"Entah, ya. Tiap kali aku melihat wajahnya, ingin banget mencabik-cabiknya." kataku pada Lesti.
"Sadis kamu, Rin. Memangnya kenapa? Ada yang salah pada dia? Enggak, kan?"
"Nggak tahu, sebel aja."
"Eh, jangan begitu. Entar kamu suka loh sama dia." goda Lesti sambil tertawa terbahak-bahak.
"Huh, enggak lah. Memangnya aku cewek apaan?"
"Ya, mana aku tahu?" Lesti mengangkat bahunya. Lalu masih mentertawakanku. Huh!
Salah? Jika aku membencinya. Itu juga gara-gara dia. Siapa suruh menyerobot antrean. Tipe orang yang paling aku benci. Padahal, boleh dibilang dia itu keren. Di atas rata-rata. Tapi enggak banget pakai menyerobot antrean. Sok kecakepan lagi. Gerutuku waktu itu.
Dan. Aku melihat wajahnya kembali. O, tidak. Bukan karena antrean seperti kemarin. Tetapi aku melihatnya sebagai kakak tingkat. Kok aku baru lihat sekarang? Memangnya dia kemana selama ini? Aduh, kenapa juga dia ternyata asisten dosen yang membimbing laporan tugasku?
"Nggak ada orang lain, apa?" keluhku dalam hati sambil manyun.
Dan aku harus berhadapan dengannya hampir tiap hari, jika ingin mendapat nilai yang bagus. Aku menggaruk-garuk kepala yang tak gatal. Nasib!
"Nama?"
"Rinta, kak."
"Ini punyamu?" tanyanya sambil mengacungkan kertas satu bendel, laporan atas namaku. Aku mengangguk.
"Kamu boleh berbangga. Laporan ini aku acc. Lanjutkan ke hal berikutnya. Besok kamu datang lagi menghadap saya, ya." katanya membuatku lega.
Syukurlah. Aku tersenyum. Tidak seperti yang aku bayangkan. Meskipun wajahnya agak masam dan tak tersenyum, tetapi dia baik hati.
"Terimakasih, kak Taraka."
"Sama-sama." sahutnya pendek. Sempat aku melihat sudut matanya. Aneh.
***
Rumor yang beredar kak Taraka itu baru punya banyak masalah. Yang aku dengar, orang tuanya sakit. Jadi dia harus pontang-panting ke kampus, lalu ke rumah sakit untuk menjaga ortunya. Pantas aja aku melihat wajahnya sedikit pucat, bagai tak bernyawa. Aduh, aku menggelengkan kepala. Meralat pemikiranku tadi. Kalau tak bernyawa, mati dong. Maksudnya wajahnya pucat kelelahan. Nah ini baru benar.
Dan pantas saja dulu ia pernah menyerobot antrean. Ternyata itu alasannya? Mengapa juga aku harus marah? Ya sudah, aku maafkan saja dia. Toh, sekarang hampir tiap hari harus bertemu dengannya. Sehubungan dengan tugas laporanku.Â
Mendadak aku terbahak sendiri. "Lucu, kamu Rin. Dulu benci, sebel. Eh, sekarang enggak. Tapi, dia memang cakep sih," kataku pada diriku sendiri. Lalu aku menengok kanan kiri. Barangkali ada orang yang melihatku. Malu kan, melihatku tertawa sendirian?
***
"Rinta!"
Seseorang memanggilku. Lesti. Sahabatku sekaligus teman ribut.
"Kamu sudah dengar tentang kak Taraka?" Aku menggelengkan kepala.
"Apa?"
"Ternyata dia sudah punya pacar. Temannya SMA. Tapi beda jurusan. Kampus sini juga."
Tuh, kan. Lesti mulai bergosip. Itu yang bikin aku gemas padanya. Tetapi, mau tak mau harus mendengarkan gosip yang ia bawa dari kawan lain. Aku hanya memiliki Lesti sebagai kawan sejati.
Dan ini. Gosip yang ia bawa tentang kak Taraka. Sejak semalam, aku selalu memikirkannya. Mengapa sudut matanya aneh. Lalu sifat ketergesaannya, yang membuatku ikutan senewen. Eh, ujug-ujug dapat berita, ia sudah punya pacar. Lalu, hatiku harus di taruh kemana, coba? Taruh di ember?
Lesti mana tahu, jika ternyata aku... Ya. Aku mulai menyukai kak Taraka! Apakah tak boleh? Seruku dalam hati.
"Hei, Rinta! Mengapa kamu malah melamun? Hayo, jangan-jangan kamu suka ya sama kak Taraka?"
Duh, bagaimana menyembunyikan sesuatu dari Lesti? Dia sih ahli nujum. Tahu semuanya tentang aku.
Aku hanya terdiam. Malu pada Lesti. Dulu aku membencinya. Sekarang? Suka? Oh, no!
"Nggak papa." sahutku lesu. "Yuk, kita makan bakso saja. Aku traktir kamu, deh." kataku padanya. Lesti langsung berbinar. Aku tahu kelemahannya. Ia sangat suka sama bakso. Padahal ini hanya akalku saja, agar ia tak membombardir pertanyaan tentang perasaanku.
***
"Rinta, ini laporanmu?"
"Betul, kak."
"Ada sedikit typo. Coba baca sekali lagi."
Aku menerima uluran kertas yang diberikan padaku. Tadi malam, laporan itu aku kerjakan mati-matian. Telah aku baca berkali-kali. Perasaanku, tak ada yang typo. Tetapi, suatu typo bisa saja menghinggapi. Aku manusia biasa.
Kemudian kubaca laporan ini. Kata kak Taraka ada di halaman 3.
Dan, tiba-tiba wajahku pias. Inikah yang namanya typo? Saat aku membaca, tulisan itu jelas terbaca, tulisan tangannya.
"Rinta, aku ingin menjadi imammu kelak."
Apa-apaan? Ini serius?
Aku memandang tajam wajahnya. Ia seperti menunggu jawaban. Lalu aku harus menjawab apa? Gosip yang beredar ia sudah memiliki pacar. Mengapa menembakku? Mati dong, aku.
Serentak aku berbalik arah. Meninggalkannya. Ia memanggilku.
"Rinta! Bagaimana? Aku bikin kamu marah, ya?" tanyanya.
"Kakak sudah punya pacar, kan? Mengapa menembakku? Aku nggak pengin pacar kakak marah."
"Kata siapa aku punya pacar?"
"Lesti yang bilang."
"Lesti, ya? Sebentar, aku telpon dia."
Lalu kak Taraka menelpon dengan video call. Lesti ada di ujung sana. Aku mengernyitkan dahi. Mengapa juga ia mengenal dekat Lesti? Sejak kapan ia punya nomer teleponnya? Aduh, aku menjadi tidak mengerti.
Kak Taraka kemudian seperti tahu, apa yang ada di kepalaku. Ia menjawab, bahwa Lesti adalah adik sepupunya. Oh, pantas saja wajahnya ada miripnya.
"Nih, tanya sendiri padanya. Apakah aku sudah punya pacar apa belum." katanya. Ia memberikan ponselnya padaku. Lesti terbahak-bahak di ujung sana. Aku mengerti. Lesti ngerjain aku. Ternyata kak Taraka belum punya pacar. Niat iseng Lesti hanya ingin membuatku cemburu.
"Nah, kan?" katanya lega. "Jadi, bagaimana?" sambungnya lagi, menanti jawaban.
Hatiku masih sebal. Mana bisa menjawab secepat badai? Aku teringat perkataan Lesti dulu. "Makanya jangan benci, nanti berubah cinta, loh." Huh! Ingin sekali aku meninjunya.
"Hem, kak. Bagaimana jika halaman tiga di acc saja sama kak Taraka? Dikasih paraf, boleh?" pintaku halus.
"Jadi? Apa dong jawabnya?" tanyanya kepo.
"Sudah, di acc dulu saja sama kakak. Jawabnya besok, ya. Pukul 1 siang waktu makan di kantin." jawabku ringan.
Hem. Biarlah.Â
Biar ia memikirkannya semalaman dan tak bisa tidur. Itu impas dengan niat isengnya berkolaborasi dengan Lesti.
"Hai hai, tersenyum puaslah, kau Rinta!" kataku dalam hati. So, tersenyumlah aku. Puas!
Semarang, 12 Juli 2019.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H