Serentak aku berbalik arah. Meninggalkannya. Ia memanggilku.
"Rinta! Bagaimana? Aku bikin kamu marah, ya?" tanyanya.
"Kakak sudah punya pacar, kan? Mengapa menembakku? Aku nggak pengin pacar kakak marah."
"Kata siapa aku punya pacar?"
"Lesti yang bilang."
"Lesti, ya? Sebentar, aku telpon dia."
Lalu kak Taraka menelpon dengan video call. Lesti ada di ujung sana. Aku mengernyitkan dahi. Mengapa juga ia mengenal dekat Lesti? Sejak kapan ia punya nomer teleponnya? Aduh, aku menjadi tidak mengerti.
Kak Taraka kemudian seperti tahu, apa yang ada di kepalaku. Ia menjawab, bahwa Lesti adalah adik sepupunya. Oh, pantas saja wajahnya ada miripnya.
"Nih, tanya sendiri padanya. Apakah aku sudah punya pacar apa belum." katanya. Ia memberikan ponselnya padaku. Lesti terbahak-bahak di ujung sana. Aku mengerti. Lesti ngerjain aku. Ternyata kak Taraka belum punya pacar. Niat iseng Lesti hanya ingin membuatku cemburu.
"Nah, kan?" katanya lega. "Jadi, bagaimana?" sambungnya lagi, menanti jawaban.
Hatiku masih sebal. Mana bisa menjawab secepat badai? Aku teringat perkataan Lesti dulu. "Makanya jangan benci, nanti berubah cinta, loh." Huh! Ingin sekali aku meninjunya.