Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

(Seperti) Arjuna dan Srikandi

20 Februari 2017   10:51 Diperbarui: 20 Februari 2017   11:09 2246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Ke-1)

"Kang, engkaulah Arjunaku, mengajarkanku memanah, saat aku telah mahir, aku akan memanah hatimu!"

"Dik, engkaulah Srikandiku, panahlah hatiku, lalu bawalah serpihannya, simpan ya, tunggu aku, aku akan selalu untukmu!"

Alunan musik syahdu yang mengiringi keduanya, menambah keromantisan pertemuan itu.

Siapa menduga, mereka terperangkap oleh panahnya asmara, cinta yang tak membelenggu, murni oleh kesucian kalbu. Cinta tak memaksa dan dipaksakan. Cinta hanya untuk cinta. (Seperti) Arjuna dan Srikandi.

"Tapi aku tak seindah yang kau kira, kakang! Aku hanyalah seorang wanita biasa saja, jika dibandingkan dengan ketampananmu. Aku, ah, mungkin orang akan mentertawakan keanehan ini. Seorang wanita tomboy, jauh dari kata cantik dan gemulai. Sedangkan kamu, memiliki grade tinggi. Tak matching! Sungguh njomplang, kang!"

"Duh, dinda, mengapa kau mengatakan itu? Tidakkah kau tahu, hatiku telah terpaut padamu bukan karena kecantikan parasmu. Kau memiliki hati yang cantik. Berhati lemah lembut. Bagai bidadari, percayalah padaku."

Betapa memerah pipi sang wanita, bagai Srikandi yang terpanah oleh sang Arjuna, melayang bagai tak menapak tanah.

"Tapi kakang....,"

"Sudahlah, dinda. Kau adalah laksana bintang kejora yang cemerlang!"

"Ah, kakang, jika aku bintang kejora, lalu kakang apa?"

"Aku adalah Arjuna, aku tak seperti siapapun, karena Arjuna hanya untuk Srikandi yang cantik,"

Loh lalu, bidadari dan bintang kejora tadi siapa? batin Srikandi. Tapi ah, biar saja, lanjutnya.

Srikandi tersenyum, sembari memandang wajah Arjuna dengan penuh cinta.

**

(Ke-2)

Aku membuka pesan WA. Ada pesan. Dari kamu.

"Kita bertemu, nanti sore jam setengah lima ya, di tempat seperti biasanya kita bertemu." Aku mengiyakan.

Sore itu, langit sedikit tertutup awan mendung. Tak apa, demi kamu, demi pertemuan itu, aku akan tetap datang. Aku ingin tahu, seberapa berubahnya dirimu, setelah beberapa lama tak bertemu. Kita bertemu, di Café.

"Kau masih sama, berapa lama tak bertemu?"

“Lima tahun?” jawabku, seperti menggantung pertanyaan.

“Ternyata telah lama, mengapa seperti baru kemarin? Kamu tambah cantik,” Kamu memujiku. Sedikit memerah pipiku. Seandainya itu terjadi lima tahun lalu, aku mungkin akan termehek-mehek oleh pujianmu. Kamu mengeluarkan ponsel yang ada di sakumu. Kemudian membuka aplikasi kamera.

“Bolehkah kita selfie dulu? Untuk kenangan.” katamu. Aku tak mampu menolak ajakanmu. Dengan menampakkan gigi rapi, lalu klik, klik.

“Kita masih serasi loh, Za. Mengapa tak berjodoh?” katamu sambil memandangi hasil selfie tadi.

Aku terdiam dan mengaduk secangkir coklat yang telah tersaji beberapa waktu lalu.

Kamu masih saja mengamati foto yang ada di ponsel.

“Hati-hati, segera saja dihapus. Nanti kekasihmu tahu, bakalan perang dunia.” kataku menggodamu.

“Tak akan, aku tak mau menghapusnya. Aku suka foto ini. Kekasihku tak akan tahu, aku akan menyimpannya rapat-rapat.”

Aku tergelak. Kamu masih sama seperti dulu. Suka berbasa-basi. Padahal aku tahu, sebentar lagi foto itu akan kamu hapus, setelah pertemuan ini berakhir. Aku yakin. Lelaki sepertimu, tak akan menyalahi janji, apalagi pada kekasihmu. Wajah tirusmu nampak kokoh. Itulah dulu yang menbuat aku jatuh hati padamu. Mungkinkah aku masih ada rasa padamu? Mungkin juga tidak. Ah, entahlah. Tapi nyatanya hari ini aku mau menemuimu. Di sini. Sekarang.  Aku hanya ingin tahu, bagaimana keadaanmu sekarang, setelah lama tak bertemu. Lalu aku mentertawai diri sendiri.

Saat itu, cinta pertamaku jatuh kepadamu. Meski aku tahu, lelaki sepertimu banyak yang menyukai karena ketampananmu. Hanya satu tahun, lalu tak ada kabar darimu. Berbagai jalan telah aku tempuh, untuk bisa mencarimu. Aku menemui jalan buntu dan akhirnya menyerah. Ternyata setelah lima tahun, aku bisa bertemu denganmu melalui media sosial. Bukan salahku.

“Seandainya kita berjodoh, anak kita, kalau cewek, pasti cantik. Seperti kamu. Kalau cowok, ganteng sepertiku.” Seketika tawamu meledak, mentertawakan kata-katamu sendiri barusan. Aku hanya tersenyum. Hem, mulai deh, kamu mengeluarkan jurus andalan. Merayuku.

“Iya saja, mana ada cewek ganteng?” balasku. Tawamu semakin menjadi. Kemudian berhenti.

“Lucu ya?” katamu sendu. Wajahmu berubah sendu, saat waktu kian melaju. Kita harus berpisah. Aku tak memiliki waktu banyak. Aku telah berjanji untuk tak berlama-lama.

“Boleh aku memelukmu, Za? Sekali saja?”

Ragu aku mengiyakan keinginanmu.

“Baiklah,” Akhirnya, aku mengangguk.

Kamu memelukku, sembari mengucapkan, “Terimakasih kamu mau menemuiku. Kamu baik, pasti berjodoh dengan orang baik pula, tak seperti aku.”

Entah mengapa, aku terharu atas kata-katanya.

Kamu mengeluarkan sesuatu dari tas tenteng yang kamu bawa. Sebuah kotak tipis, ukuran 20x25cm. Kemudian menyerahkannya padaku.

“Bukanya nanti saja,” pintamu. Aku mengangguk.

“Sampai ketemu kembali, Tiar! Selalulah jaga dirimu.” ucapku.

“Kamu juga, ya,”

“Iya,” jawabku singkat.

Lalu perpisahan untuk kedua kalinya terjadi. Lima tahun lalu dan sekarang. Bedanya, dulu tak ada kata berpisah, sekarang kamu mengucapkannya.

***

(Ke-3)

Gerimis mulai datang, angin semilir mendinginkan hati. Lampu jalan mulai menyala. Pukul lima lebih seperempat. Aku berjalan menuju mobil, yang terparkir di luar Café.

“Hai, sayang, yuk, kita pulang,”

“Gimana sayang, apa kabarnya dia?”

“Dia baik, rupanya ia hanya ingin memberikan kartu undangan. Ini! Dia akan menikah. Syukurlah, akhirnya ia menemukan tambatan hati.”

“Lalu, tambatan hati kamu siapa?”

“Tentu kamu, lah sayang! Kamulah arjunaku. Meski bukan yang pertama, tapi kamu yang terakhir.” rayuku.

Pengantin baru. Ya, aku baru saja menikah tiga bulan lalu. Bukan dengan Bakhtiar yang aku temui tadi. Tapi dengan Dimas, lelaki yang ada di sampingku sekarang. Dia adalah pelabuhan terakhirku. Lelaki yang menjadi kekasihku selama dua tahun terakhir ini, yang mampu menaklukkan hatiku, untuk mengiyakan lamarannya untuk menjadi istri baginya. Selamanya. Tentu saja aku berharap selamanya. Hingga ajal menjemput.

Aku sempat membaca kartu Undangan yang diberikan Bachtiar tadi. Tertera nama, Santi. Aku mengenalnya, dulu teman satu kampus, meski beda jurusan. Gadis lembut dan gemulai, tentu akan sangat cocok dengannya. Bukan sepertiku, gadis tomboy.

Semarang, 20 Februari 2017.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun