***
(Ke-3)
Gerimis mulai datang, angin semilir mendinginkan hati. Lampu jalan mulai menyala. Pukul lima lebih seperempat. Aku berjalan menuju mobil, yang terparkir di luar Café.
“Hai, sayang, yuk, kita pulang,”
“Gimana sayang, apa kabarnya dia?”
“Dia baik, rupanya ia hanya ingin memberikan kartu undangan. Ini! Dia akan menikah. Syukurlah, akhirnya ia menemukan tambatan hati.”
“Lalu, tambatan hati kamu siapa?”
“Tentu kamu, lah sayang! Kamulah arjunaku. Meski bukan yang pertama, tapi kamu yang terakhir.” rayuku.
Pengantin baru. Ya, aku baru saja menikah tiga bulan lalu. Bukan dengan Bakhtiar yang aku temui tadi. Tapi dengan Dimas, lelaki yang ada di sampingku sekarang. Dia adalah pelabuhan terakhirku. Lelaki yang menjadi kekasihku selama dua tahun terakhir ini, yang mampu menaklukkan hatiku, untuk mengiyakan lamarannya untuk menjadi istri baginya. Selamanya. Tentu saja aku berharap selamanya. Hingga ajal menjemput.
Aku sempat membaca kartu Undangan yang diberikan Bachtiar tadi. Tertera nama, Santi. Aku mengenalnya, dulu teman satu kampus, meski beda jurusan. Gadis lembut dan gemulai, tentu akan sangat cocok dengannya. Bukan sepertiku, gadis tomboy.
Semarang, 20 Februari 2017.