Mohon tunggu...
Wahyudi Nugroho
Wahyudi Nugroho Mohon Tunggu... Freelancer - Mantan MC Jawa. Cita-cita ingin jadi penulis

Saya suka menulis, dengarkan gending Jawa, sambil ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Bab 16. Datangnya Dua Prajurit (Cersil STN)

27 Maret 2024   10:36 Diperbarui: 2 Juni 2024   22:51 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siang itu Sembada berada di hutan.  Ia sedang mencari kayu bakar untuk simboknya.  Persediaan telah habis, sebentar lagi musin hujan segera tiba.

Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda berlari kencang.  Gema suaranya berdentang terdengar di hutan di mana Sembada sedang bekerja.  Pemuda itu memejamkan mata sejenak untuk konsentrasi, menajamkan pendengaranya.

"Dua ekor kuda berlari menuju balai kademangan." Bisik hatinya. 

"Pasti ada hal yang sangat penting, nampak sekali kedua pengendara kuda itu tergesa-gesa."

Di jalan menuju balai kademangan memang terdapat dua ekor kuda sedang berpacu.  Dari pakaian yang dikenakan mereka bukan warga kademangan.  Seperti dua orang prajurit yang sedang mengemban tugas.

Dua ekor kuda itu melambatkan lari kudanya, kemudian berbelok masuk regol alun-alun kademangan Majaduwur.  Di depan pendapa penunggangnya turun.  Dua orang pengawal kademangan menghampirinya, dan bertanya apa keperluan tamu datang ke bale kademangan.

"Kami ingin bertemu ki demang.  Apakah beliau di rumah?."

"Baik ki sanak, silahkan naik ke pendapa dan tunggu di sana. Kami akan mengikat kuda kalian di sana dulu."  Kata pengawal kademangan Majaduwur sambil menunjuk deretan patok bambu di pinggir halaman.

Kedua prajurit itu menyerahkan kuda mereka, dan berjalan masuk ke pendapa kademangan.

Tidak berapa lama keluarlah Ki demang Majaduwur dari ruang utama menuju pendapa.  Matanya tajam menatap dua orang berpakaian prajurit.  Namun ia tidak tahu prajurit dari mana kedua orang itu.

" Salam kami untuk ki demang." Kata kedua orang prajurit itu hampir berbareng.  Kedua telapak tangan mereka di satukan di dada sambil membungkukan badan..

"Terima kasih ki sanak silahkan duduk." Jawab Ki Demang Sentika sambil mengacungkan ibu jarinya.

"Maaf apakah ki sanak berdua adalah prajurit ? Prajurit dari manakah kalau boleh tahu ?  Kami belum pernah melihat jenis seragam prajurit semacam ini."  Kta ki demang.  Dua orang tamu itu saling berpandangan sejenak.  Kemudian salah satu dari mereka menjawabnya.

"Benar Ki Demang, kami berdua adalah prajurit Bala Putra Raja, pengawal Kanjeng Pangeran Erlangga.  Kami berdua diutus Pinpinan kami Raden Mas Narotama untuk menemui ki demang." Jawabnya.

Nampak ki demang kaget.  Ternyata masih ada keluarga kerajaan yang selamat.

"Apakah Pangeran Erlangga selamat ? "

"Pangestu ki demang, Pangeran berserta istri, kanjeng putri Sekar Galuh selamat. Mereka kini bersembunyi di sebuah pesanggrahan yang belum boleh kami beritahukan tempatnya"

"Syukurlah, syukurlah, berarti kita masih punya harapan untuk bangkit kembali."

"Benar ki demang.  Kita masih bisa membalas dendam kita kepada musuh yang pernah membumi hanguskan Medang."

"Lantas apakah keperluan kalian kemari ?" Tanya ki demang.

"Pertama mengabarkan keselamatan Pangeran Erlangga, kedua menyampaikan peringatan  dari Senapati Narotama kepada ki demang adanya bahaya yang mengancam kademangan Majaduwur."

"Bahaya yang mengancam kademanganku ? Bahaya apa ?"

"Berdasarkan keterangan yang berhasil dikumpulkan para prajurit sandi, kekuatan pendukung raja wura-wari di sekitar kademangan Majaduwur akan menyerang. Mereka dipimpin oleh Gagak ijo, kepala Desa Sambirame, yang juga pemimpin gerombolan penguasa hutan Waringin Soban"

"Kalau hanya gerombolan berandal Waringin Soban aku tidak takut."

"Tidak hanya kelompok Gagak Ijo Ki demang, tetapi gabungan beberapa gerombolan. Informasinya gerombolan Landak Abang, Kala Srenggi, Macan Belang akan bersama-sama ingin menghancurkan Majaduwur.  Kademangan ini akan dijadikan pusat perjuangan mereka."

"Heeemmm setan alas."

"Tersiar kabar pula cambuk pusaka yang mereka cari juga berada di Majaduwur."

"Cambuk pusaka apa ?"

"Cambuk pusaka Nagageni."

Ki demang mengangguk angguk.  Angan-anagannya melayang kepada seorang pemuda yang tinggal di dusun Majalegi, Sembada. Namun ia tidak akan memberitahukan informasi itu kepada kedua prajurit Pangeran Erlangga.

"Aku tidak tahu keberadaan pusaka cambuk Nagageni. Mungkin itu sekedar alasan agar mereka bisa bersatu menyerang Kademangan ini."

"Apakah ki demang benar benar tidak tahu keberadaan pusaka itu ? Di samping Payung keramat Tunggul Naga, cambuk Nagageni juga menjadi incaran golongan hitam.  Satu lagi pusaka keramat peninggalan zaman Mpu Sindok, yakni sepasang Pedang Garuda Sakti yang mereka cari."

"Kami baru mendengar informasi bahwa pusaka cambuk nagageni berada di Majaduwur. Terus terang kami tidak tahu juga.  Yang kami ketahui bahwa pusaka itu dulu milik senapati legendaris Kidang Gumelar. Sedang sepasang pedang garuda sakti dimiliki pendekar wanita Nyi Rukmini, yang bergelar Walet Putih bersayap pedang."

"Benar ki demang.  Kami juga mendapat perintah untuk menanyakan apakah ki demang tidak membutuhkan bala bantuan untuk menghadapi para perusuh yang akan melanda kademangan Majaduwur."

"Jika mereka hanya datang dari beberapa pedesaan yang mengitari kademangan Majaduwur aku kira kami bisa menghadapinya sendiri.  Kami mengucapkan terima kasih kalian telah memberitahukan informasi ini sehingga kami bisa bersiap-siap menghadapinya."

Setelah menikmati hidangan makan siang yang disuguhkan Sekarsari, dua orang prajurit pengawal Pangeran Erlangga pamit pulang ke pesanggrahan.  Mereka berpesan jika membutuhkan bantuan pasukan dapat menghubungi mereka ke desa Sumberwangi, cari orang bernama Glatik Kuning.

Ki demang mengangguk angguk.

Ia lantas memanggil pengawal yang berjaga di samping regol alun alun dengan lambaian tangan.  Pengawal itu bergegas lari menghampiri Ki demang Sentika.

"Ada perintah Ki demang ." Tanyanya.

"Panggil ketua ketua pengawal masing masing dusun.  Aku minta mereka menghadapku nanti malam di pendapa." Perintah ki demang Sentika.

"Baik ki demang, siap jalankan perintah."

Saat itu pula pengawal itu segera memacu kudanya ke setiap dusun di wilayah kademangan Majaduwur.

Perintah agar semua pemimpin pengawal berkumpul nanti malam di pendapa kademangan benar-benar mengherankan. Ada suasana tegang di hati setiap pemimpin pengawal itu, mereka bertanya tanya dalam hati apa gerangan yang tengah terjadi.

Ketika matahari tenggelam di balik bukit di sebelah barat,  dan kademangan Majaduwur telah terselimuti kegelapan, pendapa kademangan itu kian ramai didatangi para pengawal.  Pendapa kademangan penuh sesak.

Handaka, putra ki demang sentika yang siang hari nganglang wilayah kekuasaan ayahnya, juga nampak duduk di lantai beralas tikar di pendapa itu.  Mereka menunggu ki demang Sentika masuk pendapa untuk memberi penjelasan maksud pertemuan itu.

Sekarsari sibuk di dapur mempersiapkan hidangan untuk para tamu di balai pendapa.

Sementara itu Sembada yang telah pulang agak lama dari hutan mencari kayu sempat mengamati kesibukan para pengawal.

Ia melihat seorang penghubung berkuda masuk rumah ki bekel, kemudian tergesa-gesa pergi menuju dusun lain. Tentu kesibukan itu ada kaitan dengan dua orang penunggang kuda yang iang tadi siang derap kuda mereka ia dengar di hutan.

Sembada tertarik untuk mengetahui lebih jauh keadaan itu.  Ia pamit kepada simboknya untuk malam ini tidak tidur di rumah.

"Kamu mau tidur di mana ?"

"Kami akan berjaga di gardu sampai pagi Mbok.." Jawab Sembada agak berbohong.  Hal ini terpaksa ia lakukan karena tidaklah perlu memberi tahu emboknya apa yang akan ia kerjakan.

Ketika terdengar kenthongan berbunyi dari induk kademangan, Sembada bergegas lari.  Dengan ilmu peringan tubuhnya ia dapat mencapai jarak yang tidak terlalu jauh itu dalam waktu singkat.  Ia tidak ingin bergabung dengan para pengawal kademangan di pendapa, itu akan menjadi pertanyaan banyak pihak.  Cukup ia bersembunyi di balik pohon besar di dekat pendapa kademangan ia sudah bisa menyadap semua pembicaraan di pendapa itu.

Sejenak kemudian ki demang Sentika memasuki pendapa. Setelah menyambut kehadiran tamu tamunya segera ia membuka pertemuan itu.

Ia ceritakan kedatangan dua prajurit anggota pasukan bala putra raja, pengawal Pangeran Erlangga.  Tentang maksud kedatangan mereka ke kademangan Majaduwur, mengabarkan bahwa pasukan gabungan dari beberapa desa sekitar Majaduwur hendak menyerang kademangan itu.

"Mereka mengendus keberadaan pusaka cambuk nagageni di kademangan ini."

Semua pengawal yang hadir saling bertatap pandang heran. Semua tidak mengerti tentang anggapan keberadaan pusaka itu.  Hanya Sembada yang merasa kaget seperti tersambar petir, bahwa cambuk sakti nagageni warisan senapati Kidang Gumelar yang kini jadi miliknya telah terendus oleh orang orang dari golongan hitam.

Namun ki demang Sentika yang sudah tahu keberadaan pusaka itu di kademangannya tidak membocorkannya kepada para pengawal.  Sehingga keberadaan pusaka itu tetaplah menjadi rahasia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun