"Ah soal itu, tidak apa-apa. Sepertinya aku yang terlalu agresif" kata ku sedikit gugup. Aduh mengapa aku harus gugup ketika berdekatan dengan dia, melawan sekutu saja aku berani, kenapa ketika berada di dekatnya nyali ku merasa ciut.
   "Bukan salahmu, sebenarnya selama ini memang jarang ada lelaki yang berani mendekatiku, mungkin karena sifatku yang terlalu acuh yang membuat mereka mundur, seperti yang kau lakukan"
   Aku kaget, tidak menyangka dia akan menyadari itu, kupikir dia tidak akan memperhatikanku sejauh itu.
   Sejak hari itu hubungan kami perlahan menjadi akrab, dia perlahan luluh, sampai akhirnya kami resmi menjalani hubungan pada Januari, 1946. Namun karena Surabaya masih dikuasai sekutu, kami hanya bisa bertemu secara sembunyi-sembunyi. Aku yang saat itu dikenal sebagai pemimpin pasukan Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) merupakan salah satu yang paling diincar tentara sekutu. Bahkan usai menikah pun, Aku dan Sulistina harus pindah ke Yogyakarta.
   Pernikahan kami dikelilingi oleh kebahagiaan, walau terkadang terhalang kesibukan kami berdua sebagai seorang aktvitis. Dibalik semua itu kita tetaplah pasangan suami istri yang berlaku seperti biasanya, sampai akhirnya kami dikaruniai 4 orang anak yang terdiri dari 3 orang anak perempuan dan seorang anak laki-laki. Yang diberi nama Tin Sulistami, Bambang Sulistomo, Sri Sulistami dan yang paling bungsu adalah Ratna Sulistami.
   Perjalanan hidup Bung Tomo terhenti di usia 61 tahun. Dia wafat di Padang Arafah pada 7 Oktober 1981 ketika ia sedang melaksanakan ibadah haji, meninggalkan sang istri terkasih, anak-anaknya, dan semua orang yang ia sayangi.
Selamat Jalan Sang Kebanggan Negeri.
  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H