Disamping itu saya juga menjadi anggota PDI dan jabatan saya pada waktu itu hanyalah Bankorcam (pembantu Ketua) dari Komca PDI Kec. Sunggal, Kabupaten Deli Serdang. DPC PDI Deli Serdang berkedudukan di Lubuk Pakam, tempat saya dilahirkan (2 Mei 1940, bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional).
Tadinya saya pribadi tidak ada berkeinginan memasuki kedua organisasi itu tetapi, dikarenakan desakan hidup terpaksa juga saya mencari sandaran agar tidak terlalu parah sekali menjalani hidup ini. Itulah sebab awal mulanya saya masuk kedua organisasi tersebut sekalipun saya sadari apa resikonya.
Saya sendiri baru mengetahui kalau saya ditunjuk sebagai koordinator lapangan setelah ada utusan yang datang menjumpai saya. Kami bertemu pada jam 22.30 malam dipinggir Jalan Lintas Sumatera (Jalinsum) Medan - Binjai KM. 12,03 tidak jauh dari rumahnya Bapak Mayor (Psn) R.M. Iyat yang juga anggota GRM.
Pada waktu itu saya sedang berjalan kaki dari rumah Korcam PDI Sunggal hendak pulang ke rumah saya di Desa Pujimulio. Ketika sedang jalan kaki itulah tiba-tiba saja sebuah mobil Toyota berhenti disamping saya. Mungkin ada yang mau tanya alamat, pikir hati saya.
Setelah saya tahu siapa orang yang ada di dalam mobil dan apa maksudnya lalu, saya ajak Sekretaris DPD GRM Sumut itu ke rumah Bapak Mayor (Psn) R.M. Iyat untuk merundingkan lebih detail lagi rencana unjuk rasa besok hari itu. Untungnya rumah Bapak R.M. Iyat pada saat itu belum tutup.
Pada malam itu juga dibicarakan tentang rencana unjuk rasa tersebut antara saya, Sekretaris DPD GRM Sumut dan Bapak R.M. Iyat. Disamping massa GRM juga akan hadir massa PDI dari Kota Medan, Deli Serdang, Binjai, Langkat, Belawan, Tanah Karo, dan Simalungun.
Melihat itu hati saya bergidik juga sebab, massa yang akan saya pimpin cukup besar. Tempat dimana akan dilaksanakan unjuk rasa itu didepan Kantor DPD PDI yang pro Kongres, Jln. Raden Saleh, yang 700 meter jaraknya dari Stasiun Kereta Api dan 300 meter jaraknya dari Lapangan Merdeka.
Setelah tiba hari deadline unjuk rasa tersebut, tepat pada tanggal 6 Juni 1996 itu, sesudah sembahyang Shubuh, sayapun segera berangkat ke tempat unjuk rasa mendahului massa agar nanti massa tidak kecarian siapa dan dimana korlapnya.
Akan tetapi sebelum berangkat isteri saya (almh.) menanyakan bagaimana makan anak-anak hari itu karena beras untuk ditanak sudah habis. Lalu, saya berpesan kepadanya untuk mengutang beras dahulu ke warung /kedai. Dia menggelengkan kepalanya mengatakan tak mungkin karena hutang di warung sudah terlalu banyak dan untuk menambah lagi mungkin tidak akan diberi.
Saya pun diam sejenak dan untuk membujuk hatinya saya minta kepadanya agar bersabar menantikan saya pulang dari unjuk rasa. Mukanya sedikit agak kusam, dan saya sendiri sudah dapat menebak bahwa seharian itu pasti anak-anak tidak akan makan.
Dengan rasa berat hati terpaksa juga saya meninggalkan rumah karena yang saya emban ini adalah amanah. Setiba di tempat saya lewati saja lokasi tempat unjuk rasa karena titik kumpul massa ada di Lapangan Merdeka. Duduklah saya dibawah sebuah pohon kayu besar yang ada di Lapangan Merdeka menunggu datangnya massa dari berbagai penjuru.