Bayu memperkenalkan bapak Ageng sebagai Kepala Desa dan pembina kami selama melakukan KKN di Desa Sriwiti. Lantas, kami berjabat tangan satu persatu memperkenalkan diri sembari masuk ke dalam permukiman.
Sepanjang jalan masuk permukiman, kekagumanku dan keanehan bercampur jadi satu. Desa adat atau bisa di bilang desa budaya yang luar biasa, tak ada lampu hanya obor sebagai cahaya hidup di malam hari. Bangunan gedhek sebagai dinding dan jerami sebagai atap membuatku aneh dengan timbul sebuah pertanyaan pilihan “Apa bantuan pemerintah tidak ada atau memang kebijakan desa yang menjunjung adat istiadat?”.
Bagiku, pertanyaan masalah itu menjadi sasaran untuk project KKNku disini. Masalah yang selalu membuatku kritis dalam berfikir namun rendah dalam bernaluri hati terutama untuk cinta.
“Ini rumah tempat tinggal kalian semua selama di sini” ucap Pak Ageng.
Kami semua sudah sampai depan sebuah bangunan panggung berdindingkan gedhek yang akan menjadi tempat tinggal kami selama di sini.
Tak sabar untuk masuk, melihat ke dalam rumah. Takjub yang ku rasa, rumah berlantaikan tanah dengan ruang tamu luas yang memiliki hanya dua kamar saja di sebelah kiri dan kanan.
“Kalian semua jadi satu tidur di sini, mbaknya di sebelah kiri dan masnya di sebelah kanan. Jaga etika dan diri, ini desa adat dan berlaku hukum adat meski mayoritas penduduknya agama hindu” ucap Pak Ageng sembari pergi meninggalkan kami.
Bayu, Andri dan Bilqis langsung masuk ke kamar selepas Pak Ageng pergi. Sedangkan aku masih berdiri merasa cemas dengan kondisi Yayuk yang lemas.
“Fid, segera bawa Yayuk masuk ke kamar, kasihan udah lemas gitu. Lagian udah sore juga biar istrahat” pintaku kepada Fida.
“Kamu ini, udah kayak juragan beras, tukang perintah. Minta tolong gitu kek” sahut Fida sedikit kesal tapi menuruti perintahku membawa Yayuk.
Aku hanya tersenyum meringis mendengar itu sambil kedua mata melihat Fida dan Yayuk berjalan masuk ke kamar. Diriku memang menyukai Yayuk tapi entah Yayuknya menyukaiku atau tidak sebab kita berdua dekat tapi hanya teman.