Desa itu banyak sekali orang membuka usaha jual makanan. Di mana-mana ada warung yang hampir semuanya ramai. Â Pedati dan kuda nampak berhenti di jalan depan warung. Â Rupanya desa itu merupakan tempat pemberhentian para pedagang, untuk sekedar melepas lelah sebelum meneruskan perjalanan, atau menginap di sana untuk besoknya berjualan di pasar.
Nama desa itu adalah Desa Bandar. Â Dari namanya pastilah desa itu sudah dekat dengan tempat penyebrangan di Sungai Brantas. Sembada melangkahkan kakinya, tidak ada keinginan hatinya untuk singgah di desa itu. Â Ia akan segera menyebrang saja sungai itu mumpung hari masih siang.
Ternyata di tempat penyebrangan ramai sekali orang. Sementara gethek sebagai alat penyebrangan jumlahnya terbatas. Â Mereka yang menunggu antrian sempat duduk-duduk di atas pasir tepian sungai.
Dua gethek diisi beberapa kuda beserta pemiliknya. Sebenarnya tukang satangnya agak keberatan membebani dua getheknya masing-masing dengan enam ekor kuda. Â Namun pemilik kuda tidak sabar menunggu gethek lain dari seberang.
"Nggak apa-apa. Â Coba saja, pasti tidak terjadi kecelakaan. Â Selisih bebannya tidak banyak"
"Ini terlalu berat tuan. Â Kami harus menguras tenaga untuk menyatanginya."
"Namanya kerja ya berat. Â Sudah ! Â Berangkat saja."
"Kalau begitu jaga kuda-kuda tuan jangan bergerak-gerak."
"Baik. Â Akan kami jaga. "
Pemuda gemuk pemimpin rombongan orang berkuda itu segera memerintahkan kepada  anak buahnya untuk menjaga kuda masing-masing.
Nampak dalam rombongan itu seorang gadis berambut panjang. Di pinggangnya menggantung sebilah pedang. Â Ia selalu berdiri dekat pemuda berbadan gemuk itu.