Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tak Bisa Pindah ke Lain Hati, Katamu

15 Maret 2018   20:29 Diperbarui: 15 Maret 2018   22:05 1307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Pixabay.

Telah lama aku meninggalkan kamar ini. Entah berapa lama. Sejak aku memutuskan untuk pindah ke kota lain. Jauh dari rumah. Untuk menghindarimu.

Meski begitu, semua masih tampak sama. Tak ada yang berubah, kecuali kursi malas. Yang telah berpindah dari tempatnya. Kata ibu, rusak termakan usia. Memang kursi malas itu sudah ada sejak aku masih kanak-kanak. Menjadi kursi kesayanganku, hingga terlihat butut dan mulai rusak pinggir-pinggirnya.

Hem, aku menghela nafas dalam-dalam. Tempat ini masih rapi. Serapi sebelum aku meninggalkan tempat ini. Pernik-pernik kesukaanku juga tetap berada pada tempatnya. Ah, ibu selalu baik untukku.

Kemudian anganku melayang ke berapa tahun yang lalu. Saat itu, aku adalah gadis delapan belas tahun. Aku mengenalmu, di kantor jurusan kampus untuk mengurus sesuatu. Kamu kakak senior dan aku mahasiswa baru. Tentu saja aku belum mengerti segala sesuatu yang berhubungan dengan kampus baru. Terlihat seperti orang bengong. Kamu menyapaku.

"Hai, aku Izal, kamu mau mengurus KRS ya? Sini aku bantu. Kamu harusnya ke pak Slamet dulu bagian kemahasiswaan, baru kemudian ke dosen walimu. Dosen walimu siapa?" katamu seperti mengenal aku sudah lama. Sok akrab.

"Oya, dosenku pak Jatman. Dosen Ilmu Budaya Dasar." jawabku. Aku menatap curiga, jangan-jangan nanti meminta imbalan sesuatu padaku. Aku bermaksud mengurusnya sendiri dan menolak bantuannya.

"Hayo, pasti kamu curiga sama aku, ya? Nggak kok, aku beneran mau bantu kamu."

Duh, kamu seperti tahu apa yang ada dalam pikiran. Aku masih terbengong. Kamu melirik ke kertas dokumen yang aku bawa.

"O, namamu Selfie ya?"

"Eh, bukan, aku Savana." seruku sambil menggerakkan tangan tanda tidak.

"Iya, iya, aku tahu." Kamu tergelak senang, merasa menang karena mampu membuatku keki.

Aku tersenyum mengingatnya. Uuff.... tapi kejadian itu sudah lama. Aku menghela nafas kembali. Anganku kembali mengembara.

Dulu saat masuk kuliah, kebetulan ada mata kuliah yang sama. Meski kita beda angkatan, kita satu kelas. Tak ada tempat duduk lagi, selain tempat duduk di samping kamu. Sepertinya, teman-teman sengaja. Mereka kompak untuk menjodohkan diriku dengan dirimu. Dengan muka cemberut, aku terpaksa duduk di sampingmu. Lalu kamu berpura-pura cuek, sama sekali tak melirikku. Padahal aku tahu, kamu pasti tersenyum manis dalam hatimu.

Atau pada malam yang romantis, diteras rumah, kamu menyatakan cinta. Dan aku menerima cintamu. Indahnya malam itu, tak bisa aku lupakan.

Tapi, ah, sudahlah. Segera kuusir cepat pikiran masa lalu. Mengingatmu, sama seperti membuka lembaran usang yang tak ingin kubuka. Terlalu menyakitkan untuk diingat. Karena saat hampir menjelang lulus, kamu menghilang, tanpa suatu kabar sedikitpun. Kamu meninggalkanku. Aku patah hati.

"Come on Sava, please... you're fight! Aku bisa bertahan, meski itu tanpa kamu," seruku dalam hati.

Bila saja bapak dan ibu tak memanggilku untuk kembali ke rumah, aku sebenarnya malas untuk kembali ke kota ini. Bapak dan ibu sudah semakin tua. Tak ada yang menjaga, maka akulah yang harus menjaga mereka.

Di kota ini aku dilahirkan dan dibesarkan. Sebuah kota kecil, yang tentu saja aku cintai. Terasa nyaman bila aku berada di sini. Apalagi dekat dengan bapak dan ibu. Bukannya aku anak manja, meski aku anak tunggal. Aku memang merasa nyaman bila berada dekat dengan mereka, yang teramat sayang padaku. Beda sekali saat aku bekerja di kota lain kemarin itu. Pikiranku selalu cemas. Teringat bapak dan ibu.

"Sava, sudah makan belum? Ayo, makan dulu, temani bapak dan ibu. Lagian nanti makanan keburu dingin, nggak enak lagi disantapnya." Ada suara ibu sambil mengetok pintu kamarku. Membuyarkan lamunan.

"Iya ibu, tunggu sebentar, aku akan segera keluar." Sahutku dari dalam kamar.

Ketika kutemui bapak dan ibu di ruang makan, wajah mereka tampak serius, seperti ingin menyampaikan sesuatu.

"Sava, bagaimana pekerjaanmu di tempat yang baru? Kerasan, kan?"

"Alhamdulillah, semua lancar bu. Semua baik padaku," jawabku ringan. Hem, ada nasi goreng dan empal daging. Kesukaanku. Ibu memang selalu tahu apa makanan kesukaanku.

Tapi saat ini aku baru tak berselera. Pikiranku agak sedikit kacau, belum sempurna sepenuhnya. Seharian tadi, aku berada di kantor baru, kebetulan ada teman yang bisa bertukar tempat dengan kota yang dia inginkan, tempat kerjaku dulu. Resmilah hari ini aku pindah di kotaku sendiri. Rasanya aku masih capek berberes kantor yang baru.

"Sava, kenapa melamun? Ayo, kamu ini nggak berubah, selalu diuber-uber untuk makan." Aku menyerigai dan tersenyum.

"Sava, bapak dan ibu ini kan semakin tua, kami rasa ada yang kurang di rumah ini." kata ibu.

"Nah, menjurus kan? Modus ini. Selalu begitu. Pasti ujung-ujungnya masalah perjodohan," seruku dalam hati. Inilah yang selama ini aku hindari. Aku belum bisa melupakan Izal. Yang tiba-tiba saja menghilang.

Pada saat itu aku sempat limbung dan sedih. Sampai membuatku agak tak bersemangat. Untunglah aku mampu bertahan dan bisa melupakanmu, meski itu untuk sejenak. Tapi, aku belum bisa berpaling, karena aku merasa kamu masih menetap di hati.

"Begini, ibu punya teman sekolah jaman ibu masih muda dulu. Tante Heni. Kamu pernah bertemu dengan beliau kan? Seminggu yang lalu berkunjung kemari. Dia memiliki putra, barangkali nanti bisa aku kenalkan padamu. Cuma kemarin putranya nggak ikut."

"Ibu, kok sukanya begitu? Sava nggak suka dijodoh-jodohin."

"Kamu tahu Sava, ibu berteman lama dengan Tante Heni. Bersahabat, hingga suatu saat terbetik niat untuk saling menjodohkan anak kita masing-masing."

"Kok ibu tidak pernah bercerita padaku?"

"Yah, karena pada saat itu ibu pikir, kamu bisa mencari jodoh sendiri, kamu punya banyak teman. Eh, ternyata sampai saat ini, kamu belum juga memperkenalkan calon menantu pada ibu."

"Belum ada yang cocok, bu." jawabku pelan.

"Sava, dia dulu juga kuliah di kota ini lho, barangkali kamu mengenalnya. Fahrizal namanya."

Deg! Apakah dia Izal? Kamu? Fahrizal Pambudi? Kok kebetulan sekali? Apakah ini yang dinamakan jodoh? Ibu memang belum begitu mengenal Izal, karena aku mempunyai banyak teman. Antara aku dan Izal hanya bersikap teman biasa, meskipun berpacaran. "Apakah karena ini kamu menghilang? Karena dijodohkan? Dan kamu tahu sebelumnya? Curang! Kamu curang, Izal! " kataku dalam hati.

"Baik, bu, Sava akan mencobanya. Tapi tidak ada paksaan kan, jika aku nggak menyukainya?"

"Iya, ibu juga tidak memaksamu." Bapak berdehem, membuat aku dan ibu berpaling ke arah Bapak.

"Ayo, Sava, makan dulu, ini lho empal daging. Kamu suka kan? Pokoke mak nyus." Bapak nimbrung ikut berbicara, meniru gaya pak Bondan. Kami semua tersenyum.

Baiklah, aku makan dengan lahap. Ketika kami selesai bersantap malam, ibu menahanku untuk tidak segera masuk kamar.

"Sebentar Sava, ibu punya foto nak Fahrizal, ibu ambilkan, ya." 

Fahrizal Pambudi?

***  

Terasa de ja vu, ketika akhirnya aku bertemu denganmu. Kamu masih sama seperti dulu.

Bertemu di tempat yang dulu sering kita kunjungi. Pantai dengan pasir putihnya. Indah sekali pemandangannya. Bila aku di tempat ini, aku seperti berada di alam luas membentang. Dengan pemandangan langit membiru, sesekali terlihat burung putih melintas. Pemandangan akan semakin indah saat sunset. Matahari terbenam, melalui celah-celah awan cakrawala pantai. Lalu pelan-pelan menghilang. Langit menjingga.

Kamu dan aku tiba, saat masih sore. Langit masih terang. Lalu kita menuju pinggir pantai, duduk di hamparan pasir putih. Ada beberapa hewan ternak yang diumbar untuk mencari makan, di dekat pantai yang berumput.

Semenjak berangkat dari rumah tadi, aku terdiam. Sedangkan kamu tak berani menyapaku lebih dulu. Kamu tahu, aku sedang marah.

Pecah juga keheningan ini. Kamu berkata padaku.

"Sava, maafkan aku." katamu.

"Kenapa? Kenapa kau tak bilang dari dulu? Dan kenapa aku harus mengalami sakit dua tahun lamanya? Please, Izal."

"Tapi kamu fight kan?"

"Lalu, berapa lama kamu tahu kalau kamu dijodohkan denganku?"

"Sejak lama. Sebenarnya, aku ingin bicara padamu. Tapi, aku ingin mencoba menguji kesetiaanmu. Apakah kau setia padaku atau tidak. Dan ternyata aku benar, kamu setia. Makasih, sayang."

Aku cemberut. Gombal sekali dia. Entah berapa lama, aku terdiam.

Beberapa kali kamu mencoba membujukku, tapi tak mempan. Kamu pantang menyerah. Dan kamu tahu kelemahanku, aku tak akan pernah bisa marah padamu. Aku akan selalu luluh oleh cintamu.

Akhirnya.

"Sava yang manis, sebenarnya kamu fight? Atau tak bisa ke lain hati sih?" godanya. Aku pura-pura marah. Lalu menujumu. Kamu memelukku erat.

"Aku memang tak bisa ke lain hati." kataku.

Benar sekali bila kamu mengatakan itu. Aku bukan fight, tapi memang tak bisa pindah ke lain hati.

Menunggu dirimu, untuk segera kembali bertemu denganku.

Cinta memang aneh, ya. Bersembunyi, untuk kemudian muncul kembali, menemukan cinta sejatinya.

***

Semarang, 15 Maret 2018.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun