Mohon tunggu...
Wahyudi Nugroho
Wahyudi Nugroho Mohon Tunggu... Freelancer - Mantan MC Jawa. Cita-cita ingin jadi penulis

Saya suka menulis, dengarkan gending Jawa, sambil ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Bab 5 Menyebrang Sungai Brantas

18 Maret 2024   12:16 Diperbarui: 29 Agustus 2024   19:04 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MENYEBERANG SUNGAI BRANTAS

Oleh Wahyudi Nugroho

Setelah berbincang panjang, menceritakan sedikit riwayat senjata pusaka Cambuk Naga Geni, ki Ardi diam. Suasana goa terasa sepi, hanya dengung suara angin yang masuk lubang itu yang terdengar. Kadang keras kadang pelan bahkan kadang diam, tergantung irama angin yang bertiup.

"Cobalah bermain sebentar dengan cambuk itu.  Ilmumu sudah lengkap.  Kau bisa memainkan dengan tenaga wantah saja. Tanpa perlu mengeluarkan tenaga dalam.  Namun kau juga bisa menyalurkan tenaga dalammu lewat cambuk ini.  Ia juga bisa menjadi saluran puncak ilmumu yang nggegirisi itu." Kata kakek itu.

Seperti mendapat perintah gurunya sendiri, pemuda itu lantas berdiri.  Diikuti oleh kakek itu berjalan di tengah-tengah ruangan goa.  Kemudian ia memainkan jurus-jurus perguruannya dengan menggunakan senjata cambuk itu. 

Betapa trampil Sembada memainkan Senjata. Seolah ia pernah berlatih beberapa bulan. Hal itu karena semua jenis jurus telah dicipta untuk selaras dengan senjata lentur.

Dengan tenaga wantah ia menggerakkan cambuknya. Terdengar suara lecutan cambuk itu menggelegar memekakkan telinga. Namun ketika ia menyalurkan tenaga dalamnya, dan melecutkan cambuk itu lagi, suara lecutannya malah tidak sekeras semula.  Tetapi ia yakin akibat yang ditimbulkannya akan sangat berbeda.

"Coba, salurkan tenaga saktimu lewat lecutan cambuk itu." Perintah kakek itu.

Pemuda itu menganggukkan kepala.  Ia mendekati sebuah batu, kemudian mengangkat kedua tangan ke atas dan menarik salah satunya ke bawah sedikit, dilanjutkan menarik keduanya hingga bertemu di dada.  Tangan kiri pemuda itu tetap di dada dengan posisi miring terbuka, tangan kanan memutar cambuknya.  

Selang sesaat ketika cambuk itu dilecutkan mengarah sebuah batu, maka muncul sinar putih kebiruan yang menghantam batu itu. Terjadi sebuah ledakan dahsyat, ujung cambuk yang lentur itu mampu menghancurkan batu hingga lembut seperti tepung.

"Hahaha, bagus bagus hebat sekali. Namun sebenarnya kau tidak perlu mendekati batu itu, dari jauhpun tenaga saktimu dapat kau lontarkan.  Akibatnya akan sama saja, batu itu pasti hancur."

Kakek itu mengawasi Sembada sesaat, dalam hatinya tumbuh rasa senang dan bangga. Iapun merasa telah menunaikan tugas gurunya untuk mencari dan menentukan siapa calon penerusnya, yang akan mewarisi ilmu cambuk Naga Geni dan Aji Tapak Naga Angkasa.

"Selanjutnya kau sendiri yang harus mengasah ilmumu itu, anak muda. Tugasku telah selesai. Nah anak muda tiba waktunya kau harus pergi dari sini.  Sudah cukup kau di sini, dan melanjutkan tugas yang dibebankan kepundakmu oleh gurumu, Menjangan Gumringsing. " kata kakek itu.

"Ya kek.  Terima kasih saya ucapkan kepada kakek,  Telah memberi kesempatan kepadaku mempelajari ilmu yang sangat istimewa ini." Jawab Sembada.

"Bukan aku yang memberimu kesempatan.  Berterima kasihlah kepada Hyang Widhi, dialah yang memilihmu untuk mengemban tugas yang berat kelak.  Siapa namamu anak muda ?  Sejak bertemu aku belum kenal namamu." Tanya Ki Ardi.

"Namaku Sembada kek. " Jawab Sembada.

"Sembada ?  Hahaha nama yang bagus.  Sesuai dengan doa orang tuamu, kaupun orang yang sembada.  Mampu melakukan hal besar, dalam sebulan saja telah kau kuasai Ilmu yang sangat dahsyat." Puji kakek itu.

Sembada membungkukkan badannya memberi hormat.  Ia lantas hendak berjalan lewat pintu yang tertutup oleh reruntuhan batu. Namun kakek itu mencegahnya.

"Jangan lewat sana.  Meski dengan lecutan cambukmu kau bisa membuka tutup goa itu, namun biarlah bebatuan itu sementara tetap berada di sana.  Agar goa ini aman.  Ikutlah aku lewat pintu lain"

Kakek itu kemudian berjalan ke arah ceruk.  Setelah ia memegang salah satu batu di dinding ceruk itu, maka setumpuk kayu diceruk itu semua bergerak. ternyata di bawahnya terdapat lubang rahasia. Kakek dan pemuda itu berjalan keluar goa lewat lubang itu.

Jalan di goa itu cukup gelap.  Namun kedua orang yang berilmu tinggi itu merasa tidak kesulitan melalui jalan itu. Mata mereka cukup tajam untuk menghindari padas atau bebatuan yang terdapat di sepanjang jalan.  

Hingga beberapa lama berjalan mereka melihat cahaya dari depan. Nampak sebuah pintu goa yang sudah kelihatan dari jauh.  Mereka bergegas mengayun langkah, hingga sampai di depan pintu itu.

"Aku mengantarmu sampai di sini saja Sembada.  Jangan lupa pesanku, jangan sembarangan kau perlihatkan ilmumu.  Lebih baik berperilaku seperti orang bodoh saja, biar terhindar dari orang-orang yang ingin mencoba ketinggian ilmu yang telah kau capai." Pesannya

"Baik Ki Ardi.  Semua pesan Ki Ardi akan saya  junjung tinggi." Jawab Sembada dengan takzim.

"Cambukmu jangan sampai jatuh ke tangan orang lain.  Itu pusaka perguruan.  Lebih baik kau lingkarkan saja dipinggangmu, agar tidak diketahui orang lain. Apa sebenarnya tugas yang kau emban dari gurumu ?"

"Saya ditugaskan untuk mencari saudara kembar adik seperguruan saya.  Konon kabarnya ia dibawa oleh adik seperguruan ayahnya, seorang demang di sebelah timur Sungai Brantas."

"Siapakah nama ayah anak itu ?" Tanya kakek itu.

"Tumenggung Gajah Alit yang kabarnya mati terbunuh di medan pertempuran ketika kerajaan Medang diserbu musuh " jawab Sembada.

"Tumenggung Gajah Alit ?  Apakah anak kembar itu semua perempuan ?" Tanya kakek itu lagi.

"Benar Ki.  Adik seperguruanku seorang gadis.  Bernama Sekar Arum.  Saudara kembarnya bernama Sekar Sari.  Sekar Arum sekarang tinggal bersama guruku di padepokan Cemara Sewu, bersama ibunya." Jawab Sembada.

"Aku kenal dengan Tumenggung Gajah Alit.  Namun aku dengar ia tidak mati.  Sama seperti gurumu yang berhasil melarikan diri, dan mengubah namanya menjadi Ajar Cemara Sewu, Tumenggung Gajah Alit kemungkinan besar juga menyembunyikan diri.  Musuh terlalu kuat untuk dihadapi pada waktu itu." Jelas kakek itu.

"Siapakah Demang Mojoduwur itu Ki ?" Tanya Sembada.

"Setahuku ia kakak isteri Tumenggung Gajah Alit. Jika ada kabar gadis itu di kademangan Maja Dhuwur, artinya demang itu berhasil menyelamatkan keponakannya saat rumah tumenggung itu dilalap api." Jawab Ki Ardi.

Sembada mengangguk-anggukan kepala. Ia tidak mendapat keterangan dari gurunya, bahwa demang Maja Dhuwur adalah kerabat Sekar Arum.

"Tugas lain saya disuruh mencari keterangan keberadaan pusaka kerajaan yang hilang sejak prahara belum terjadi di Medang. Sebuah payung keramat pusaka Medang Kamulan."

"Payung keramat ? Songsong Tunggul Naga ? "

"Iya Ki Ardi.  Namun aku belum pernah melihat bagaimana wujud songsong itu." Kata Sembada.

"Sebuah pekerjaan yang sulit.  Namun itu bisa kau lakukan sambil lalu saja, yang penting kau buktikan lebih dahulu adalah keberadaan saudara adik seperguruanmu."

"Benar Ki.  Perjalananku kali ini adalah menuju kademangan itu."

"Jika bertemu gurumu kau bisa bertanya tentang diriku.  Siapa Kidang Gumelar itu. "

"Kidang Gumelar, apakah itu nama sebenarnya Ki Ardi."

"Di dunia persilatan, namaku dikenal sebagai Kidang Gumelar.  Namun sehari-hari cukup kau sebut Ki Ardi."

"ohhh, baik Ki, aku mohon pamit.  Sekali lagi hormatku untuk Ki Ardi.  Semoga kita berkesempatan bertemu lagi."

Ki Ardi atau Kidang Gumelar menepuk punggung Sembada.  Ia tersenyum melihat kesantunan murid sahabatnya itu.

"Baiklah.  Selamat jalan." Kata ki Ardi sambil mengangkat tangan.

Ketika Sembada melangkahkan kakinya meninggalkan mulut goa itu, Ki Ardi balik badan masuk lagi ke mulut goa.  Ia akan menunggu lagi goa itu sampai hadir orang berikutnya yang harus ia serahi pusaka perguruan satunya, yakni pedang tipis kembar.  Pusaka itu masih berada di kotak kayu di bawah amben bambu.  Entah siapa yang akan mewarisi senjata itu kelak.

Sembada melanjutkan perjalanannya, mengarahkan langkah kakinya ke arah matahari terbit.  Ke timur.  Jalan yang dilalui tetaplah jalan yang memotong hutan larangan.  Jalan itu kelihatan jarang dilalui orang.  Nampak rumput tebal banyak ditemui di tengah jalan.  Bahkan tanaman liar mulai merambat menghalangi jalan.

Mengingat ia telah menguasai ilmu meringankan tubuh, ia berniat melatih ilmu itu sekarang.  Sambil mempercepat perjalanannya agar lekas sampai ke tujuan.  

Maka buntalan di ujung tongkatnya segera ia ikatkan melingkar di pundak dan pinggangnya, cambuknya ia lingkarkan di perutnya lebih erat.  Dengan memegangi tongkatnya tepat di tengah-tengahnya, ia lantas melangkahkan kakinya lebih cepat.  Kemudian ia lari dengan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya yang mengalir di urat darah kedua kakinya.

Maka segera nampak seperti bayangan yang samar-samar berkelebat seperti terbang.  Kadang meloncat tinggi melompati bebatuan, kadang menyusup gerumbulan perdu.  Dalam waktu singkat ia telah dapat menempuh jarak beberapa ribu depa.

Sejak ia berhasil melakukan meditasi hingga meragasukma,  ia menjadi heran dengan perubahan yang terjadi  pada tubuhnya. Seolah-olah setiap hatinya berkehendak sesuatu, agar badannya bergerak melakukan sesuatu, maka badan itu seolah langsung menanggapinya.  Syaraf-syarafnya demikian cepat bekerja, dan memerintahkan agar anggota badan melaksanakannya  Ketika ia berkehendak untuk meloncat, badan terasa seperti kapuk yang diterbangkan angin, ringan sekali.

Demikianlah Sembada dalam waktu singkat telah keluar dari hutan larangan.  Di depannya nampak sebuah pedesaan yang ramai.  Ia segera menghentikan larinya, dan berjalan seperti biasa. Nafasnya tidak terengah-engah sama sekali, berbeda dengan ketika ia belum menguasai ilmu peringan tubuh.

Ia berjalan sambil membawa tongkat bambu penggebuk anjingnya di atas pundak.  Barangnya kembali menggantung di ujung tongkat.  Ia memasuki desa itu dengan jalan seperti orang kebanyakan.  

Kehadirannya di desa itu sama sekali tidak menarik perhatian. Penampilannya tidak menyolok, orang mengira ia hanyalah seorang perantau yang sedang menempuh perjalanan tanpa tujuan yang hendak dituju.

Desa itu banyak sekali orang membuka usaha jual makanan. Di mana-mana ada warung yang hampir semuanya ramai.  Pedati dan kuda nampak berhenti di jalan depan warung.  Rupanya desa itu merupakan tempat pemberhentian para pedagang, untuk sekedar melepas lelah sebelum meneruskan perjalanan, atau menginap di sana untuk besoknya berjualan di pasar.

Nama desa itu adalah Desa Bandar.  Dari namanya pastilah desa itu sudah dekat dengan tempat penyebrangan di Sungai Brantas. Sembada melangkahkan kakinya, tidak ada keinginan hatinya untuk singgah di desa itu.  Ia akan segera menyebrang saja sungai itu mumpung hari masih siang.

Ternyata di tempat penyebrangan ramai sekali orang. Sementara gethek sebagai alat penyebrangan jumlahnya terbatas.  Mereka yang menunggu antrian sempat duduk-duduk di atas pasir tepian sungai.

Dua gethek diisi beberapa kuda beserta pemiliknya. Sebenarnya tukang satangnya agak keberatan membebani dua getheknya masing-masing dengan enam ekor kuda.  Namun pemilik kuda tidak sabar menunggu gethek lain dari seberang.

"Nggak apa-apa.  Coba saja, pasti tidak terjadi kecelakaan.  Selisih bebannya tidak banyak"

"Ini terlalu berat tuan.  Kami harus menguras tenaga untuk menyatanginya."

"Namanya kerja ya berat.  Sudah !  Berangkat saja."

"Kalau begitu jaga kuda-kuda tuan jangan bergerak-gerak."

"Baik.  Akan kami jaga. "

Pemuda gemuk pemimpin rombongan orang berkuda itu segera memerintahkan kepada  anak buahnya untuk menjaga kuda masing-masing.

Nampak dalam rombongan itu seorang gadis berambut panjang. Di pinggangnya menggantung sebilah pedang.  Ia selalu berdiri dekat pemuda berbadan gemuk itu.

Dari tepian Sembada mengawasi dua gethek yang berjalan berurutan.  Nampak sekali kedua orang tukang satang harus bekerja keras karena beban yang terlalu berat.  Air Brantas yang kebetulan deras sempat membuat sedikit oleng gethek-gethek itu. Mereka yang melihatnya sempat ikut menahan nafas.

"Jangan terlalu kepinggir tuan-tuan berdiri.  Lebih di tengah saja."

Para penumpangpun menggeser tubuhnya agak ke tengah. Sehingga gethek tidak berat sebelah.  Jalannyapun nampak lebih lancar.  Akhirnya kedua gethek itu sampai juga ke seberang.

Setelah tiga rambahan baru giliran Sembada naik gethek. Bersama dengannya adalah para pedagang yang hendak berbelanja di seberang.  Tak seorangpun yang ia kenal, maka ia diam saja sejak naik dari tepian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun