Kalau tak melawan berarti seluruh massa PDIdiseluruh Sumatera Utara dianggap setuju diadakannya Kongres PDI di Kota Medan. Begitu logika politiknya maka itu perlu melakukan perlawanan untuk membuktikan kepada dunia luar bahwa massa PDI seluruh Sumatera Utara tidak setuju dengan diadakannya Kongres PDI itu.
Massa PDI Pro Munas/Pro Mega akan merencanakan unjuk rasa di Kota Medan pada tanggal 6 Juni 1996, bertepatan dengan hari lahirnya Bung Karno. Namun, yang menjadi persoalan pokok dalam unjuk rasa tersebut siapa yang akan ditunjuk menjadi koordinator lapangan(korlap).
Persoalan itu menjadi serius karena salah seorang petinggi PDI Pro Munas/Pro Mega tingkat Dewan Daerah sudah mendapat ancaman dari pihak Penguasa dan aparat keamanan. Jika turun memimpin unjuk rasa tidak ditanggung keselamatan dirinya.
Persoalan berikut, kalaupun diadakan unjuk rasa lalu siapa massa PDI yang siap untuk menjadi relawannya. Pada waktu itu banyak dari massa PDI yang merasa enggan berpartisipasi dalam unjuk rasa tersebut. Kebanyakan mereka itu merasa takut kalau nanti berhadapan dengan aparat keamanan.
Kita bisa maklum dengan konduite massa PDI seperti itu sebab, disaat itu banyak terdapat kader-kader salon dikalangan PDI itu sendiri. Bagi kader-kader demikian biasanya tidak suka adanya unjuk rasa -- unjuk rasa dan nyalinya pun hampir tidak ada kalau sudah berhadapan dengan aparat atau Penguasa.
Dengan adanya dua persoalan tersebut lalu, kubu PDI Pro Munas/Pro Mega DPD Sumatera Utara terpaksa meminta bantuan massa dan korlap kepada Gerakan Rakyat Marhaen (GRM), suatu organisasi massa (ormas) yang didirikan  di tahun 1981 oleh Mayor (pensiunan/Psn) Djamin Ginting, mantan anggota DPR RI.
Permintaannya itu dipenuhi padahal, massa GRM tidaklah sebanyak massa PDI. Akan tetapi dikalangan GRM sendiri timbul masalah, Ketua DPD GRM Sumatera Utara, juga mendapat intimidasi dan ancaman. Jika berani memimpin unjuk rasa PDI kontan akan diambil dan segera diamankan oleh yang berwajib.
Dengan adanya intimidasi dan ancaman seperti itu pihak Penguasa beranggapan bahwa mereka telah berhasil menggagalkan unjuk rasa yang akan direncanakan pada tanggal yang sudah ditentukan.
Lalu, pada malam tanggal 6 Juni 1996 tersebut PDI dan GRM berunding mencari siapa yang bisa dan sanggup memimpin unjuk rasa besok harinya itu. Pikir punya pikir akhirnya mereka mengambil keputusan menunjuk diri saya pribadi, penulis artikel ini, memimpin unjuk rasa besok.
Pada awalnya saya sendiri tidak tahu keputusan tersebut karena saya sendiri pada waktu itu tidak hadir bersama mereka.
Memang, disini saya sendiri terpaksa mengungkapkan identitas saya sehubungan dengan ditunjuknya pribadi saya sebagai koordinator lapangan (korlap) unjuk rasa. Saya pribadi pada waktu itu memang anggota GRM dan kebetulan jabatan saya di organisasi itu sebagai Wakil Ketua DPD GRM Sumatera Utara.