Semua siswa baru pagi itu dikumpulkan di aula. Seluruhnya berseragam putih. Celana dan baju putih. Â Tak satupun baju dan celana yang kusam. Semua masih mengkilat dan tersetrika halus. Â Ketika diperintah duduk di lantai aula, tanpa selembar alas, nampak wajah-wajah yang ragu.
"Kenapa takut bajunya kotor ? Duduk !!!" kata kakak kelas anggota panitia Ospek tegas.
Kami siswa baru buru - buru duduk. Â Tak peduli lagi rupa seragam kami nanti. Â Berhadapan dengan semua anggota panitia ospek, kami para siswa baru seperti prajurit balok satu berhadapan dengan perwira. Semua perintah mesti kami jalankan.
Ketika kami sudah duduk tertib. Juga sudah diam tak berisik, Kak Yuwana, ketua panitia ospek maju dan berdiri di depan. Â Ia minta megafon yang tersampir di pundak temannya. Dengan alat itu ia membuka acara.
"Assalamualaikum warrohmatullahi wabarakatuh. Selamat pa-gi adik-adik sekalian." salamnya.
"Waalaikum salam, selamat pagi kak." jawab kami para siswa baru serempak.
"Adik-adik. Pagi ini adalah momen pertama kalian masuk sekolah di es-em-a ini. Aku yakin kalian bangga diterima di sekolah favorit di kota kecil ini. Â Setelah kalian lulus seleksi ketat dengan kemampuan ilmu yang kalian miliki. Tentu kalian telah menyerap banyak ilmu saat esempe. Terutama bagi kalian yang kutu buku, rajin belajar, dan selalu memperhatikan guru saat mengajar. Bisa dipastikan akan lolos seleksi ujian. Menjadi kumpulan siswa pilihan pada angkatan baru tahun ini. Di esema kita.
Kutu buku, rajin belajar dan selalu memperhatikan guru mengajar itu baik. Â Namun bisa tak berguna jika kalian kurang bersosialisasi. Pandai di kelas tapi tak bisa berteman itu belum lengkap. Ibaratnya sebagai manusia ia belum utuh. Â Ia menjadi sempurna jika ada keseimbangan sebagai makluk pribadi dan makluk sosial.
Sebagai makluk pribadi ia wajib mengembangkan potensi dalam dirinya, sebagai makluk sosial ia harus toleran, dan menghargai teman kita yang lain, meski berbeda suku ras agama dengan kita.
Nah acara ini diselenggarakan sebagai ajang bagi kalian untuk mengembangkan diri, agar sebagai pribadi dan makluk sosial, lebih sempurna.Â
Sekian sambutan saya. Selanjutnya secara resmi saya buka acara ospek ini" Â tiba-tiba terdengar bunyi dengung keras sekali. Semua yang ada dalam aula itu menutup telinga.
"Cara bicaranya sudah seperti pejabat" komentar teman yang duduk di sampingku, setelah bunyi dengung pembukaan ospek itu berhenti. Aku sama sekali tak menanggapinya.
Selanjutnya, Kak Jatmika, anggota panitia yang lain mengambil alih forum. Bicaranya keras dan tegas. Menurutku cenderung kasar. Dari sisi etika berbicara di tengah forum menurutku nilainya masih kurang. Sebagai makluk sosial kurang menghargai dan menghormati adik kelas. Meski kami berumur lebih muda.
"Nah adik-adik telinga kalian tadi dengar bukan ? Sesorah ketua ospek yang juga ketua osis kita. Harus ada keseimbangan sebagai makluk pribadi dan makluk sosial, agar kalian utuh disebut manusia. Tidak seperti monyet, yang enggan berbagi jika bertemu makanan." katanya.
"Selanjutnya acara perkenalan. Kami akan menunjuk beberapa orang maju ke depan. Tahap pertama dua orang dulu."
Lelaki tinggi kurus itu berjalan memutar sambil mengawasi kami yang sedang duduk. Â Semua menundukkan kepala, enggan maju ke depan forum sebagai wakil.
"Kenapa kalian menunduk ?!!" bentaknya
Mendengar bentakan itu kami semakin mengkeret. Tak berani mendongakkan kepala.
"Itu yang duduk di pojok kiri. Badannya besar seperti gajah bengkak itu, maju. Berdiri ! Cepat !!"
Murid baru yang aku tahu dari SMP negeri satu pare itu, karena berat badannya agak kesulitan berdiri. Teman dekatnya membantu mengangkat tubuhnya. Setelah berdiri dengan terseok seok ia berjalan ke depan. Bokongnya hitam oleh debu yang menempel di celananya.
"Berdiri dulu kamu di situ.!!" perintah Kak Jatmika sambil menuding tempat pojok kanan depan. Â Siswa gemuk itu menggeser tubuhnya.
"Itu. Si rambut panjang yang sejak tadi senyum senyum itu, maju " kak Yayuk, satu satunya anggota panitia wanita menuding seorang gadis.
Merasa tak yakin dirinya yang ditunjuk, ia gerakkan jari telunjuknya berulang kali ke dadanya.
"Iya kamu !! Siapa lagi yang berrambut panjang di sekitarmu ? Bego !!" respon Kak Yayuk cantas.
Gadis itu berdiri dan bergegas jalan ke depan. Wajahnya buram, bibirnya cemberut. Tentu hatinya agak tersinggung dengan perlakuan senior yang tidak berkenan di hatinya.
"Jalan biasa saja !!! Jangan sok cantik !!!" Â Kata kak Jatmika.
Gadis itu akhirnya berdiri dekat siswa gemuk, matanya sedikit menyala dan wajahnya memerah. Berulang kali ia menarik nafas panjang, dan menghembuskan udara keluar dengan pelan. Â Rupanya ia pandai mengendalikan perasaan dengan olah nafas.
"Sementara dua orang ini dulu. Nanti jika ada waktu kita sambung yang lain." kata kak Jatmika.
"Kamu, gajah bengkak bergeser kesini. Di tengah sini. Perkenalkan namamu, orang tuamu, hobimu dan kesan dan pesanmu dalam acara ini. Silahkan."
Siswa gemuk itu bergeser ke tengah. Sikapnya santai dan penuh percaya diri. Setelah menyampaikan salam ia memperkenalkan diri.
"Nama saya Hendra, lengkapnya Hendra Sancaya Herlambang. Saya manusia biasa yang kebetulan gemar makan. Itulah sebabnya badan saya gemuk dan besar. Jadi saya bukan jenis hewan gajah, apalagi bengkak. Saya yakin kalian di sini bisa membedakannya."
Tiba tiba ruangan gemuruh dengan tepuk tangan. Bahkan ada yang suit suit keras memberi dukungan pada siswa gemuk itu.
Si gemuk senyum senyum sambil melirik Kak Jatmika. Namun yang dilirik pura pura tak memperhatikan.
"Ayah saya perwira militer berpangkat jendral satu satunya dari kota kecil ini. Namanya Wibawa. Sayang beliau telah anumerta. Ibuku wanita Bali, bernama Ida Ayu Saraswati. Masih memiliki darah brahmana. Bisa jadi Lohgawe yang terkenal itu adalah nenek moyangku." Â katanya mantap.
"Lohgawe tidak punya keturunan. Beliau tidak menikah." ada siswa nyeletuk membantah.
"Sok tahu. Kamu punya referensi sejarahnya ?" jawab Hendra santai.
"Gak tahu sih. Tapi aku tak yakin silsilah keluargamu itu, beraninya kau mengklaim Lohgawe kakekmu. Bukankah ia brahmana yang diusir dari wilayah Kediri jaman raja Kertajaya atau Dandang Gendis.  Lari ketimur bersekutu dengan mahasiswa radikal bernama ken Arok ? Meski sedikit aku tahu sejarah." bantah  anak yang duduk di belakang itu.Â
Semua anggota panitia tersenyum senyum mendengar perdebatan itu..
"Saya tidak mengklaim, hanya bergurau. Baramgkali...." jawab Hendra menghindar.
Ketika tidak ada reaksi lanjutan dari pembantah itu, hendra melanjutkan.
"Hobiku berenang dan main catur. Meski badanku gemuk aku berani bertanding berenang dengan siapapun. Termasuk dengan kamu. " katanya sambil menudingkan telunjuk kepada pembantahnya.
"Main catur ? Aku punya sertipikat juara pertama catur tingkat kabupaten. Berani kau bertanding denganku pembantah ?" katanya sambil membusungkan dada. Iapun tersenyum saat teman teman bertepuk tangan.
"Kesan saya tentang ospek ini menyenangkan. Â Tapi juga menyedihkan. Senang karena bisa bergurau seperti ini. Sedih karena aku dijuluki gajah bengkak. Aku manusia, meski gemuk. Julukan itu merendahkan derajatku sebagai manusia. Jelas tindakan semacam ini tidak etis. Tidak patut ditiru. Itulah pesanku jangan tiru hal buruk, meski dari senior kita sendiri. Terima kasih."
Ruangan gempar. Tepuk tangan membahana. Bahkan ada yang berdiri sambil melonjak lonjak. Hendro berjalan terseok seok kembali ke tempat berdiri semula. Celananya agak melorot, celana dalamnya berwarna pink sedikit mencuat terlihat semua mata. Gadis gadis tertawa cekikikan sambil menutup mulutnya.
Setelah ruangan kembali tenang, baru si gadis berjalan ke tengah. Ia berdiri persis di tempat Hendra tadi mem-perkenalkan diri.
"Cool cool, kita dinginkan suasana. Agaknya ada yang terselomot hatinya pagi ini. Mendengar kesan dan pesan Hendra tadi. Agar kembali dingin, aku lantunkan sebuah tembang Jawa. Sebait pupuh Wirangrong "
Gadis itupun kemudian melantunkan sebait tembang macapat. Suaranya merdu dan mampu menghipnotis audien hingga semua diam dan terpaku.
Den samya marsudeng budi.
Weweka dipun waspaos
Aja dumeh, dumeh bisa muwus
Yen tan pantes ugi
Senajan amung sakecap
Yen tan pantes  pernahira
Audien bertepuk tangan meriah "keren, keren".  Gadis itu mengangkat tangan. Seketika  audien  diam.
"Namaku Anik. Cuwilan dari Tri Maharani. Tinggal di dusun Tulungrejo, alumnus SMP Mardi Tresna" katanya setelah nembang ia memperkenalkan diri.
"Boleh dipanggil Tri atau Maha" suara cowok nyeletuk.
"Selama tidak ada larangan dari negara, boleh boleh saja. Terserah." jawabnya sembari tersenyum manis.
Semua tertawa. Anik tertawa juga. Saat ia tertawa lesung pipinya nampak terlihat. Lesung itu kian menambah kecantikannya.
"Hobiku menari. Â Baik tari klasik dan kreasi baru."Â
"Tari apa saja ?"
"Tari gambyong, bondan, karonsih, bahkan serimpi. Â Sedangkan kreasi barunya adalah tarian hasil ciptaanku sendiri."
"Waah hebat dong. Â Tolong tunjukkan sedikit saja jika kamu memang pandai menari."
Anik menggerakkan tangannya dengan jari-jari bergerak-gerak lewat muka wajahnya. Â Kepalanya bergerak dengan luwesnya ke kanan dan kekiri. Â Tepuk tangan menggema.
"Aku punya grup tari bernama Trio Javanese Dance. Â Sering diundang mengisi acara di mana-mana. Â Terutama jika ada warga yang sedang hajatan."
"Enak dong. Â Pulang bawa jajan."
"Ya,... itulah yang paling mengasyikkan. Â Bawa jajan dan amplop berisi uang."
"Berarti kamu penari ledek. Â Rombongan penari yang sering keliling desa-desa saat panen selesai. " muncul celetukan bernada sinis.
"Apa buruknya ledek ? Â Mereka tidak minta-minta. Â Tapi menjual jasa, menghibur masyarakat dengan keahlian tarinya."
"Tapi tidak saja menghibur dengan keahlian tarinya saja ? kadang..."
"Stop !!! Jangan diteruskan.  Aku tahu arah bicaramu.  Jangan kau lecehkan mereka dengan penyimpangan-penyimpangan perilaku  semacam itu. Karena faktor pemicunya banyak dan komplek. Satu sama lain berkelid berkelindan..Lebih baik fokus saja dengan keindahan tarinya."
Ternyata gadis yang berpenampilan kalem itu piawai juga berdebat. Â Keberaniannya bersikap terhadap hobi yang dipilihnya sungguh patut diacungi jempol.
Bilawa yang duduk di antara para siswa baru di aula itu hanya tersenyum saja melihat tingkah teman-temannya. Â Tak sekalipun ia bereaksi terhadap semua ucapan dua orang yang berdiri di depan itu. Â Hanya matanya saja yang terlihat memancar saat memandang gadis berambut panjang dengan sanggul kecil tepat di tengah kepala.
"Gadis itu manis sekali." Â Katanya di dalam hati.
****
Â
"Billll, Bilawaaa, itu kambingmu berteriak-teriak belum dikasih makan "Â
Terdengar teriakan emak dari dapur. Â Bilawa kaget dan melonjak bangkit dari tidurannya di ranjang. Â Ternyata dia baru saja melamun panjang.
Bergegas ia lari ke belakang. Â Dari kandang dua ekor kambing terdengar berulang kali mengembik keras. Â Rupanya ia minta jatah makan siangnya.
"Kenapa kamu berteriak-teriak. Â Diam !!! Â Membuat emak marah saja."
Kata Bilawa sewot melihat tingkah dua ekor kambingnya. Â Ia lantas mengambil rumput di keranjang, dan menuangkan separo di palungan tempat makan kambingnya. Â Dua ekor kambing itu nampak berebutan menyantap rumput segar.
"Jangan berebut. Masih banyak persediaanya." Â Kata Bilawa seolah kambing-kambing itu mengerti apa saja yang diucapkannya.
Bilawa memandangi dua ekor kambingnya dengan bibir tersenyum. Â Baru sebulan ia memeliharanya yang betina sudah bunting. Â Sebentar lagi pasti jumlahnya akan bertambah. Â Kambing-kambing itu hadiah ayahnya setelah ia lulus SMP.
"Pelihara yang baik. Â Hewan juga butuh kasih sayang. Â Agar kau punya tabungan untuk kelanjutan sekolahmu." Â Kata ayahnya saat memasukkan dua ekor kambing itu pertama kali ke kandang.
Sejak saat itu bertambah satu tugas baru di rumahnya. Menyabit rumput untuk kambing kambingnya.
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI