Mohon tunggu...
Wahyudi Nugroho
Wahyudi Nugroho Mohon Tunggu... Freelancer - Mantan MC Jawa. Cita-cita ingin jadi penulis

Saya suka menulis, dengarkan gending Jawa, sambil ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Bab 21, Ilmu Sirep (Cersil STN)

17 April 2024   10:47 Diperbarui: 1 Juni 2024   22:13 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah tiba di rumah Sembada segera ganti pakaian.  Dengan baju yang sering ia kenakan sehari-hari ia segera pergi ke pakiwan.  Dua jambangan kosong ia isi air dengan menimba di sumur senggot di belakang rumah.

Setelah mandi halaman rumah yang kotor ia sapu dengan sapu lidi.  Bunyi gesekan sapunya dengan tanah membangunkan Mbok Darmi yang tidur pulas karena capek kerja semalam, menyiapkan bothok ikan untuk di jual di pasar.

Wanita tua itupun segera bangun, dan bergegas ke pakiwan pula.  Setelah mandi dan berdandan ia segera membawa bakulnya dalam gendongan hendak pergi ke pasar.

“Sembada, Simbok berangkat dulu Le.”

“Iya Mbok hati-hati.”

“Kamu pesan apa kepada Simbok ?.”

“Kue samplok dan cenil Mbok.  Sudah lama aku tidak makan makanan itu.”

“Baiklah.  Nanti aku belikan.”

Simbok Darmi segera berangkat.  Seperti biasa ia selalu melantunkan sebuah tembang kesukaannya sambil berjalan pergi ke pasar..

Sembada hanya tersenyum melihatnya. Wanita tua itu telah menemukan kebahagiaannya, pikirnya. 

Kini sendirian Sembada di rumah.  Setelah tugas rutinnya di rumah ia selesaikan ia duduk di amben bambu depan rumah.  Terbayang kembali dalam angannya pertemuan semalam di tanah lapang dekat rawa pandan.  Sama sekali ia tidak menyangka bahwa ia akan bertemu dengan senopati Narotama.  Punggawa praja sejak Prabu Darmawangsa berkuasa yang sangat dihormati para kawula.  

Ada kebanggaan tersendiri ia bisa bertemu dengan pembesar itu.  Apalagi kini ia dipercaya untuk mengemban tugas, mengambil kembali payung keramat milik kerajaan yang hilang.  Namun sangat ia sadari, tugas ini amatlah beratnya. Ia belum tahu letak padepokan Lodaya di lereng Kelud sebelah  selatan itu.  Apalagi kekuatan yang tersimpan di dalamnya.

Baru sebentar Sembada duduk di depan rumah, seekor kuda masuk regol halaman.  Di atasnya duduk dengan gagah seorang lelaki tegap kekar.  Ia tersenyum ketika bertatapan pandang dengan Sembada.

"Ki demang !!! " sapa Sembada seraya bangkit dari duduknya.  Ia segera menyalami tamunya dengan takzim.  "Ada keperluan apakah Ki demang datang menemui saya ? "

"Ada hal yang aku anggap sangat penting untuk aku sampaikan padamu Sembada." Kata Ki Demang Sentika.

"Kenapa Ki demang datang sendiri kemari ?  Bukankah bisa utusan untuk memanggil saya datang ke kademangan ?"

"Tentu kau agak rikuh datang ke kademangan karena Handaka atau Sekarsari." Jawab ki demang.

"Ahh tidak ki demang.  Aku toh sudah sering mengirim kayu bakar untuk dapur rumah ki demang."

"Jangan kau persoalkan kenapa aku yang datang mengunjungimu.  Kecuali ada hal yang aku anggap penting hendak aku sampaikan padamu, akupun layak menghormatimu sebagai kepercayaan Senopati Narotama.  Kedudukanmu tidak lebih rendah sekarang dari seorang demang.  Bahkan akulah yang seharusnya menghormatimu."

"Ah ki demang ada-ada saja.  Baiklah ki demang silahkan duduk di amben bambu ini. "  Sembada mempersilahkan ki demang Sentika duduk.  Iapun menerima tali kuda ki demang dan mengikat kuda itu pada sebuah batang pohon lamtara di halaman rumah Mbok Darmi.  Setelah menghidangkan pisang ambon kepada ki demang, Sembada duduk bersila di depan penguasa kademangan itu.

"Simbokmu ada di rumah ?"  Tanya ki demang.

"Tidak ki demang.  Beliau sudah berangkat ke pasar.  Hendak menjual botok lamtara dan pepes ikan yang semalam beliau buat hingga tengah malam."

"Pantesan kamu agak terlambat datang ke rawa pandan.  Tentu kau menunggu simbokmu tidur dulu."   Kata ki demang sambil tertawa kecil.

Setelah menikmati sesisir pisang, ki demang mengutarakan maksud kedatangannya.

"Kau tentu tidak lupa.  Sebelum berangkat menunaikan tugas kau diperintah menemuiku terlebih dahulu oleh Senopati Narotama."

Sembada mengangguk. "Iya Ki demang. aku tidak melupakannya.  Aku akan menghadap ki demang nanti setelah aku minta izin simbok.  Agak sulit bagiku untuk mengutarakan alasan kepada simbok, apa tujuan kepergianku yang sebenarnya."

"Lebih baik tak perlu kau utarakan tujuan kepergianmu.  Tentu itu akan membuat dia mencemaskan dirimu.  Lebih baik sampaikan saja hal-hal yang tidak menilmbulkan kecemasan padanya.  Misalnya kau hendak mengunjungi gurumu di suatu tempat."   

"Iya ki demang, hal itulah yang telah aku pikirkan.  Aku memang akan pergi ke Cemara Sewu dulu untuk menengok keadaan guru.  Sekaligus melaporkan pelaksanaan tugasku yang pertama.  Memastikan keberadaan Sekarsari di kademangan Majaduwur ini. Selanjutnya aku memohon petunjuk beliau tentang padepokan Lodaya yang sama sekali belum aku ketahui."

Ki demang mengangguk-angguk.  "Apa pendapatmu tentang Sekarsari sekarang ?"

"Aku kira Sekarsari telah berada di tempat yang aman.  Bahkan dia  malah telah ki demang persiapkan sebagai menantu.  Jadi sudah tidak akan mengkhawatirkan ibunya.  Tugas mencari keterangan keberadaan songsong tunggul naga juga sudah aku dapatkan.  Jadi tugas dari guru sudah aku anggap terselesaikan.  Tinggal melaporkannya saja. "

"Baiklah Sembada.  Kedatanganku kesini ada hubungan dengan tugas yang diembankan ke pundakmu oleh Senopati Narotama.  Aku tahu kau akan berhadapan dengan sebuah padepokan yang besar.  Tentu padepokan itu menyimpan kekuatan yang tidak bisa di remehkan.  Kecuali gurunya yang sudah terkenal sakti, juga murid-muridnya yang tentu jumlahnya tidak sedikit.  Mungkin ilmumu cukup untuk menandingi ilmu Singa Lodaya, pemimpin padepokan itu.  Tapi jumlah muridnya tentu juga akan menentukan akhir dari pertarunganmu melawan gurunya."

"Maksud Ki demang ?"

"Aku akan menitipkan sedikit ilmu yang pernah aku peroleh dan ku pelajari semasa muda.  Aku pernah terdampar dalam lingkungan para perampok yang akrab dengan ilmu ini.  Ilmu sirep."

"Ilmu sirep ?  Dari mana ki demang dapatkan ilmu itu.  Kata guru ilmu itu umumnya banyak di miliki oleh para pencuri atau perampok."

"Gurumu benar.  Ilmu ini aku dapatkan dari seorang raja perampok di gunung Kendeng.  Saat muda aku pernah terjebak menjadi anggota gerombolan ini.  Ketika gembong perampok itu hendak menghadang mangsanya, para pedagang yang akan lewat jalan yang biasa mereka pakai untuk menjalankan aksinya, aku menyelinap kembali ke sarang mereka.  Aku urung mengikuti gerombolan itu.  Aku ambil sebuah kitab ilmu milik pemimpin mereka, dan aku bawa lari meninggalkan gerombolan itu.  Kini kitab itu masih ada padaku."

"Apa gunanya aku harus mewarisi ilmu itu ki demang ?"

"Kau menghadapi sebuah kelompok besar.  Murid-murid Singa Lodaya.  Mereka akan mengganggu tugasmu jika tidak dikendalikan.  Dengan cambuk Nagagenimu kau tentu bisa mengatasinya, namun itu akan memakan korban yang tidak sedikit.  Dengan ilmu sirep mereka bisa dibuat tidak berkutik, ketika kau sibuk menghadapi kesaktian guru mereka."

"Oh, benar.  Ki demang.  Ilmu itupun juga bisa digunakan untuk tujuan yang baik."

"Semua ilmu tergantung siapa pemiliknya Sembada."

Sembada mengangguk-anggukkan kepala.  "Baiklah ki demang, aku bersedia mempelajari ilmu itu.  Untuk tambahan bekal menunaikan tugas nanti di Alas Lodaya."

"Jika kau bersedia mempelajarinya.  Ada syarat yang harus kau tunaikan lebih dulu.  Yakni berpuasa selama tiga hari.  Pada hari ketiga kau harus pati geni semalam.  Tidak makan dan tidak tidur di sebuah tempat tertutup.  Jika dirumahmu tidak ada tempat yang bisa kau gunakan, kau bisa gunakan sebuah goa di dekat tempuran sungai di utara dusun Majalegi ini.  Aku akan menunjukkan tempat itu padamu."

"Aku sudah tahu tempat itu ki demang.  Aku sering berlatih sendirian di sana.  Di dalamnya ada sebuah ruang yang cukup lapang untuk aku gunakan mengasah ilmu cambukku."

"Baiklah.  Kapan kau akan memulai menyiapkan dirimu ?"

"Besok aku akan mulai berpuasa.  Pada malam hari kedua aku akan masuk goa itu.  Ki demang dapat menjengukku setelah aku selesai menjalankan pati geni."

"Baiklah.  Aku akan kesana tiga hari lagi.  Sekarang aku pamit pulang."

"Baik ki demang.  saya mengucapkan terima kasih atas pemberian ilmu itu. "

Ki demang Sentika segera mengambil kudanya yang tertambat talinya di pohon Lamtara.  Ia meloncat ke punggung kuda itu.  Sebelum pergi ia berpesan kepada Sembada. "Jangan kau tunda-tunda pergi melaksanakan tugas itu.  Senopati Narotama tentu menunggu kapan kau akan berangkat.  Jangan lupa mampir dulu ke rumahku jika kau jadi mengunjungi gurumu terlebih dahulu."

"Siap ki demang.  Saya tentu akan mampir ke rumah ki demang sesuai pesan Senopati."

Tiga hari Sembada menjalani laku untuk melengkapi syarat pewarisan ilmu sirep.  Ia kini telah berada di dalam goa di tepi sungai tempuran.  Dua sungai yang arus airnya menyatu.  Ia duduk di atas batu bermeditasi sejak matahari tenggelam di hari ketiga.  Meski tubuhnya terasa lemah namun semangatnya menggelora.  Ilmu ini sangat berguna baginya untuk menghadapi murid-murid Singa Lodaya di padepokan lodaya lereng Kelud sebelah selatan.

Menjelang dini hari ki demang Sentika datang. Ia melihat Sembada belum mengakhiri meditasinya. Lelaki tinggi kekar itu dengan sabar menunggu. Ketika cahaya matahari menerobos lubang kecil di atap goa pemuda itu membuka matanya. Sejenak ia menggerak-gerakkan tangan dan kakinya yang terasa kaku. Ketika darahnya telah lancar mengalir iapun berdiri menghampiri ki demang Sentika.

"Bagus. Kau telah berhasil menyelesaikan persyaratannya. Mendekatlah, dan duduk di depanku." Kata demang Sentika.

Sembada mendekat dan duduk di atas batu besar yang bagian atasnya rata itu. Mereka bersila dan bersedekap tangan. " Siaplah Sembada, aku akan misik mantra ilmu sirep kepadamu, tiga ulangan. Aku ucapkan mantra ini hanya dengan berbisik, sebagaimana pesan leluhur saat kita mejang ilmu. Agar tak ada satu telingapun boleh mendengar kecuali aku dan kau.  Meskipun itu hanya telinga kutu walang ataga, atau serangga-serangga kecil di sekitar kita"

"Baik ki demang." Sembada menggeser duduknya lebih dekat ki demang Sentika.

Sejenak kemudian ki demang mengucapkan mantra ilmu sirep kalimat demi kalimat. Sembada mengulang kalimat- kalimat itu sampai selesai. Hal itu mereka lakukan hingga tiga kali ulangan.  Setelah selesai ki demang meminta Sembada mengucapkan sendiri mantra itu.

Sejak Sembada berhasil lepas sukma dengan raganya, daya ingatnya semakin tajam.  Segala sesuatu yang pernah ditemuinya selalu tertanam dalam pada dinding ingatannya. Maka mantra ilmu sirep itu dapat ia ulang kembali pengucapannya dengan lancar.

Ki demang benar- benar heran dengan kemampuan Sembada. Pemuda ini mampu menyerap segala macam ilmu dengan mudah. Kelak anak muda ini akan merajai dunia persilatan dengan aneka ilmu yang berhasil dihimpunnya.

"Sebelum kau gunakan ilmu ini, sedapat mungkin kau harus mengenali kemana arah angin berhembus. Daya sakti ilmu ini mengalir bersama angin. Tidak sulit untuk mengetahuinya, cukup membuat perapian kecil. Kemana arah asap bergerak kesana pula angin mengalir.  Perhitungkan sasaran ilmumu berada, jika mereka telah menghisap udara yang terbawa angin itu, tentu mereka akan terlena ."

Sembada mengangguk-anggukkan kepala. "Baik ki demang saya mengerti. Ternyata ilmu inipun butuh medium penghantar"

"Cobalah dulu ilmu itu sekarang. Agar kau mengenal pertanda bahwa udara di sekitarmu telah bermuatan daya sakti ilmumu." Perintah ki demang.

Sembada segera mengatur kembali posisi duduknya. Ia bersila dan bersedekap. Bibirnya bergerak-gerak tanpa menimbulkan suara, melafalkan mantra ilmu sirep yang baru dipelajarinya.

Udara pagi hari yang dingin itu tiba-tiba terasa sejuk dan nyaman. Semakin lama semakin kuat. Bahkan ki demangpun tiba-tiba menguap, dibelai udara yang sejuk dan nyaman itu.

"Haha kau berhasil Sembada. Akupun merasakan belaian ilmumu yang membuat pelupuk mataku memberat.  Aku kira cukup sebagai latihan awal."

Sembada segera menghentikan percobaannya.

Namun kedua orang itu belum berniat keluar dari goa. Mereka menunggu gelap agar tak seorangpun mengetahui kedatangan mereka di goa itu.  Ki demang bahkan memanfaatkan waktu yang sempit itu untuk berlatih. Ia ingin tahu pendapat Sembada tentang puncak iilmunya.

"Sembada sekarang saksikan aku menggerakkan puncak ilmu pamungkasku. Ilmu Sapta Dahana warisan mendiang ayahku. Sudah lama ilmu ini tidak aku latih. Bahkan sekalipun belum pernah aku pergunakan dalam pertempuran." Kata ki demang Sentika kepada Sembada.

"Silahkan ki demang, aku akan menyaksikannya. Jika mampu aku akan menilainya." Jawab Sembada.

Sebentar kemudian ki demang telah bergerak mengeluarkan semua jurus ilmu kanuragan yang dimilikinya. Meski demang itu telah cukup tua usianya namun tenaga jasmaninya masih terlihat utuh. Gerakannya gesit cepat dan kuat. Sambaran-sambaran tangan dan kakinya ikut menggerakkan udara di sekitarnya, dan bahkan mampu menimbulkan suara yang menderu-deru.

Sembadapun kagum dengan ragam jurus ilmu kanuragan yang dimiliki ki demang. Iapun juga pernah merasakan hebatnya ilmu itu dalam sebuah pertempuran. Kini ia menyaksikan keseluruhan ilmu itu secara utuh, sehingga ia bisa mengambil manfaat dengan menyadap ilmu itu untuk memperkaya jurus ilmu kanuragan miliknya.

Setelah beberapa lama ki demang memperagakan ilmu kanuragan miliknya, sampailah ia pada tekad untuk mempertunjukkan ilmu kadigjayan Sapta Dahana.

Ia meloncat ke belakang, dan meluruskan kedua tangan ke samping. Ia tarik lengan itu untuk menyatukan kedua telapak tangannya, mengusap-usap kedua telapak tangan itu hingga keluar asap. Dua tangan itupun terlihat membara. 

Dengan teriakan nyaring ia gunakan kedua tangan untuk menerkam sebuah batu sebesar kepala gajah di depannya. Terjadilah sebuah ledakan dahsyat, batu itu pecah berantakan. Bongkahan-bongkahan batu sebesar kepalan tangan terlontar dan tersebar dari pusat ledakan itu.

"Hebat ki demang" spontan Sembada mengkomentarinya.

Ki demang mengangkat kedua tangan keatas, dan kemudian menariknya ke bawah sampai depan dada. Dengan menundukkan kepala ia redakan getaran daya sakti aji Sapta Dahana.

"Belum seberapa dibandingkan tenaga sakti yang terlontar dari cambuk nagagenimu. Ia bisa melumatkan dahan sebesar pohon kelapa, beserta ranting dan daunnya menjadi abu."

"Ki demang juga mampu menghancurkan batu hitam sebesar itu."

"Tapi lihatlah semua pecahannya, masih berwujud batu pula meski hanya sebesar kepalan tangan."

"Jadi ki demang masih menganggap perlu untuk meningkatkannya ?"

"Benar Sembada, tapi aku belum menemukan jalannya"

Sembada mengangguk-anggukkan kepala. Ia merenung sejenak ikut berpikir bagaimana bisa membantu ki demang.

"Bolehkah aku menyalurkan hawa sakti ilmuku untuk membuka simpul-simpul syaraf dan nadi ki demang  ?"

"Apakah aku juga harus telanjang seperti Sekarsari ?" Jawab ki demang.

Sembada menundukkan kepala. Ia merasa malu pernah melakukan  itu. Namun saat itu Sekarsari dalam kondisi pingsan, jadi tidak mungkin bisa membantunya dengan mengalirkan hawa sakti itu ke seluruh badan. Terpaksa ia harus membuka seluruh pakaiannya agar ia bisa menyentuh aura tubuhnya.

"Tidak perlu ki demang. Aku hanya akan menempelkan kedua tangan ke punggung ki demang. Memasukkan hawa sakti, kemudian ki demang sendiri yang mendorongnya agar mengalir rata keseluruh tubuh dengan perintah pikiran dan batin."

"Oh baiklah Sembada. Aku bersedia."

Kedua orang itupun segera duduk kembali di batu besar yang rata bagian atasnya. Sembada bersila di belakang ki demang yang telah melepaskan bajunya. Kedua telapak tangan Sembada menempel di punggung ki demang. Dengan tiga tarikan nafas getaran hawa sakti aji naga angkasa mengalir masuk ke tubuh ki demang.

Ki demang merasa hawa hangat merasuki pori-pori punggungnya. Segera pikiran dan batin ia pusatkan untuk menuntun arah aliran hawa sakti itu agar menjelajahi seluruh tubuhnya. Pada bagian-bagian tertentu memang agak sulit ditembus, namun dengan kesabaran akhirnya bisa tembus juga. Penyaluran tenaga sakti itu berlangsung cukup lama, hingga dari tubuh kedua orang itu mengeluarkan asap.

Sembada segera mengakhiri usahanya membantu ki demang menata urat syaraf dan nadinya. Perutnya sehari semalam tak terisi apa-apa. Jika dipaksakan dia sendiri yang akan terkapar. Setelah melepas telapak tangannya dari punggung ki demang, ia angkat tinggi kedua tangan itu lurus di atas kepala. Kemudian ia tarik keduanya ke depan dada. Dengan kedua tangan menyatu, ia redakan redakan getaran daya sakti aji naga angkasa.

"Sementara cukup ki demang. Jika ki demang rajin melatih penyaluran ilmu ki demang, aku yakin pasti ada peningkatan" kata Sembada.

"Terima kasih Sembada. Kau telah banyak membantuku. Pertama menolong Handaka dan Sekarsari di hutan Waringin zsoban. Kedua, saat perang di padang ilalang. Dan sekarang di sini."

"Ah ki demang tak perlu ungkit-ungkit lagi masalah itu. Aku lakukan semua itu sewajarnya manusia. Sebagaimana ki demang akan bertindak jika menemui peristiwa yang sama

Ketika hari telah mulai gelap, mereka segera keluar goa. Mereka berpisah jalan untuk pulang ke rumah masing-masing.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun