Mohon tunggu...
Wahyudi Nugroho
Wahyudi Nugroho Mohon Tunggu... Freelancer - Mantan MC Jawa. Cita-cita ingin jadi penulis

Saya suka menulis, dengarkan gending Jawa, sambil ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Pengalaman Mistis Saat Ngemce

17 Maret 2024   18:14 Diperbarui: 19 Maret 2024   12:39 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Resipotery Universitas BSI

Suatu sore, 20 an tahun yang lalu, datang seorang tamu di rumahku. Seorang wanita yang sudah tak muda. Raut wajahnya mewartakan padaku ibarat bunga sudah agak layu. Singkatnya, perawan tua.

Aku persilahkan tamuku duduk. Dengan sopan ia mengangguk. Ia utarakan maksud kedatangannya. Mengundangku untuk hadir dalam pernikahannya sebagai emce (MC).

Tentu saja aku menyanggupinya. Karena itu profesi kerja yang aku tekuni. Namun aku tertegun sejenak, ada bisikan lembut masuk dalam hati. Orang2 Jawa bilang ini wisik. Bisikan gaib entah dari mana datangnya.

Segera aku sampaikan wisik itu padanya. Pertama, agar ia menyempatkan diri untuk nyekar, jiarah, ke makam kedua orang tuanya sebelum acara pernikahan. Kedua, saat hari H agar menyediakan sesaji lima macam barang. Kembang telon (bunga tiga warna), kendi berisi air putih, segelas wedang kopi, minyak wangi, dan rokok surya.

Ia menyanggupinya kemudian pamit pulang.

Saat hari H aku datang. Perias temanten, di daerahku disebut patah, memberi tahuku. Bahwa sesaji yang saya minta telah disediakan. Ia bertanya barang-barang tersebut diletakkan di mana. Aku bilang di depan saja, dekat kursi pengantin.

Segera aku ganti pakaian. Aku kenakan pakaian tradisional Jawa jangkep, alias lengkap. Setelah rampung berdandan aku mengaca pada cermin di ruangan itu, nampak lelaki yang sangat tampan. Aku tersenyum. 

"Sudah, sudah cakep, ganteng." Kata ibu Amin patah itu.

Semua gadis yang sedang beliau rias tersenyum. Salah seorang dari mereka nyelemong.

"Kumisnya bikin nggak kuat." Semua di ruang itu tertawa.

Aku hanya tersenyum simpul. Tak menanggapi gurauan mereka. Segera aku keluar kamar, dan melanjutkan langkahku menuju lokasi acara akan diselenggarakan.

Nampak sebuah meja kecil dekat kwade, kursi pengantin, di atasnya lengkap sesajen yang aku minta, sesuai wisik itu.  Ku ambil kursi mendekatinya. Sebelum aku mulai berdoa, aku minta gelas kosong kepada peladen (pembantu kerja dalam acara pernikahan Jawa ). Lelaki itu bergegas membantuku.

Setelah semua ubarampe aku anggap lengkap, segera aku mulai upacara kecil atur sesaji. Bungkusan di meja aku buka, bunga tiga warga aku ambil dan kumasukkan di gelas yang telah aku isi air dari kendi. Minyak wangi aku oles-oleskan pada semua barang di situ. Sebatang rokok surya aku ambil dari wadahnya. Aku olesi minyak wangi. -Dan kusulut.

Setelah tiga hisapan dan asapnya aku kebulkan pada semua ubarampe sesaji, rokok yang menyala itu aku letakkan. Asapnya terus mengepul, menggantikan asap dupa kemenyan yang mungkin akan menggangu.

Dengan bersedekap aku mulai berdoa. Semua permohonan dalam doa aku sampaikan tanpa suara, tapi bergema di relung hatiku saja. Ia meluncur dalam bahasa Jawa krama, tingkat tertinggi dalam struktur bahasa suku Jawa.

Rampung berdoa aku ambil daun pisang bekas  pembungkus bunga. Aku gulung dan kulipat. Agar ringkas terbuang di tempat sampah kutusuk dengan potongan lidi yang tadi jadi pengikat bungkusan. Tapi aneh. Daun pisang itu tak dapat aku tusuk.

Tiga kali aku berusaha. Yang kedua  dan ketiga kalinya telah aku kerahkan semua tenaga. Tapi tetap saja. Biting / potongan lidi itu tak mampu melubangi daun pisang itu.

Aku tak mau cemas. Hati aku usahakan tenang menghadapi keanehan ini. Akhirnya gulungan daun pisang aku buka lagi. Biting aku letakkan di tengahnya dan aku gulung lagi. Baru aku buang ke tempat sampah sambil berdoa. Memohon perlindungan dan keselamatan untuk semua.

Baru aku mulai kerjaku. Aku temui penjaga sound sistem, aku berikan kaset berisi gending-gending (tembang jawa diiringi bunyi gamelan) sebagai pengiring rangkaian acara, aku temui patah manten untuk bersepakat tentang urutan acaranya, terakhir aku temui calon temanten putri.

"Sudah nyekar orang tuamu ?" Aku bertanya.

"Sampun Pak, kala wingi. (Sudah Pak, kemarin)." Aku mengangguk.

Sebentar kemudian acara di mulai. Tetangga dekat yang diundang sudah datang. Pita suara aku minta dibunyikan. Gending Ladrang Slamet mengalun dengan merdunya. Membelai hati semua yang mendengarkannya.

Kuangkat mikropun dekat bibirku. Hendak aku sampaikan rangkaian kata pembuka dalam bahasa Jawa. Tapi betapa kagetnya hatiku, tiba-tiba kurasakan benda berat menindih kepalaku. Berat, berat sekali.

Tapi tentu saja aku tak mau terganggu. Sekuat tenaga aku lawan. Tapi beban berat itu kian menindih. Akhirnya aku tarik nafas pelan dan heningkan cipta. Kupanjatkan kepada Hyang Sukma Sejati yang telah lama kuyakini sebagai sesembahan, agar aku dilindungi, anasir yang menggangguku disingkirkan.

Tiga tarikan nafas aku bisa berdiri tegak. Namun beban berat itu masih kurasakan, tapi sudah tak mengganggu kerjaku. Sepanjang acara aku mengalami keadaan itu.

Ditambah satu lagi, aku seperti mendengar suara jarit yang dikenakan wanita di sekitarku. Brebet brebet brebet. Bau wangi menyertainya. Namun semua tak aku perhatikan. Aku fokus kerja.

Syukurlah acara berlangsung sampai akhir. Tamu yang hadir banyak sekali. Rangkaian acara terlaksana dengan lancar. Tak ada kejadian apapun yang mengganggu jalannya pernikahan.

Tiba-tiba lelaki tua berpeci hitam, berpakaian koko putih dan bersarung hijau menghampiriku. Ia memukul punggungku seraya berkata.

"Nyambut damel niku sampun diayahi piyambak. Abot. (Kerja itu jangan dilaksanakan sendirian, berat.)" 

Dengan spontan aku menjawab.

"Inggih mbah awrat. (Iya kek berat)"

Namun setelah di rumah aku merasakan pinggangku sakit sekali. Seperti ada benda keras yang menyelusup di pinggangku.  Empat hari aku tak dapat berdiri tegak. Selalu membungkukkan badan seperti kakek-kakek.

Kata isteriku aku hanya kurang minum air putih, kebanyakan kopi. Namun sore harinya aku temukan jawabnya. Ketika datang dua tamu suami isteri yang masih saudara isteriku. Namanya Pak Sukadi, dari desa Darungan, selatan desaku, Bendo. Isterinya bercakap dengan isteriku di ruang dalam, aku bicara dengan lelaki tua itu di ruang tamu.

Ia terkenal sebagai Perjangga, istilah bagi dukun yang diminta untuk membantu orang hajatan. Agar tamu banyak datang, hujan tersingkir, tak ada musibah, dan lain- lain.

Setelah duduk tanpa kuminta ia menjelaskan.

"Mas, kalau minta sesajen di dusun Wanaasri jangan lupa harus ada pisangnya."

Entah dari mana ia tahu aku baru ngemce di dusun itu. Dusun sebelah barat desaku. Dari mana pula ia tahu aku minta sesaji. Akhirnya aku beritahukan bahwa itu wisik, bisikan misterius yang aku dengar.

"Wooo. Berarti kamu diajari langsung oleh alam untuk mengenal jagat itu. Jagatnya makluk di luar jagat manusia."

Ketika aku ceritakan suara brebet-brebet seperti suara wanita berjarit yang tengah berjalan, jawabnya.

"Memang. Danyang dusun itu wanita."

Esoknya, di pagi hari, pulang dari pasar istriku membawa sesisir pisang. Aku lihat ada dua pisang yang saling berdempetan. Seperti digerakkan tenaga gaib dua pisang berdempetan itu aku petik. Aku kupas dan aku makan.

Aneh, belum satu jam sakit pinggangku sembuh. Aku bisa berdiri tegak lagi.

Sejak saat itu tumbuh keyakinanku. Bahwa ada alam lain di luar alam manusia.  Setiap saat jika dapat order mengisi acara sebagai emce di tempat hajatan, selalu tak lupa aku berdoa.

Mengambil sebatang rokok, aku oles minyak wangi, aku sulut dan kuhisap. Kemudian aku letakkan benda itu di dekatku.  Benda yang konon kata orang beracun itu, jadi pengganti dupa atau kemenyan. Kemudian hening sejenak dan berdoa. Ketika terasa ada angin semilir bertiup, suasana tiba-tiba terasa senyap, aku yakini doaku telah diterima.

Hampir 20 tahun aku menjalani profesiku sebagai emce. Semakin hari kian tebal keyakinanku atas hebatnya spiritualitas leluhurku, Jawa. Sesantinya hingga kini tetap kupegang. 

Nora adigang adigung adiguna

Sepi ing pamrih rame ing gawe

Mulat sarira hangrasa wani

Mangayu hayuning bawana.



Sore, saat petang mulai membayang, di bulan Ramadan

Bendo, 16 Maret 2024.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun