"Alhamdulillah, semua lancar bu. Semua baik padaku," jawabku ringan. Hem, ada nasi goreng dan empal daging. Kesukaanku. Ibu memang selalu tahu apa makanan kesukaanku.
Tapi saat ini aku baru tak berselera. Pikiranku agak sedikit kacau, belum sempurna sepenuhnya. Seharian tadi, aku berada di kantor baru, kebetulan ada teman yang bisa bertukar tempat dengan kota yang dia inginkan, tempat kerjaku dulu. Resmilah hari ini aku pindah di kotaku sendiri. Rasanya aku masih capek berberes kantor yang baru.
"Sava, kenapa melamun? Ayo, kamu ini nggak berubah, selalu diuber-uber untuk makan." Aku menyerigai dan tersenyum.
"Sava, bapak dan ibu ini kan semakin tua, kami rasa ada yang kurang di rumah ini." kata ibu.
"Nah, menjurus kan? Modus ini. Selalu begitu. Pasti ujung-ujungnya masalah perjodohan," seruku dalam hati. Inilah yang selama ini aku hindari. Aku belum bisa melupakan Izal. Yang tiba-tiba saja menghilang.
Pada saat itu aku sempat limbung dan sedih. Sampai membuatku agak tak bersemangat. Untunglah aku mampu bertahan dan bisa melupakanmu, meski itu untuk sejenak. Tapi, aku belum bisa berpaling, karena aku merasa kamu masih menetap di hati.
"Begini, ibu punya teman sekolah jaman ibu masih muda dulu. Tante Heni. Kamu pernah bertemu dengan beliau kan? Seminggu yang lalu berkunjung kemari. Dia memiliki putra, barangkali nanti bisa aku kenalkan padamu. Cuma kemarin putranya nggak ikut."
"Ibu, kok sukanya begitu? Sava nggak suka dijodoh-jodohin."
"Kamu tahu Sava, ibu berteman lama dengan Tante Heni. Bersahabat, hingga suatu saat terbetik niat untuk saling menjodohkan anak kita masing-masing."
"Kok ibu tidak pernah bercerita padaku?"
"Yah, karena pada saat itu ibu pikir, kamu bisa mencari jodoh sendiri, kamu punya banyak teman. Eh, ternyata sampai saat ini, kamu belum juga memperkenalkan calon menantu pada ibu."