"Sudah aku kira. Â Melihat sorot mata angger dan perawakan angger yang padat berisi, aku sudah mengira kalau angger seorang pendekar. Â Syukurlah angger selamat."
"Itulah yang aku pikirkan sekarang. Â Aku tidak lagi dapat tinggal di sini terlalu lama. Â Jika mereka datang ke sini, aku takut Kek Narto jadi sasaran kemarahan mereka. Â Maka malam ini juga aku akan pamit melanjutkan perjalanan."
"Sayang sekali anakmas. Â Cucu-cucuku sudah mulai akrab dan senang dengan angger. Â Namun karena terpaksa angger buru-buru pergi. Â Demi keselamatan kita bersama baiklah ngger, aku memberi pangestu kepada angger sebagai orang tua."
"Aku dapat hadiah banyak kek. Â Sekantung uang keping perak. Aku akan berikan separo untuk kakek. Â Untuk biaya hidup kakek membesarkan cucu-cucu kakek."
"Angger memang baik sekali. Â Bersyukurlah wanita yang melahirkan angger, ia pasti masuk nirwana kelak."
"Cari wadah kek, dan simpan nanti di tempat yang tak diketahui orang. Â Berbahaya jika ketahuan anak buah Gagakijo."
Kakek Narto segera mengambil bumbung air di dapur. Â Ke dalam bumbung itulah Sembada menuang separo uang keping perak dari kantongnya. Â Hati Kakek Narto berdebar-debar melihat puluhan keping perak masuk ke dalam bumbung itu.
"Nah, kira-kira sudah separo aku bagikan hadiahku untuk kakek. Â Pergunakan sebaik-baiknya untuk merawat cucu-cucu kakek. Â Namun hati-hati membelanjakannya. Â Usahakan sembunyi-sembunyi saja agar selamat."
"Iya ngger. Â Terima kasih sekali atas kebaikan angger."
Dibantu Sembada Kakek Narto menyembunyikan barang-barang itu di belakang rumah. Â Bumbung itu setelah lubangnya ditutup kayu, kemudian dipendam dalam tanah. Â Ia menandai gundukan tanah dengan sebuah batu yang cukup besar. Â Di atasnya lagi setumpuk kayu bakar menutupinya.
Kakek Narto memberikan kembali bungkusan milik Sembada. Â Pemuda itu lantas melingkarkan bungkusan itu di pundak dan pinggangnya, ujung-ujung kain itu ia ikatkan satu sama lain dengan kuat.