Cemburu. Itu Tanda Cinta! Seperti halnya cinta, cemburu adalah sebuah perpaduan. Jika tak ada cemburu, maka itu namanya bukan cinta. Jika cemburu hilang, tanda cinta juga menghilang. Hem, siapa bilang? Tentu saja aku yang bilang!
Jika melihatmu berbincang dengannya, hatiku terasa mendidih. Ada perasaan tak suka, dan ingin memarahinya.
“Eh, kenapa sih dekat-dekat sama dia?”
“Siapa?”
“Kamu, dekat sama Sheila,”
“Ah, enggak,”
“Lalu apa dong kalau nggak dekat? Kamu selalu ngobrol sama dia?
“Yeee... kamu cemburu, ya?”
“Enggak...,”
“Iya....,”
“Enggak....,”
“Lalu kenapa kamu nanyanya begitu? Itu tandanya kamu cemburu....,”
Aku tersipu malu. Well, fine! Aku memang cemburu, kepadanya. Kepada Sheila, yang baru saja mengobrol denganmu. Tentu saja, itu karena Sheila amat cantik. Cantiknya, melebihi cantikku. Aku marah. Kemudian kamu tertawa melihat wajah marahku. Katamu, aku seperti anak kecil, anak SMA yang masih suka manja dan selalu cemburu. Tetapi, bukankah cemburu itu normal? Jika tak cemburu, itu artinya, aku tak cinta padamu. Jadi, maukah jika aku tak cinta padamu? Tak mau bukan? Heem....
***
Sayang. Adalah sebuah perasaan yang lembut dan takut kehilangan. Aku sayang padamu dan aku takut kehilanganmu. Seperti halnya cemburu, sayang adalah sebuah perpaduan yang bila dipisahkan akan menjadi mati dan sedih.
Entah mengapa, tiba-tiba sebuah rasa datang padaku. Aku tak memintanya, juga tak mengharapkannya. Saat bertemu denganmu untuk pertama kalinya, aku menjadi takut kehilanganmu. Aku juga ingin bertemu denganmu kembali, untuk keesokan harinya. Mungkin juga lusa hari dan seterusnya, aku menginginkan untuk bertemu denganmu. Apakah itu artinya kamu telah mencuri hatiku dan tak bilang padaku? O, iya, masalah curi mencuri hati, dari hari sejak kemarin dan kemarinnya, kamu selalu memandangku. Seolah mengatakan dan bertanya, hei, apakah kamu sudah ada yang memiliki? Aku ingin memilikimu!
Tetapi memang, kamu adalah makhluk pertama yang menarik hatiku, yang mampu meluluhkan hatiku. Hatiku meleleh. Eh, meluluh atau meleleh sih? Sama saja! Aku luluh dan leleh, oleh kamu! Kamu aneh! Kataku pada diriku sendiri. Aku jawab, biar saja, asal aku sayang padanya. Dan aku tertawa. Mungkin bahagia oleh kataku sendiri barusan. Padahal, ini masih dalam hatiku saja. Belum terungkap olehku. Aha!
***
Jatuh cinta. Katanya, jatuh cinta itu berjuta rasanya. Berbagai macam rasa berbaur. Yang jelas, jatuh cinta ini membuatku selalu memikirkanmu. Perasaan gila juga ada. Bagaimana bisa gila? Ya, aku tergila-gila padamu. Semua hal yang menyangkut kamu, membuat mataku selalu berdenting, Pink! Jatuh cinta itu, sebuah perpaduan. Jika tak ada kamu, aku serasa nelangsa. Aku dan kamu, mempadu.
“Hai, siapa nama kamu?”
“Sita. Kamu?”
“Pandu. Nah, Sita, boleh aku bicara sesuatu?”
“Bicara apa?”
“Eeemmm.. Sita, kamu ternyata baik.” Loh? Kenapa Cuma bilang baik? Batinku.
“Modus ah! Aku tahu maksudmu, Pandu.”
“Modus apa? Aku nggak ngerti deh,”
“Coba, bilang sekali lagi ke aku....,”
“Bilang apa?”
“Duh,” Aku cemberut.
“Okey, aku akan bilang, aku suka kamu!” Nah, begitu dong....
“Baiklah, jika kamu berani,”
“Memang kenapa?”
“Ayahku galak, Pandu!” Lalu terdengar suara tawa berdua, mempadu seperti koor sebuah lagu, amat serasi.
Pandu ternyata berani menembakku, dan bilang suka padaku. Sejak itu, dunia terasa Pink dan berbentuk serpihan hati, banyak sekali! Aku juga selalu memikirkan Pandu, hingga tak ada lagi laki-laki lain, selain Pandu. Itu namanya jatuh cinta, Sita! Kata kawanku Dinar. Oya? Jatuh cinta membuatku melupakan sejenak Dinar yang telah lama menjadi sahabatku. Hingga suatu ketika, ia protes, bahwa sekarang aku tak lagi mau pergi ke mall bersamanya. Aku tak bisa berbuat apapun, selain merayunya, agar Dinar tetap mau menjadi sahabatku, karena aku membutuhkannya.
***
Rindu. Jika rindu, obatnya bertemu, katamu. Memang kalau cinta harus ada rindu? Dan harus bertemu? Aku kira rindu datang tak sendirian. Mungkin. Rindu datang bersama cinta. Cinta itu kamu. Dan rindu itu aku. Cinta itu langit dan rindu itu bumi. Ada aku, ada kamu. Ada langit, ada bumi. Tapi jika langit selalu bersama bumi, tak demikian denganku dan kamu. Aku tak selalu bersamamu. Kita berjauhan. Dan aku rindu padamu. Duh, bingung ya?
Jujur, saat kamu mengatakan bahwa tak selalu bisa menemaniku, hatiku sangat sedih. Lalu ada salah paham datang bersamanya. Aku mengira, bahwa kamu tak lagi sayang padaku. Kamu mengira, jika aku tak mau mengertimu. Sungguh, aku hanya rindu, bila tak bersamamu.
Lalu putus! End! Kamu dan aku, end! Kita berpisah!
***
Benci. Aku membencimu. Tapi sekaligus menyayangimu. Itu tandanya kamu masih cinta, kata Dinar sahabatku. Baiklah, aku tak ingin kehilanganmu. Aku hanya ingin memilikimu. Aku hanya mencintaimu. Aku hanya merindukanmu. Bolehkah? Jika bisa, aku selalu setia padamu, selamanya.
“Sita, mengapa seperti ini?” wajah sendumu amat terasa.
“Pandu...., “ Hanya itu yang bisa aku katakan. Selanjutnya, suara sesegukan yang terdengar. Aku menangis!
“Cengeng...” kata Pandu.
“Kok kamu bilangnya begitu sih?” kataku, masih dengan nada sesegukan. Biarain! Aku memang sedih, mengapa tak boleh menangis?
“Iya, kamu cengeng. Begitu saja menangis,”
“Trus, aku harus apa? Seneng? Bahagia?”
Hening.
Sepi.
Kamu dan aku diam. Suara angin berisik, tapi hening suara kata.
Tiba-tiba Pandu berkata,”Would you be mine?” Aku tersentak, aku kira kamu akan mengatakan, kita berpisah saja! Tapi kamu memintaku untuk selalu bersama. Sayup-sayup terdengar lagu Rizky, Kesempurnaan Cinta, kau dan aku tercipta oleh waktu, hanya untuk saling mencintai, mungkin kita ditakdirkan bersama, merajut kasih, menjalin cinta. Berada dipelukanmu, mengajarkanku, apa artinya kenyamanan, kesempurnaan cintaaa..... suara Pandu menyanyi.
Eh, Pandu ternyata romantis! Hahahaha... aku tersenyum, bahagia tentunya.
***
Semarang, 30 Mei 2016.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H