Mohon tunggu...
Wahyu Chandra
Wahyu Chandra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis dan blogger

Jurnalis dan blogger, tinggal di Makassar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Senjakala Perahu Pinisi

11 Maret 2018   04:54 Diperbarui: 11 Maret 2018   08:46 1202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari sebentar lagi akan gelap ketika Basri Madung (45) bergegas berjalan menuju pinggir pantai di mana puluhan perahu kayu berjejer rapi. Perahu-perahu itu terdiri dari beberapa ukuran. Ada yang sementara dalam pengerjaan awal dan ada juga yang telah hampir selesai.

Sebuah perahu besar terlihat belum selesai pengerjaannya meski badan perahunya sudah terlihat kusam. Konon perahu itu dulunya dipesan oleh seorang pengusaha transportasi, yang sudah membayar panjar. Sayangnya, perahu itu tak diselesaikan karena pemiliknya keburu bangkrut karena kapalnya yang lain karam di tengah laut.

Basri adalah salah seorang pembuat perahu Pinisi di Tana Beru, Kecamatan Bonto Bahari, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Tana Beru ini sendiri dikenal sebagai salah satu pusat pembuatan perahu Pinisi, perahu khas Sulawesi Selatan yang ketenarannya hingga ke mancanegara.

Perahu Pinisi dikenal karena ketangguhan dan kelincahannya di laut. Konon, dulu pelaut-pelaut dari Eropa begitu takjub ketika melihat penampakan perahu ini pertama kali. Desainnya yang ramping namun kokoh membuatnya perkasa melewati kencangnya angin dan badai di laut.

Tak ada informasi yang pasti tentang kapan mulai perahu ini muncul. Di dalam epos La Galigo sendiri diceritakan ketangguhan perahu yang digunakan La Galigo mengarungi lautan, keliling nusantara bahkan ke mancanegara.

Menurut Muhammad Arief Saenong, dalam bukunya berjudul Pinisi, ketika Presiden Soekarno berkunjung ke Mexico pada 1962, ia menyaksikan kerangka perahu layar di Pantai Acapulco. Konon tim ahli setempat pernah mengadakan penelitian terhadap bangkai kapal tersebut dan menemukan bahwa bangkai kapal tersebut berasal dari Teluk Bone. Diperkirakan kapal tersebut datang ke Acapulco pada abad ke-15.

Dalam misi pelayaran Pinisi Ammana Gappa ke Madagaskar tahun 1991, ditemukan beberapa bukti yang meyakinkan bahwa pelaut Bugis -- Makassar pernah sampai ke negara tersebut beberapa abad silam. Keyakinan itu didasarkan atas adanya kesamaan kosa kata penduduk dengan Bahasa Konjo[i],adanya kesamaan arsitektur rumah dan alat dapur dengan Bugis -- Makassar.[ii]

Basri lalu menunjukkan kapal-kapal yang berjejer tersebut, sambil menjelaskan fungsi masing-masing kapal. Kapal paling besar biasanya digunakan mengangkut kargo dan penumpang. Ada juga untuk kapal penangkap ikan, dari ukuran sedang hingga kecil. Sebagian adalah perahu ukuran sedang yang konon dipesan oleh turis-turis dari luar negeri. Paling banyak dari Inggris dan Australia.

Sore itu suasana Tana Beru agak sepi dan aktivitas pengerjaan perahu baru saja selesai. Masih terlihat sisa-sisa kayu berserakan di sekitar tempat tersebut.

Menurut Basri, pembuatan kapal bisa memakan waktu berbulan-bulan atau malah tahunan. Selain karena faktor ukuran juga ketersediaan anggaran dan bahan baku. Sistem pembayaran pembuatan sebuah perahu sendiri bisa secara tunai, namun seringnya dengan pembayaran tiga kali. Tergantung pada kesepakatan. Biasanya dimulai dengan pembayaran 30 persen, baru kemudian 20 persen lagi. Sisanya dibayar setelah perahu selesai.

Bahan baku berupa kayu bitti dan kayu besi (ulin) diperoleh dari pedagang yang datang sendiri ketika mengetahui sebuah kapal akan dibuat. Ini berbeda dengan zaman dulu di mana pembuat perahu akan mencari sendiri kayu yang akan digunakan. Untuk menebang kayu ini ternyata memiliki ritual tersendiri di mana bahan yang pertama ditebang adalah komponen kalibeseang (lunas) atau dasar perahu, yang kan dilakukan oleh punggawa pembuat kapal, dengan menggunakan kampak.

Asal Kata Pinisi

Lalu, kenapa perahu ini dinamakan perahu Pinisi? Terdapat sejumlah versi sejarah dari mana asal kata Pinisi ini berada.

Usman Pelly (1975) dalam bukunya 'Ara dengan Perahu Bugisnya' menduga asal kata Pinisi adalah dari kata Venecia, sebuah kota pelabuhan di Italia yang sangat terkenal di zamannya. Sumber lain menyebutkan bahwa yang disebut Pinisi adalah model layar, yang terdiri dari tujuh helai layar. Disebutkan juga bahwa Pinisi sebagai hasil modifikasi dari model layar perahu Eropa. Kalau teori ini disepakati maka penamaan kata Pinisi bisa saja berarti sebuah upaya pengabadian nama Venecia. Dari kata Venecia ini kemudian mengalami proses fonemik menurut dialek Bahasa Konjo sehingga pengucapannya menjadi Pinisi.

Nasaruddin Koro dalam bukunya berjudul Ayam Jantan Tanah Daeng(2006) sebagaimana dikutip oleh Arief, juga menjelaskan versi lain dari mana kata Pinisi ini berasal. Konon nama Pinisi diberikan oleh Raja Tallo VII, Manyigarang Daeng Makkilo kepada perahunya. Berasal dari kata picuru yang berarti contoh yang baik dan binisi yang berasal dari nama sejenis ikan kecil yang lincah dan tegar di permukaan air, yang tidak terpengaruh arus dan gelombang.

"Raja Tallo memberikan nama perahunya dengan menggabung kata picuru dan binisi sehingga menjadi Pinisi," ungkap Nasaruddin, sebagaimana dikutip oleh Arief. 

Sumber lain berpendapat bahwa nama Pinisi berasal dari kata panisi,yang dalam bahasa Bugis berarti sisip (mappanisi = menyisip). Mappanisi bisa diartikan menyumbat semua persambungan papan, dinding, dan lantai perahu dengan bahan tertentu agar tidak kemasukan air. Lopidipanisi' artinya perahu yang disisip. Diduga dari kata panisi mengalami proses fonemik sehingga menjadi pinisi.

Sebagaimana pada umumnya masyarakat nelayan di Sulsel di mana segala proses pembuatan dan pembangunan sesuatu harus melibatkan upacara ritual tertentu, maka dalam pembuatan perahu Pinisi pun memiliki ritual tersebut. 

Menurut Basri, proses pembuatan sebuah kapal dimulai dengan terlebih dahulu melakukan ritual yang disebut annatara. Annatara sendiri berarti memotong, yaitu memotong atau meratakan ujung lunas untuk disambung dengan kedua penyambung. 

Ritual ini tidak dilakukan begitu saja, namun harus mencari hari baik dengan menggunakan penanggalan Islam. Kelengkapan upacara ini antara lain kain putih 1 setengah meter, ayam 1 ekor, dua sisir pisang panjang dan dupa. Pemilik perahu akan jongkok di ujung kiri kalebiseang yang berhadapan dengan punggawa. Para sawi akan berdiri di belakang pemilik perahu.

Pada saat upacara dimulai kain putih akan dinaikkan di kepala punggawa, kemudian ia akan berdialog dengan pemilik perahu. Kemenyan pun dibakar. Pahat yang dipegang punggawa diasapi. Punggawa selanjutnya akan memasang pahat pada ujung kalebiseang yang akan dipotong sambil membaca mantra tertentu. 

Setelah mantra dibacakan, pahat dipaku beberapa kali menandai ujung kalebiseang yang akan dipotong. Serpihan kayu bekas pahatan dimasukkan ke mulut punggawa. Ujung kalebiseang yang telah ditandai dengan pahat dan dipotong dengan gergaji. Pekerjaan selanjutnya ditangani oleh punggawa dibantu beberapa sawi.

Ritual selanjutnya disebut appasili, yaitu ritual menolak bala. Ritual ini telah ada sejak masa para-Islam meski kini sebagian besar bagian dari ritual telah dipengaruhi oleh budaya Islam. Misalnya dengan adanya pembacaan barazanji. 

Ritual ini mengharuskan adanya sejumlah sajian makanan, seperti gogos, onde-onde, kulapisi atau kue lapis, songkolo (nasi ketan) dan kaddo masingkulu. Ini menunjukkan rezeki. Rasa manis dan rezeki datangnya berlapis, mengikat kebersamaan dan menolak mara bahaya.

Setelah bahan makan ini tersedia maka dilanjutkan dengan pembacaan barzanji hingga tuntas. Seorang guru yang menghadapi wajan yang berisi air dan seikat dedaunan, sambil membacakan mantra. Dilanjutkan dengan penaburan air songkabala (penolak bala) yang terisi dengan mantra ke sekeliling perahu dengan menggunakan ikatan dedaunan. 

"Setelah ritual selesai maka dilanjutkan makan bersama makanan-makanan tadi, dengan tamu-tamu yang hadir," jelas Basri.

Ritual selanjutnya adalah apa yang disebut ammosi yang berarti memberi pusat pada pertengahan perahu atau kelebiseang. Ini bisa disamakan dengan pemotongan tali pusar bagi bayi yang baru lahir. Punggawa atau Panrita Lopi meyakini perahu yang dibuatnya sebagai sebagai anak yang akan segera lahir pada saat diluncurkan. 

Untuk penyelenggaraan ritual ini maka harus disiapkan ja'jakang, terdiri dari pisang Ambon, kelapa, gula merah dan wajik. Selain itu juga harus disiapkan sepasang ayam besar, 1 setengah meter kain putih, seperangkat papasilin yang berisi sarung, baju dan songkok atau kopiah dan sebuah cincin emas. Tak lupa disiapkan kuali, pedupaan dan kemenyan. 

Pelaksanaan ammosi ini dimulai ketika pemilik perahu jongkok di sebelah kiri pertengahan lunas sambil berhadapan dengan punggawa. Pemilik perahu kemudian mengikatkan kain putih yang telah disiapkan ke kepala punggawa. Kemenyan dibakar. Cincin emas dimasukkan ke dalam mulut punggawa sambil membacakan mantra tanpa tarikan nafas. Lunas perahu lalu dipahat berbentuk segi empat dengan pahatan kecil menggunakan pahat tanpa tangkai. Serpihan kayu bekas pahatan dimasukkan ke dalam mulut punggawa.

Bekas pahatan di perahu lalu dibor hingga tembus. Serbuknya disimpan ke dalam kuali. Setelah tembus punggawa lalu membasuh wajahnya dengan air dan berkumur di atas possi atau pusat kelibeseang. Air, serbuk bor, serpihan kayu pada saat ritual annatara dan ammosi ditampung ke dalam botol. Ini akan disimpan di dalam perahu yang akan digunakan sebagai minyak perahu. Minyak ini diyakini sebagai penolak bala ketika terjadi badai atau angin kencang. 

Ritual terakhir dilakukan di saat akan diadakan peluncuran kapal di laut, yaitu setelah dilakukannya upacara appasili dan ammosi. Upacara ini didahului dengan persiapan-persiapan yang meletakkan balok-balok di bawah lunasperahu yang akan berfungsi sebagai titian perahu pada saat didorong. Di bagian kiri dan kanan perahu dipasang balok-balok besar atau dalam Bahasa Konjodisebut kenkeng jangang.

Menurut Muhammad Masruri dan kawan-kawan dalam buku Pinisi: Perahu Khas Sulawesi, balok -balok ini berfungsi untuk menjaga agar perahu tidak miring pada saat didorong. Setelah dirasa siap maka upacara pun segera dilakukan. Untuk memudahkan peluncuran maka digunakan alat yang disebut takalyang dipasang di bagian kiri dan kanan perahu.[iii]

Hanya saja, menurut Basri, tradisi peluncuran perahu ini sendiri sudah mulai pergeseran dengan penggunaan alat katrol.

"Kalau hanya menggunakan tenaga manusia saja tanpa bantuan mesin maka prosesnya akan sangat lama, makanya kita sekarang sudah menggunakan katrol untuk menarik kapal," katanya.

Perahu Pinisi yang ada sekarang juga telah mengalami perubahan, tepatnya sejak tahun 1970 ketika mesin motor mulai ditempelkan di perahu Pinisi ini. Untuk sekarang ini, menurut Basri, mesin yang digunakan adalah mesin mobil. Karena harga mesin baru mahal maka biasanya yang digunakan adalah mesin mobil bekas yang dimodifikasi.

Pasak, sebagai penyambung antar sisi dan sambungan pun sudah jarang digunakan. Kebanyakan menggunakan baut besi.

"Sudah jarang yang tahu penggunaan pasak, makanya sudah pakai baut besi. Kita takut pakai pasak, sudah jarang yang tahu Teknik ini," kata Basri.

 

***

Kehidupan pembuat perahu Pinisi tidak selamanya seindah bayangan orang dan tak semegah perahu yang mereka ciptakan. Untuk perahu dalam ukuran besar mungkin saudagar atau punggawa bisa menikmati kehidupan sejahtera dari perahu yang diciptakannya, namun untuk PunggawaPanritaLopi seperti Basri, yang biasanya hanya membuat perahu ukuran menengah dan kecil, penghasilannya sekedar untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Pemesanan juga tak sering ada. Basri mengakui sudah setahun terakhir tak membuat perahu.

"Ini baru ada lagi pesanan, tapi belum dikerjakan, mungkin bulan depan baru bisa mulai," katanya sumringah. 

Lesunya pemesanan perahu antara lain karena sebagian nelayan kini sudah meninggalkan perahu dari kayu, beralih ke perahu berbahan fiber. Program pengadaan perahu dari pemerintah juga lebih banyak untuk perahu berbahan fiber. 

"Tahun lalu masih ada pesanan perahu kayu, tetapi sekarang sudah fiber semua. Saya tidak begitu paham cara pembuatan perahu dengan fiber. Pernah saya coba, tangan saya malah gatal-gatal. Biasanya, meskipun perahunya dikerjakan di sini namun pekerjanya didatangkan dari luar."

Tren penggunaan perahu fiber memang terjadi di kalangan nelayan. Perahu fiber dianggap lebih ringan dan tahan lama dan tak memerlukan perawatan yang banyak seperti pada perahu kayu. Usia perahu kayu memang lebih pendek, apalagi kalau jarang dibersihkan. Tidak hanya karena faktor lapuk karena air laut, tetapi karena serangan dutu air, sejenis rayap yang bisa merusak bagian-bagian luar perahu yang tak dibersihkan. 

Keuntungan dari perahu pesanan pemerintah biasanya tak banyak karena telah melalui banyak tangan sebelum sampai ke dirinya atau pembuat perahu lain. Bahkan bisa mencapai setengah dari harga perahu yang sebenarnya. Jika tak bersepakat dengan harga perahu yang ditawarkan maka proyek itu akan ditawarkan ke pembuat perahu yang lain. Perahu pesanan pemerintah juga biasanya memiliki spesifikasi atau model tersendiri sehingga para pembuat perahu tidak bisa berkreasi sesuai dengan pengetahuannya selama ini.

Keuntungan baru banyak ketika pemesannya adalah wisatawan dari luar negeri, yang  biasa  berasal dari Inggris, Amerika Serikat dan Perancis. Mereka rela membayar lebih mahal dengan kualitas yang lebih baik.

"Kalau pesanan bule-bule itu biasanya kita bisa untung banyak karena pesanan ukuran besar dan tidak begitu peduli dengan harga. Cuma saya belum pernah membuat perahu untuk mereka. Paling saya bikin perahu untuk ukuran sedang dan kecil saja."

Harga sebuah perahu sendiri bermacam-macam sesuai ukuran dan pada kesepakatan. Bisa dalam bentuk komplit hingga tahap pengecatan. Kadang tukang hanya menyiapkan kayu, sementara baut dan peralatan dan kelengkapan lainnya disiapkan oleh pemesan. Untuk mesin biasanya tidak termasuk dalam kesepakatan pekerjaan.

Sebuah perahu Pinisi ukuran besar bisa seharga Rp 700 juta Rp 2 miliar. Sementara untuk perahu-perahu kecil nilainya sekitar belasan atau puluhan juta.

***

Basri sudah menjalani profesi sebagai pembuat perahu Pinisi sejak 30 tahun lalu, ketika usianya masih sangat belia. Awalnya ia ikut magang pada pamannya, setelah mampu membuat perahu ia pun membuat usaha sendiri.

"Dulu saya sempat merantau, tetapi kemudian ada yang mengajak kerja sama bikin usaha perahu, jadi saya pulang kembali ke sini bikin usaha sendiri." 

Ada sebuah tradisi tersendiri bagi pembuat perahu Pinisi terkait jenjang pekerjaan. Seorang yang baru mau belajar biasanya akan memulai kariernya sebagai tukang masak (dapur). Tugasnya menyiapkan semua kebutuhan konsumsi pekerja sambil sesekali bertanya atau memperhatikan detail-detail pekerjaan. Setelah itu ia akan naik jenjang sebagai tukang bor, sebelum akhirnya menjadi tukang. 

"Cuma sekarang memang tidak semua seperti itu lagi. Ada yang bisa langsung jadi tukang, yang penting dianggap sudah mampu."

Pengetahuan Basri adalah hasil pembelajaran bertahun-tahun dari sebuah tradisi yang diwariskan secara turun temurun. Misalnya dalam hal pembuatan perahu itu sendiri ternyata memiliki urutan pengerjaan tersendiri. Dimulai dari tulang tengah yang disebut lunas,sebelum akhirnya ke bagian perahu yang lain. 

Dalam pembuatan perahu ini selain harus disertai dengan pelaksanaan ritual-ritual tertentu, juga terdapat pamali-pamali yang tak boleh dilanggar selama proses pembuatan perahu ini berlangsung.

Tantangan pembuat perahu tidak hanya pada lesunya pemesanan dan keterbatasan bahan baku kayu, tetapi juga pada sumber daya manusia pelanjut pembuat perahu sekarang.

Menurut Basri, sebagian besar generasi muda di Tana Beru sekarang lebih banyak memilih merantau atau sekolah di luar kota dibanding menjadi pembuat perahu. 

"Anak saya tidak mau menjadi pembuat perahu. Ia mau sekolah pelayaran di Makassar. Sekarang ikut di kapalnya Haji Kalla. Sebagian anak-anak sini kalau tamat sekolah juga lebih memilih sekolah pelayaran. Mungkin generasi saya sekarang menjadi generasi terakhir pembuat perahu di Tana Beru ini," katanya. 

Basri mengakui tak bisa berbuat banyak dengan pilihan anaknya karena tuntutan kehidupan yang lebih baik. Apalagi dari tahun ke tahun produktivitas perahu juga mulai menurun.

"Tidak bisa dipaksa juga karena memang tak ada minat mereka untuk membuat perahu. Saya lihat juga di teman-teman lain kondisinya sama."***

     
Catatan belakang:

[i] Bahasa Konjo adalah salah satu Bahasa di Sulawesi Selatan, yang sebagian besar penuturnya mendiami bagian selatan Sulsel. Mereka terdiri atas Konjo pesisir dan pegunungan. Sebuah versi mengatakan asal kata Konjo adalah merujuk pada kata tunjuk 'Itu'. Sebagian besar kosa kata dalam bahasa Konjo ini memiliki kemiripan dengan Bahasa Makassar.

[ii] Muhammad Arief Saenong. Pinisi: Panduan Teknologi dan Budaya. Penerbit Ombak, Yogyakarta, 2013. 

[iii] Muhammad Masruri, Dkk. Pinisi: Perahu Khas Sulawesi Selatan. Bagian Proyek Pembinaan Sulawesi Selatan tahun 1994/1995.

   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun