Sebentar kemudian acara di mulai. Tetangga dekat yang diundang sudah datang. Pita suara aku minta dibunyikan. Gending Ladrang Slamet mengalun dengan merdunya. Membelai hati semua yang mendengarkannya.
Kuangkat mikropun dekat bibirku. Hendak aku sampaikan rangkaian kata pembuka dalam bahasa Jawa. Tapi betapa kagetnya hatiku, tiba-tiba kurasakan benda berat menindih kepalaku. Berat, berat sekali.
Tapi tentu saja aku tak mau terganggu. Sekuat tenaga aku lawan. Tapi beban berat itu kian menindih. Akhirnya aku tarik nafas pelan dan heningkan cipta. Kupanjatkan kepada Hyang Sukma Sejati yang telah lama kuyakini sebagai sesembahan, agar aku dilindungi, anasir yang menggangguku disingkirkan.
Tiga tarikan nafas aku bisa berdiri tegak. Namun beban berat itu masih kurasakan, tapi sudah tak mengganggu kerjaku. Sepanjang acara aku mengalami keadaan itu.
Ditambah satu lagi, aku seperti mendengar suara jarit yang dikenakan wanita di sekitarku. Brebet brebet brebet. Bau wangi menyertainya. Namun semua tak aku perhatikan. Aku fokus kerja.
Syukurlah acara berlangsung sampai akhir. Tamu yang hadir banyak sekali. Rangkaian acara terlaksana dengan lancar. Tak ada kejadian apapun yang mengganggu jalannya pernikahan.
Tiba-tiba lelaki tua berpeci hitam, berpakaian koko putih dan bersarung hijau menghampiriku. Ia memukul punggungku seraya berkata.
"Nyambut damel niku sampun diayahi piyambak. Abot. (Kerja itu jangan dilaksanakan sendirian, berat.)"Â
Dengan spontan aku menjawab.
"Inggih mbah awrat. (Iya kek berat)"
Namun setelah di rumah aku merasakan pinggangku sakit sekali. Seperti ada benda keras yang menyelusup di pinggangku. Â Empat hari aku tak dapat berdiri tegak. Selalu membungkukkan badan seperti kakek-kakek.