Asal Kata Pinisi
Lalu, kenapa perahu ini dinamakan perahu Pinisi? Terdapat sejumlah versi sejarah dari mana asal kata Pinisi ini berada.
Usman Pelly (1975) dalam bukunya 'Ara dengan Perahu Bugisnya' menduga asal kata Pinisi adalah dari kata Venecia, sebuah kota pelabuhan di Italia yang sangat terkenal di zamannya. Sumber lain menyebutkan bahwa yang disebut Pinisi adalah model layar, yang terdiri dari tujuh helai layar. Disebutkan juga bahwa Pinisi sebagai hasil modifikasi dari model layar perahu Eropa. Kalau teori ini disepakati maka penamaan kata Pinisi bisa saja berarti sebuah upaya pengabadian nama Venecia. Dari kata Venecia ini kemudian mengalami proses fonemik menurut dialek Bahasa Konjo sehingga pengucapannya menjadi Pinisi.
Nasaruddin Koro dalam bukunya berjudul Ayam Jantan Tanah Daeng(2006) sebagaimana dikutip oleh Arief, juga menjelaskan versi lain dari mana kata Pinisi ini berasal. Konon nama Pinisi diberikan oleh Raja Tallo VII, Manyigarang Daeng Makkilo kepada perahunya. Berasal dari kata picuru yang berarti contoh yang baik dan binisi yang berasal dari nama sejenis ikan kecil yang lincah dan tegar di permukaan air, yang tidak terpengaruh arus dan gelombang.
"Raja Tallo memberikan nama perahunya dengan menggabung kata picuru dan binisi sehingga menjadi Pinisi," ungkap Nasaruddin, sebagaimana dikutip oleh Arief.Â
Sumber lain berpendapat bahwa nama Pinisi berasal dari kata panisi,yang dalam bahasa Bugis berarti sisip (mappanisi = menyisip). Mappanisi bisa diartikan menyumbat semua persambungan papan, dinding, dan lantai perahu dengan bahan tertentu agar tidak kemasukan air. Lopidipanisi' artinya perahu yang disisip. Diduga dari kata panisi mengalami proses fonemik sehingga menjadi pinisi.
Sebagaimana pada umumnya masyarakat nelayan di Sulsel di mana segala proses pembuatan dan pembangunan sesuatu harus melibatkan upacara ritual tertentu, maka dalam pembuatan perahu Pinisi pun memiliki ritual tersebut.Â
Menurut Basri, proses pembuatan sebuah kapal dimulai dengan terlebih dahulu melakukan ritual yang disebut annatara. Annatara sendiri berarti memotong, yaitu memotong atau meratakan ujung lunas untuk disambung dengan kedua penyambung.Â
Ritual ini tidak dilakukan begitu saja, namun harus mencari hari baik dengan menggunakan penanggalan Islam. Kelengkapan upacara ini antara lain kain putih 1 setengah meter, ayam 1 ekor, dua sisir pisang panjang dan dupa. Pemilik perahu akan jongkok di ujung kiri kalebiseang yang berhadapan dengan punggawa. Para sawi akan berdiri di belakang pemilik perahu.
Pada saat upacara dimulai kain putih akan dinaikkan di kepala punggawa, kemudian ia akan berdialog dengan pemilik perahu. Kemenyan pun dibakar. Pahat yang dipegang punggawa diasapi. Punggawa selanjutnya akan memasang pahat pada ujung kalebiseang yang akan dipotong sambil membaca mantra tertentu.Â
Setelah mantra dibacakan, pahat dipaku beberapa kali menandai ujung kalebiseang yang akan dipotong. Serpihan kayu bekas pahatan dimasukkan ke mulut punggawa. Ujung kalebiseang yang telah ditandai dengan pahat dan dipotong dengan gergaji. Pekerjaan selanjutnya ditangani oleh punggawa dibantu beberapa sawi.