Pandu ternyata berani menembakku, dan bilang suka padaku. Sejak itu, dunia terasa Pink dan berbentuk serpihan hati, banyak sekali! Aku juga selalu memikirkan Pandu, hingga tak ada lagi laki-laki lain, selain Pandu. Itu namanya jatuh cinta, Sita! Kata kawanku Dinar. Oya? Jatuh cinta membuatku melupakan sejenak Dinar yang telah lama menjadi sahabatku. Hingga suatu ketika, ia protes, bahwa sekarang aku tak lagi mau pergi ke mall bersamanya. Aku tak bisa berbuat apapun, selain merayunya, agar Dinar tetap mau menjadi sahabatku, karena aku membutuhkannya.
***
Rindu. Jika rindu, obatnya bertemu, katamu. Memang kalau cinta harus ada rindu? Dan harus bertemu? Aku kira rindu datang tak sendirian. Mungkin. Rindu datang bersama cinta. Cinta itu kamu. Dan rindu itu aku. Cinta itu langit dan rindu itu bumi. Ada aku, ada kamu. Ada langit, ada bumi. Tapi jika langit selalu bersama bumi, tak demikian denganku dan kamu. Aku tak selalu bersamamu. Kita berjauhan. Dan aku rindu padamu. Duh, bingung ya?
Jujur, saat kamu mengatakan bahwa tak selalu bisa menemaniku, hatiku sangat sedih. Lalu ada salah paham datang bersamanya. Aku mengira, bahwa kamu tak lagi sayang padaku. Kamu mengira, jika aku tak mau mengertimu. Sungguh, aku hanya rindu, bila tak bersamamu.
Lalu putus! End! Kamu dan aku, end! Kita berpisah!
***
Benci. Aku membencimu. Tapi sekaligus menyayangimu. Itu tandanya kamu masih cinta, kata Dinar sahabatku. Baiklah, aku tak ingin kehilanganmu. Aku hanya ingin memilikimu. Aku hanya mencintaimu. Aku hanya merindukanmu. Bolehkah? Jika bisa, aku selalu setia padamu, selamanya.
“Sita, mengapa seperti ini?” wajah sendumu amat terasa.
“Pandu...., “ Hanya itu yang bisa aku katakan. Selanjutnya, suara sesegukan yang terdengar. Aku menangis!
“Cengeng...” kata Pandu.
“Kok kamu bilangnya begitu sih?” kataku, masih dengan nada sesegukan. Biarain! Aku memang sedih, mengapa tak boleh menangis?