Mohon tunggu...
Noer Wahid
Noer Wahid Mohon Tunggu... Penulis lepas di usia senja - Wakil Ketua Persatuan Perintis Kemerdekaan Indonesia Cabang Sumut - Ketua Lembaga Pusaka Bangsa -

Seorang sepuh yang menikmati usia senja dengan aksara. E-mail ; nurwahid1940@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ketika Itu "Hanya Ada Kemauan Melawan"

10 Januari 2018   18:13 Diperbarui: 10 Januari 2018   19:09 981
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi aksi massa (katakota.com)

Orasi pun dilanjutkan lagi, berganti-ganti mereka berpidato. Pada umumnya pidato mereka itu mengutuk pimpinan-pimpinan partai yang ingin mengadakan Kongres di Medan. Suasana semakin panas dengan semakin tingginya hari dan saya melihat sepertinya situasi pada waktu itu dipenuhi dengan perilaku yang aneh-aneh dari para pengunjuk rasa.

Diantara mereka itu ada yang jalan kesana kemari sambil merepet-merepet entah apa yang diomongkannya tak jelas. Ada pula yang berteriak-teriak dengan ucapan yang sarkastis, terdengar dari mulutnya kata-kata yang tak sedap didengar. Selain itu ada juga yang menari-nari seperti orang mabuk.

Saya melihat banyak diantara mereka yang stress karena kebencian mereka pada pemimpin-pemimpin partai yang ingin mengadakan Kongres di Medan itu. Melihat panorama seperti itu saya jadi menangis karena tidak tahan melihat mereka yang terpukul batinnya oleh ulah Fatimah Ahmad cs. demi kepentingan Soeharto.

Untunglah suasana itu tidak berjalan lama karena pada saat tengah hari datanglah rombongan membawa konsumsi. Saya pun bersyukur juga sebab, sejak berangkat dari rumah saya belum makan sedikitpun karena tidak ada nasi yang mau dimakan.

Puncak tragedi unjuk rasa pada tanggal 6 Juni 1996 itu setelah semua pengunjuk rasa selesai makan. Tiba-tiba saja Jln. Raden Saleh yang ada di depan Kantor PDI Pro Kongres, tempat lokasi unjuk rasa, mendadak sepi dari arus lalu lintas. Tak ada satu pun kenderaan yang lewat.

Kawan-kawan saya menduga pastilah datang pasukan aparat keamanan ABRI dan Polisi untuk menangkap kami semua pengunjuk rasa. Bapak Mayor (Psn) RM Iyat siap akan menghadapi aparat keamanan jika pengunjuk rasa semuanya ditangkap. Dalam hati saya, biarlah ABRI menghadapi ABRI.

Kalau pribadi saya, selaku pemimpin unjuk rasa, tidak sampai menduga demikian. Pasti yang bakal datang itu Pangdam I /Bukit Barisan(BB) beserta rombongannya karena dugaan mereka meleset. Tadinya mereka menduga unjuk rasa bakal gagal karena Penguasa berhasil menggagalkan tokoh-tokoh partai yang tadinya sudah dipersiapkan untuk memimpin unjuk rasa.

Pangdam I/BB penasaran, mengapa unjuk rasa bisa juga berjalan lalu, siapa yang memimpinnya. Lewat intel Kodam yang berkeliaran disekitar lokasi tempat unjuk rasa tersebut Pangdam I/BB mendapat informasi bahwa sayalah yang memimpin unjuk rasa itu. Berarti nama saya diluar jangkauan pantauan mereka.

Memang, tak lama kemudian terdengarlah raungan sirened ari arah barat Jl. Raden Saleh. Saya dan kawan-kawan sudah siap menunggu kedatangan mereka.

Setelah iring-iringan mobil masuk dan berhenti di depan tempat kami berunjuk rasa maka disitulah terlihat siapa saja yang keluar dari mobil-mobil mereka. Yang paling di depan sekali berjalan adalah Mayjen. Sedaryanto, Pangdam I/BB lalu, diikuti pula oleh Kapolda Sumut, Kapolresta, Dandim, dan juga Pejabat-Pejabat Sipil lainnya yang tidak saya kenal.

Begitu sampai ditengah-tengah para pengunjuk rasa lalu, Mayjen. Sedaryanto, Pangdam I/BB menanyakan dengan garangnya : "Mana yang Noerwahid itu ? Mana yang Noerwahid itu ?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun