"Rinta, kak."
"Ini punyamu?" tanyanya sambil mengacungkan kertas satu bendel, laporan atas namaku. Aku mengangguk.
"Kamu boleh berbangga. Laporan ini aku acc. Lanjutkan ke hal berikutnya. Besok kamu datang lagi menghadap saya, ya." katanya membuatku lega.
Syukurlah. Aku tersenyum. Tidak seperti yang aku bayangkan. Meskipun wajahnya agak masam dan tak tersenyum, tetapi dia baik hati.
"Terimakasih, kak Taraka."
"Sama-sama." sahutnya pendek. Sempat aku melihat sudut matanya. Aneh.
***
Rumor yang beredar kak Taraka itu baru punya banyak masalah. Yang aku dengar, orang tuanya sakit. Jadi dia harus pontang-panting ke kampus, lalu ke rumah sakit untuk menjaga ortunya. Pantas aja aku melihat wajahnya sedikit pucat, bagai tak bernyawa. Aduh, aku menggelengkan kepala. Meralat pemikiranku tadi. Kalau tak bernyawa, mati dong. Maksudnya wajahnya pucat kelelahan. Nah ini baru benar.
Dan pantas saja dulu ia pernah menyerobot antrean. Ternyata itu alasannya? Mengapa juga aku harus marah? Ya sudah, aku maafkan saja dia. Toh, sekarang hampir tiap hari harus bertemu dengannya. Sehubungan dengan tugas laporanku.Â
Mendadak aku terbahak sendiri. "Lucu, kamu Rin. Dulu benci, sebel. Eh, sekarang enggak. Tapi, dia memang cakep sih," kataku pada diriku sendiri. Lalu aku menengok kanan kiri. Barangkali ada orang yang melihatku. Malu kan, melihatku tertawa sendirian?
***