Mata Yuki berubah menjadi biru. Ia menatap tajam Vilda yang juga menatapnya dingin. Jika dibandingkan dengan dirinya Vilda terlihat kejam sekarang.Â
"Vilda lo kejam juga, ya? Padahal dulu lo ramah sama baik. Sekarang lo jadi suka sinis sama gue," sindir Yuki secara tidak langsung mencibir perbuatan sang ratu.
"Yuki tidak baik bicara sama teman seperti itu."
"Bun … dia temen yang Yuki ceritain. Apa boleh Vilda tinggal sama kita, Bun?" ucap Yuki yang terdengar lebih lembut dari sebelumnya.Â
Vilda hanya mendesis sepertinya Yuki memang mencari mati. Jadi wanita itu tinggal dengan para manusia pantas saja bau pengkhianat tercium jelas.
"Vilda tinggal sama Bunda, yuk. Bareng sama Yuki."
Rasanya amarahnya cukup bergejolak. Apalagi saat tangan musuh yang sudah membuatnya tertidur lama menyentuh dirinya.
"Biar Yuki aja, Bun. Dia itu orangnya suka gitu sama orang baru," sela Yuki saat sang bunda ingin merangkul Vilda. Bisa-bisa bundanya akan menjadi abu dapat ratunya itu.
Yuki membawa Vilda ke dalam kamarnya. Ia bersedekap dada dengan menghela napas.
"Ratu lupakan masa lalu. Mereka tidak salah kepada kita. Orang-orang yang membuat klan kita musnah sudah mati," celetuk Yuki dengan tersenyum tipis.Â
Barang-barang di dalam kamar seketika melayang lalu terhempas begitu saja. Yuki hanya bisa pasrah saat bukunya berantakan.Â