertempur. Senopati memberi selamat kepada Sekar Sari yang telah berhasil membunuh begal hutan Waringin Soban itu.

"Tak aku sangka tuan putri memiliki ilmu kanuragan yang tinggi. Meski aku telah mendengar sebelumnya bahwa tuan puteri pandai memainkan pedang, tetapi kemampuan melawan Gagak Ijo tidak semua prajuritku memilikinya." Kata Senopati Wira Manggala Pati saat menyambut pasukan kecil yang bertugas menghadang rombongan pasukan pembuat onar di Sumber Bendo.

"Terima kasih paman. Itu sudah kewajiban kami sebagai anggota pengawal kademangan. Jadi jangan sambut kami dengan berlebihan.

Dan satu lagi paman. Seperti Sekar Arum aku keberatan paman menyebutku tuan puteri. Paman bukan lagi pengawal ayah. Tetapi seorang senopati yang diangkat Pangeran Erlangga."

Senopati Wira Manggala Pati mengangguk-anggukkan kepala. Dua puteri tumenggung Gajah Alit sejak kecil memang sudah dikenalnya dengan baik, mereka memiliki watak yang rendah hati. Meski kini memiliki ilmu kanuragan yang tinggi, sikapnya itu tidak berubah.

Lain lagi yang terjadi di pesanggrahan pasukan golongan hitam yang kini bermukim di desa Sambirame. Gagak Arga marah-marah saat tahu murid utamanya tewas hanya karena melawan seorang Gadis. Ia malu di depan sahabat-sahabatnya, justru muridnya yang ia banggakan menjatuhkan martabat gurunya di kalangan golongan hitam.

"Biarlah ia mampus murid tak berguna itu. Benar-benar memalukan perguruan Gagak Bhirawa di gunung Kawi." Katanya.

Demikianlah yang terjadi saat penyerbuan pertama ke kademangan Maja Dhuwur itu. Benar-benar di luar harapan mereka yang terjadi. Mereka harus menelan jamu pahit menghadapi kenyataan.

Sebagaimana disarankan Singa Lodhaya sejak awal, mereka harus membawa perlengkapan perang yang memadai, sebelum menggempur kademangan Maja Dhuwur. Namun hampir semua terburu nafsu untuk merebut harta karun di kademangan itu. Akibatnya korban jatuh tak terhitung.

"Ternyata kita benar-benar orang-orang tolol." Kata Singa Lodhaya gusar.

Semua yang mendengarnya menundukkan kepala. Tapi apa mau dikata, nasi telah menjadi bubur.

(Bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun