Astrid Susanto, ia sendiri pernah jadi anggota Dewan Pers pada era rezim Orde Baru dekade 1970-an, minta tanggung jawab pers dalam melakukan pendidikan pada masyarakat, baik langsung maupun tak langsung. “Karena pers berada di ruang publik berarti pers harus bertanggung jawab pada publik.”
“Kalau dulu tanggung jawab yang besar tak diikuti dengan kebebasan yang besar, sekarang kebebasannya besar tapi tanggung jawabnya tak dipenuhi,” kata Susanto, mengacu pada zaman pers di bawah sensor Orde Baru (TAUFIK ANDRIE; Media Kepala Batu; http://www.pantau.or.id/txt/25/02.html).
Benarkah terjadi press euphoria di Indonesia sekarang? Kenalan penulis itu pernah melakukan penelitian analisis isi pers Indonesia ketika berlangsung kampanye pemilu dan pemilu terakhir zaman rezim Orde Baru dan ketika banyak terjadi kerusuhan massal. Menurut dia, pers Indonesia waktu itu memang masih dipenuhi rasa takut (terrified) karena ancaman pembredelan. Lebih lagi TV, katanya, terlalu didominasi pemerintah. TV tidak banyak menayangkan kerusuhan. Pers juga selalu harus mendasarkan berita-berita politik pada sumber resmi. Tetapi ditambahkannya sudah banyak penulis yang vokal (outspoken) asal tak langsung mengritik militer dan Presiden Soeharto sekeluarga. Waktu itu ia meramalkan, akan terjadi perubahan besar dalam sistem komunikasi politik di Indonesia akibat masuknya jaringan internet global (cyberspace) yang elusive (sukar dijangkau oleh kekuasaan dan hukum Indonesia).
Mengapa para pengamat asing menilai seakan-akan ada euforia kebebasan informasi di Indonesia saat ini? Karena selama puluhan tahun media massa nasional terus-menerus “tiarap”. Sekarang sistem komunikasi otoriter sudah berhasil ditumbangkan oleh gerakan reformasi mahasiswa dengan dukungan media massa terutama media cetak. Kekuasaan absolut rezim Orde Baru ibarat sebuah bendungan raksasa yang tiba-tiba bobol oleh terjangan banjir besar. Maka meluaplah air yang selama ini terbendung.
Ihwal yang jelas adalah, tuntutan reformasi total membuat pers merasa pantas menjadi pelaksana reformasi (agent of reform). Sebagai salah satu pelaksana reformasi, pers juga pantas berperan sebagai kekuasaan keempat (the fourth estate). Implementasinya adalah anjing penyalak (watchdog) terhadap jalannya pemerintahan, pelaksanaan demokrasi, penegakan hukum dan HAM. Dasar hukumnya ada, yakni pasal 3 UU Pers yang masih berlaku, tentang hak kontrol, kritik dan koreksi (juga ada dalam RUU Pers yang baru).
Di zaman rezim Orde Baru, fungsi tersebut tidak dapat terlaksana karena adanya ketentuan perundang-undangan lain (pasal lain) dalam UU Pers dan kebijaksanaan (media policy) yang mematikannya, yakni pembatalan SIUPP atau pembredelan. Di zaman lampau itu, kebebasan pers (kebebasan komunikasi) sebagai salah satu HAM yang universal tidak terwujud karena dihambat oleh tanggung jawab pers kepada keamanan dan stabilitas kekuasaan.
Hingga kini pengaruh zaman rezim otoriter Orde Baru itu masih sangat terasa di bidang pers. Hal itu dapat dibuktikan dengan masih seringnya terjadi tindakan kekerasan terhadap wartawan oleh aparat keamanan dan oleh warga masyarakat. Kekerasan terhadap wartawan dan mahasiswa yang melakukan aksi damai mempunyai akibat yang berat. Di samping merupakan kejahatan (penganiayaan), juga menghambat terlaksananya reformasi dan melanggar HAM karena kebebasan berkomunikasi adalah HAM. Mujurlah, RUU Pers yang baru memberi wartawan akses yang luas (qualified privilege) kepada sumber-sumber informasi . Tindakan dalam bentuk apa pun yang bersifat menghalangi akses tersebut, apa lagi dengan kekerasan, pelakunya dihukum berat. Ketentuan baru tersebut memungkinkan pers merasa aman dalam memberitakan dan mengulas pelanggaran HAM oleh aparat keamanan.
Selama masa rezim Orde Baru dalam pengamatan, pers tidak mampu mengangkat konflik yang terjadi di masyarakat sesuai realitas sosiologi. Ini terjadi karena pers selama ini dikooptasi oleh penguasa. Akhirnya pers pun gagal sebagai sistem peringatan dini terhadap sistem yang ada (Pers Partisan, Lahan Hidup atau Perjuangan? http://aliansi.hypermart.net/1999/09/serba.htm)
Kebebasan dalam mendapat informasi dan kebebasan menyampaikan pendapat menjadi salah satu aspek yang dirasakan sangat penting dan menjadi hal yang paling dasar dalam rangka mewujudkan civil society, karena kita semua menyadari benar bahwa tanpa adanya jaminan kebebasan dalam memperoleh informasi dan menyampaikan pendapat tidak akan pernah dicapai civil society dengan kadar sekecil apapun.
Informasi yang menjadi salah satu kunci proses menuju civil society bukanlah hal yang istimewa atau mewah sebenarnya, jika tidak ada mekanisme atau instrumen yang dijadikan suatu justifikasi oleh pemerintah dalam menjerat lawan lawan politiknya atau pihak pihak yang diangap membahayakan kekuasaan dari phak yang sedang berkuasa, seperti yang terjadi selama rezim orde baru berkuasa. Kita melihat begitu hebatnya management kontrol informasi yang dijalankan oleh rezim Orde Baru dalam membungkam semua pergerakan demi mempertahankan kekuasaan, jelas adanya fakta bahwa informasi dapat memberikan kontrol yang luar biasa besarnya dalam segala aspek (Ferry Kurniawan Sinergi Pers, Media dan Gerakan LSM menuju Civil Society http://www.lsm.or.id/workshop/sinergi.html; Yayasan Pakta).
Pemerintah Orde baru melalui Departemen Penerangan yang dipimpin oleh Harmoko banyak memainkan teknik-teknik propaganda akan kebijakan-kebijakan pemerintah kepada khalayak pada masa itu. Salah satunya adalah sistem komunikasi sambung rasa yang menekankan pada pentingnya usaha penerbitan pemerintah guna lebih terperinci dalam mengkomunikasikan kebijakan-kebijakan pemerintah, di samping berita-berita yang disampaikan oleh massa lainnya. Melalui penerbitan pemerintah diharapkan partisipasi masyarakat yang lebih besar dalam usaha percepatan pembangunan nasional. Dan masyarakat lebih tahu banyak tentang kebijaksanaan, langkah-langkah maupun tugas-tugas pemerintah dalam pembangunan (Harmoko; Komunikasi Sambung Rasa dalam Pembangunan Nasional, Kumpulan Pidato, Sambutan, Pengarahan dan Ceramah Menteri Penerangan RI 1984; Deppen RI; 1985).