Mohon tunggu...
Wahyudi Nugroho
Wahyudi Nugroho Mohon Tunggu... Freelancer - Mantan MC Jawa. Cita-cita ingin jadi penulis

Saya suka menulis, dengarkan gending Jawa, sambil ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Bab 17: Persiapan Perang (Cersil STN)

27 Maret 2024   21:10 Diperbarui: 2 Juni 2024   22:48 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berita akan hadirnya musuh yang hendak menyerang dan menghancurkan kademangan Majaduwur telah tersebar. Semua telinga telah mendengar berita itu. Maka gemparlah warga kademangan Majaduwur itu.

Banyak warga yang merasa takut dan ngeri jika memang perang itu terjadi. Tentu korban akan banyak berjatuhan, dan mereka harus rela melepas anggota keluarganya untuk pergi ke alam baka.

Meski para punggawa kademangan telah bersusah payah untuk tetap menjaga ketenangan, namun rasa takut dalam hati penduduk belum juga reda.

Kebiasaan baru muncul dalam situasi itu. Semua lelaki warga kademangan Majaduwur, tua atau muda, jika sedang keluar rumah pasti mereka bersenjata. Baik kepasar atau ke sawah mereka tidak melupakannya. Entah itu parang, kapak, pedang atau bahkan keris. Sewaktu-waktu musuh datang mereka merasa telah siap menghadapinya.

Setiap sore hingga menjelang tengah malam semua pemuda berkumpul. Di halaman banjar dusun mereka atau di tempat tempat lapang yang lain. Dengan penuh semangat mereka berlatih olah kanuragan dan tata gelar perang.

Di bimbing oleh pengawal pengawal senior atau orang orang tua mantan prajurit, para pemuda giat membaja diri.

Sembada juga tidak ketinggalan. Ia menjeburkan diri dalam arus kesibukan pemuda di dusun Majalegi. Ia ikut berlatih olah kanuragan, dan belajar olah gelar perang.

Ketika Sambaya mengetahui hal itu ia tersenyum. Sembada benar benar pemuda aneh pikirnya. Lelaki itu benar benar tidak ingin diketahui oleh teman temannya yang lain sebagai pemuda berilmu.

"Adakah masih kau perlukan untuk berlatih kanuragan ?" Tanyanya kepada Sembada sambil berbisik.

"Tentu tuan, akupun ingin meningkatkan kemampuanku agar bisa ikut bela desa kita." Jawab Sembada.

Sambaya tertawa pelan.

"Hahaha yayaya, baiklah, baiklah berlatihlah dengan semangat."

Di dusun Jambu Kartika juga sibuk melatih kembali ketrampilan olah senjata pemuda pemuda dusun itu. Di sebuah sanggar terbuka di belakang rumahnya yang luas mereka dengan penuh semangat membaja diri.

Demikian juga pemuda pemuda di dusun lain, seperti Bendo, Darungan, Wanaasri. Semua giat dan semangat membaja diri.

Pada suatu malam Sembada tidak hadir dalam latihan rutin yang diselenggarakan di rumah ki bekel Majalegi. Sejak sore ia berbaring di amben bambu di kamarnya. Saat simboknya menengoknya ia sedikit berbohong, ia berkata kepada simboknya bahwa ia sedang tak enak badan. Simboknya membiarkan anaknya beristirahat, barangkali ia kecapekan setelah bermalam malam ikut berlatih di kabekelan.

Namun ketika menjelang tengah malam Sembada keluar. Ia kenakan pakaian khusus yang belum pernah ia pakai selama ini. Dengan celana dan baju hitam, serta ikat kepala hitam yang menutupi mukanya ia menerobos gelap malam berlari menuju induk kademangan. Ia ingin tahu apa yang dilakukan oleh Handaka dan pemimpin pengawal kademangan di induk desanya. Namun yang menjadi pusat perhatiannya adalah Sekarsari, apakah gadis itu juga mempersiapkan diri menghadapi perang yang akan datang.

Di induk kademangan ternyata Handaka dan Sekarsari juga sibuk melatih kembali pemuda pemuda di sana.

Setelah selesai mereka berlatih berdua di sanggar. Kadang ditemani ki demang yang berkepentingan menuntaskan pewarisan ilmu kepada kedua muda mudi itu.

Nampaknya ki demang belum merasa puas dengan hasil yang telah dikerjakannya. Dua muda mudi itu belum mencapai tingkat kemampuan menerapkan ilmu sebagaimna yang ia harapkan. Namun lelaki tua itu tetap harus bersabar, ia berpikir hanya pengalamanlah yang akan mematangkan ilmu kedua anaknya itu.

Semua itu diketahui sembada secara sembunyi sembunyi mengamati saat mereka sedang berlatih. Ia harus ekstra hati hati melakukan penyelidikan itu agar tidak ketahuan, terutama oleh ki demang Sentika yang berilmu tinggi.

Sembada telah melakukan misi rahasia itu berulangkali. Pada suatu malam ia melihat Sekarsari sendirian berlatih di sanggar, tanpa ditemani calon suaminya maupun ki demang. Sembada pelan pelan mendekatinya, kemudian berdiri bersedekap tangan di balik dinding anyaman bambu di luar sanggar.

"Latihan yang jelek. Jika kau hanya dengan cara itu meningkatkan ilmumu, selamanya ilmumu akan tetap jelek." Katanya pelan namun jelas terdengar telinga Sekarsari.

Gadus itu menghentikan latihannya. Ia bergerak berjalan mendekati dinding sanggar yang terbuat dari anyaman bambu, nsmun anyaman itu dibikin berlubang lubang. Jadi dia bisa melihat ada lelaki tengah berdiri di balik dinding yang baru saja mencela ilmunya.

"Siapa kau, berani sekali lancang mulut menghinaku. Masuklah jika kau ingin menjajagi ilmuku." Kata Sekarsari sewot.

"Hahaha kau akan menjebakku. Jika kau terdesak tentu kau akan memanggil pengawal, dan mengurungku di sanggar ini. Jika kau berani kita bertempur di tempat terbuka." Kata lelaki bertutup muka itu. Ia lantas balik badan dan bergegas berjalan lewat belakang sanggar.

Sekarsari tak membiarkan pergi begitu saja. Ia ingin memberi pelajaran terhadap orang yang telah lancang mulut itu.

"Berhenti !!!" Bentaknya.

Namun lelaki itu mempercepat jalannya. Sekarsari terpancing mengejarnya. Maka sejenak kemudian dua orang itu berkejar kejaran di gelapnya malam.

Nampaknya sengaja lelaki itu berjalan seperti orang pincang, sehingga Sekarsari merasa yakin akan dapat menangkapnya. Namun hingga beberapa ribu depa, melewati beberapa pategalan dan pekarangan Sekarsari belum juga mampu menangkapnya. Hatinya merasa panas, merasa dirinya disepelekan. Ia kerahkan sekuat tenaga kemampuannya menggunakan tenaga cadangan. Kelihatan ia akan berhasil, jarak antara dirinya dengan lelaki lancang mulut itu kian dekat.
Namun ketika mereka mencapai sebuah tanah lapang di dekat bukit kecil di perbatasan kademangan Majaduwur lelaki itu tiba tiba hilang. Sekarsari heran beberapa saat, ia menoleh kesana kemari mencari buruannya.

"Hai pengecut jangan kau bersembunyi. Keluarlah jangan jadi pecundang dan pengecut semacam ini"

"Hahaha, aku bukan pengecut dan pecundang seperti kau sangkakan. Aku hanya memberitahumu, agar kau sadar bahwa ilmumu masih dangkal. Jangan kau menyombongkan diri dengan ilmu semacam itu di hadapanku."

"Keluarlah, tunjukkan batang hidungmu jika kau bukan pengecut."

"Aku di sini. Sejak tadi aku di belakangmu Gadis sombong."

Sekarsari membalikkan badannya. Ia kaget betapa orang itu sangat dekat dengannya, namun ia tidak menyadari keberadaannya.

"Nah sekarang kau mau apa ?" Tanya lelaki bercadar itu.

"Kita bertarung !!!" Kata Sekarsari mantap.

"Siapa takut. Jangan menyesal jika kau terkapar di sini dan kehilangan keperawananmu. Besok kau pulang setelah kegadisanmu aku renggut."

Sekarsari merinding bulu kulitnya. Ia sadar telah terpancing oleh lelaki itu jauh dari kademangan.

Kini ia menyadari bahwa dirinya terlalu dikendalikan oleh emosi, tanpa dibarengi penalaran yang panjang.

Namun nasi telah menjadi bubur. Ia kini tinggal mengandalkan kepada ilmunya semata, tidak ada harapan untuk mendapat bantuan dari siapapun. Ia segera mencabut pedangnya, dan bersiap untuk bertempur.

"Hahahaha gadis yang malang. Sebentar lagi kau tidak perawan lagi."

Betapa marahnya Sekarsari mendengar perkataan itu. Ia lantas meloncat menerjang lelaki di depannya itu dengan pedang menjulur lurus ke arah dada.

Lelaki itu berkelit memiringkan tubuhnya. Pedang Sekarsari lewat sejengkal dari kulit dada lelaki itu. Ia lantas membabatkan pedangnya ke samping, menyasar ke perut lawan. Namun lelaki itu melenting tinggi sekali ke belakang.

Dengan cepat Sekarsari mengejarnya, dan sekali lagi ia menusukkan pedang. Lelaki tidak bergerak menghindar, namun menangkap bilah pedang itu dengan kedua tangannya. Sekarsari menarik pedang itu namun tenaganya tak mampu melawan jepitan tangan lelaki itu pada bilah pedangnya. Sekarsari lantas menggerakkan kakinya menghantam lambung lelaki itu.

Buuukk

Terdengar bunyi benturan antara kaki Sekarsari dengan lambung lelaki itu. Namun betapa terkejutnya Sekarsari, lambung itu terasa betapa kerasnya. Ia merasa seolah menghantam batu hitam yang keras sekali.

Sekarsari menjerit keras, badannya terpental beberapa depa ke belakang. Pedangnya terlepas dan kini dalam genggaman lelaki itu.

Sekarsari jatuh di atas tanah, ia berguling guling menahan sakit pada kakinya.

"Ahhhh sakit, sakit....." erang Sekarsari.

Sembada segera meloncat mendekati Sekarsari. Setelah meletakkan pedang gadis itu di tanah, Sembada berjongkok di samping gadis yang menggeliat geliat kesakitan itu.

Ia sentuh salah satu urat dileher bagian belakang gadis itu, dan memijatnya beberapa saat. Nampak Sekarsari tiba tiba lemas dan kehilangan kesadaran.

Kemudian sembada memperhatikan kaki kanan gadis itu, merabanya dari ujung jari kaki keatas hingga lututnya. Nampak pada lutut itu benjolan yang besar. Sepertinya engselnya sedikit mengalami cedera. Karena tidak mampu menahan benturan dengan lambungnya yang ia isi tenaga dalam, engsel lutut Sekarsari lepas dari mangkoknya, hingga dari luar kelihatan benjolan yang besar.

Sembada menahan paha Sekarsari dengan tangan kirinya, dan menarik lengan kaki gadis itu dengan tangan kanan. Terdengar suara keras ketika engsel tulang itu kembali kemangkoknya.

Kraaaakkk

Sembada mengurut bagian lutut yang cedera itu beberapa saat, sambil menyalurkan getaran tenaga sakti dari jantungnya.

Setelah menggerak gerakkan kaki itu beberapa saat, dan tak terdengar suara sedikitpun dari lutut itu, sembada kemudian meletakkan kaki gadis itu ke tanah.

Ia merenungi sekujur tubuh itu sesaat, dengan totokkannya gadis itu nampak tertidur lelap.

Ia menoleh kekanan dan kekiri, serta mempertajam pendengarannya untuk menangkap suara nafas orang lain yang barangkali ada di sekitar itu. Namun tak terdengar desah apapun yang ia tangkap.

"Tak ada orang. Sepi." Bisiknya.

Kemudian Sembada memandang tubuh yang terbujur diam di depannya. Nampak gundukan dua benda di dada itu yang bergerak gerak naik turun secara teratur, bersamaan dengan keluar masuknya nafas dari hidung gadis itu.

Sembada sedikit bergetar hatinya, ia pejamkan mata sebentar dan menggigit bibirnya. Ia buang bayangan pikiran yang dapat mengotori hatinya.

Ia lantas membuka pakaian gadis itu, sampai telanjang bulat. Setelah meletakkan pakaian gadis itu di sampingnya ia duduk bersila disisi tubuh yang putih mulus kulitnya itu. Meski malam hanya diterangi sinar bintang di langit namun mata Sembada dapat menangkap semua keindahan di depannya. Akan tetapi mata hatinya telah ia tutup agar tidak terpengaruh oleh keindahan yang menggoda itu.

Sejenak kemudian Sembada telah menyalurkan tenaga saktinya untuk mengatur urat nadi gadis itu.

Dengan merasakan sentuhan aura gadis itu, Sembada tahu bagian bagian mana yang perlu diperbaiki. Kerja itu ternyata membutuhkan tenaga yang cukup besar, keringat Sembada seperti terkuras habis.

Setelah dianggapnya cukup Sembada segera berdiri, dan meninggalkan gadis itu dalam kondisi telanjang bulat tergeletak di tanah. Ia tahu sebentar lagi gadis itu pasti segera bangun dari tidur pulasnya.

Dari jauh Sembada mengawasi Sekarsari. Pandangannya yang tajam dapat menangkap setiap gerakan gadis itu saat sudah bangun.

Sekarsari kelihatan bengong sesaat, menoleh kesana kemari ingin tahu di mana ia berada. Setelah tahu ia di ruang alam terbuka segera ia mengamati dirinya. Ia baru sadar bahwa dirinya telanjang bulat. Ia nampak panik dan mencari cari bajunya. Setelah tahu dimana bajunya berada ia segera meraihnya, dan terburu buru mengenakannya.

Hatinya terisi perasaan campur aduk. Marah, kesal, malu dan takut. Ia marah karena sudah dihina musuhnya. Kesal karena tidak mampu berbuat untuk melampiaskan amarahnya,. Juga malu karena ia telah ditelanjangi oleh lawannya, dan takut keperawanannya telah hilang.

"Setan laknat, kalau ketemu kau akan aku habisi. " geramnya.
Sembada hanya tertawa kecil dan tersenyum senyum menyaksikan pemandangan itu. Ia menganggapnya sangat lucu.

Saking tak kuatnya menahan tawa, sembadapun melepas tawanya agak keras. Suara itu terdengar telinga Sekarsari, gadis itu menengok kearahnya.

"Hai syetan belang kemarilah, akan aku hajar kau." Katanya

"Apakah kau ingin kutelanjangi lagi, dan kupetik keperawananmu ?" Jawab Sembada.

Sekarsari tak mampu menahan marah, ia segera berkelebat lari kearah lelaki yang telah mempermalukannya. Ketika sudah berhadapan ia segera melabraknya dengan serangan serangan berbahaya.

Sembada terkejut sesaat dilanda serangan serangan berbahaya. Namun ilmunya yang tinggi ia mampu menempatkan diri dengan baik. Semua serangan Sekarsari menemui ruang hampa. Karena Sembada mampu menghindarinya.

Pertempuran itu kian lama kian sengit. Meski Sembada tak bersenjata, sementara Sekarsari menyerangnya dengan pedang, namun tak segorespun pedang itu menyentuh tubuh Sembada.

Sekarsari meningkatkan tenaga cadangan dalam dirinya hingga tuntas, geraknya kian keras cepat dan gesit. Pedangnya seperti baling baling menyambar nyambar, namun dengan ilmu peringan tubuhnya Sembada selalu bisa melepaskan diri dari bahaya.

Ketika di timur nampak semburat cahaya kekuningan, Sembada sadar ia harus segera menghindar. Sembada tidak ingin Sekarsari mengenalinya.

Dengan ilmu peringan tubuhnya Sembada melenting tinggi dan jauh, kemudian membalikkan badan dan lari dengan cepatnya.

"Syetan belang jangan kau lari" kata Sekarsari mencoba mencegah lawannya pergi. Namun apa artinya kata kata, ia tidak mampu mencegah lawannya hilang dari pandangannya.
Sekarsari berhenti mengejar musuhnya. Ia masukkan pedang ke sarungnya dan bergegas berjalan plang.

Beberapa saat ia melangkah telinganya menangkap suara kentongan dipukul berramai ramai. Suara itu terdengar merata di seluruh kademangan.

Sekarsari bergegas mengayun langkahnya, bahkan kemudian ia berlari dengan cepat. Badannya terasa segar dan ringan, tenaganyapun seolah bertambah besar. Lompatan kakinya begitu kuat dan cepat, sebentar saja gadis itu telah memasuki induk kademangan.

Ketika ia sampai dihalaman rumahnya, sinar matahari telah menggantikan gelap malam. Beberapa orang yang melihatnya tiba tiba berteriak teriak dengan suara keras dan kencang.

"Sekarsari telah pulang, Sari pulang, Sari pulang."

Nyai Demang dan Ki Demang segera keluar rumah. Mereka begegas menghampiri gadis itu dan merangkulny. Nyai Demang menangis keras sambil memeluk gadis itu dengan eratnya.

Barulah Sekarsari sadar bahwa seluruh warga kademangan gempar karena mengira ia hilang. Bebunyian yang diperdengarkan penduduk adalah cara mencari dirinya agar lepas dari cengkraman hantu atau genderuwo yang menculiknya.

Selang beberapa saat balai kademangan ramai dikunjungi orang. Mereka ingin tahu apa yang terjadi atas Sekarsari. Terpaksa Sekarsari harus mengarang cerita tentang kejadian yang menimpa dirinya. Namun tentu saja ia tidak bercerita secara menyeluruh, bahwa lelaki yang dikejarnya menelanjangi dirinya.

Setelah warga yang berdatangan itu merasa puas mendengar cerita Sekarsari merekapun segera pulang. Sekarsaripun bergegas kebelakang hendak membersihkan diri ke pakiwan. Ketika ia mandi ia teliti semua bagian tubuhnya. Tak setitikpun yang mencurigakan. Demikian pula kemaluannya, ia tidak merasakan apa apa pada bagian tubuh yang harus dijaganya itu.

"Aneh, ia telah menelanjangi aku, namun tidak menodai kesucianku. Lantas apa yang ia lakukan.?" Bisiknya dalam hati.
Segera gadis itu membersihkan badannya. Terasa sekali badannya menjadi segar. Ia gerakkan tangan dan kaki, terasa ringan dan bertenaga. Ia heran sekali. Lututnya yang sakit saat ia membentur lambung lelaki itu yang keras, juga tidak ia rasakan sakit. Lutut itu telah pulih seolah tak pernah cedera"

.Berita Sekarsari hilang semalam telah menyebar. Gadis itu mengejar musuh yang akan menculiknya. Namun kesaktian gadis itu mampu mengatasi ilmu penculiknya. Sehingga lelaki yang hendak berbuat jahat itu melarikan diri.

Sembada mendengar cerita yang tersebar dari mulut teman temannya digardu perondan. Dalam hati ia tersenyum. Tentu gadis itu tidak akan bercerita secara lengkap. Bahwa dirinya sempat tidur telanjang di alam terbuka.

Sekilas Sembada teringat keindahan yang pernah dilihatnya pada tubuh gadis itu. Namun cepat cepat ia memejamkan mata, dan mengibaskan ingatan tentang keindahan itu dari pikirannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun