Bagi Todung Mulya Lubis seluruh kisah tentang pers itu membuat gundah hati dan mengusik pikirannya. Mana mungkin pers yang diberi gelar the fourth estate diperlakukan bak anak ayam dalam kurungan? Pers menjadi kerdil akibat kekuasaan politik otoriter. Pers menjadi ciut dan tak berani memaparkan keadilan, apalagi keadilan untuk semua yang sering jadi idiom para pembela hak-hak asasi manusia.
Memang, dalam disertasinya Lubis tak menawarkan solusi. Dia hanya memaparkan dilema yang ada. Sebagaimana disebut Daniel S. Lev, dia menawarkan proposal perbaikan di masa mendatang. Dan Lubis tidak berjuang sendirian. Dia termasuk ada di barisan terdepan dalam membela pers. Ini dibuktikannya dengan mendampingi Tempo ketika menggugat ke peradilan tata usaha negara tahun 1994-1995. Juga saat mendampingi Time tahun 1999-2000. Di sinilah kiranya terletak penjelasan mengapa-buat saya-Todung Mulya Lubis membela Time sebagai bagian dari pencarian jawaban dari persoalan pribadi yang telah lama menggelisahkannya. Dia menunjukkan bahwa the truth will conquer. Dan sebaiknya janganlah dia sendiri yang mengatakan itu.
Media senantiasa menjadi pusat perhatian dalam membahas komunikasi massa manapun. Melalui media, pesan-pesan dapat disebarluaskan ke berbagai penjuru, dapat mempengaruhi, sekaligus mencerminkan budaya masyarakat dimana media tersebut hadir. Cara pandang media dalam menyajikan realitas sangat dipengaruhi oleh sistem politik yang berlaku pada masanya. Hal ini dapat terlihat dari hasil liputan media dalam mengangkat suatu realitas sosial.
Kata media tentu saja menyiratkan arti “mediasi” atau sebagai perantara karena keberadaanya di antara audiens dan dunia sekitarnya (lingkungan). Denis Mc Quail misalnya menyebutkan beberapa perumpamaan untuk menjelaskan gagasan tersebut. Media, misalnya merupakan jendela yang memungkinkan kita dapat melihat apa yang ada diluar lingkungan langsung kita, sebagai penterjemah yang dapat membantu kita memahami pengalaman baik langsung maupun secara simbolik , sebagai landasan atau pembawa informasi bagi para audiens dalam menentukan sikap, sebagai rambu-rambu yang yang memberikan instruksi dan arahan, penyaring bagian-bagian dari pengalaman, sekaligus menitikberatkan pada bagian yang lain, sebagai cermin yang memantulkan bayangan kita kembali pada kita sendiri dan sebagai penghalang yang merintangi kebenaran itu sendiri. Selanjutnya Joshua Meyrowitz menambahkan tiga lagi perumpamaan di mana media dipandang sebagai penghantar yang dapat mengajak kita ke dunia yang jauh dari jangkauan indrawi yang sangat terbatas dan media dapat dipandang sebagai bahasa yang memberikan makna pada kita serta sebagai lingkungan.
Jika kita menengok ke periode sejarah masa lalu. Di mana Orde Baru dan Orde Lama berkuasa, maka peran dan fungsi media yang kita ketahui, cenderung terkesan sebagai alat kekuasaan. Hasil liputan media massa tersebut lebih banyak melayani kepentingan-kepentingan kelompok tertentu yang berkuasa. Hampir tidak pernah kita melihat disana ada semacam kontrol terhadap jalannya pemerintahan. Hal ini disebabkan kerena kehadiran lembaga media terutama media cetak hampir seluruhnya dilakukan oleh pihak swasta yang keberadaanya dikontrol dengan sangat ketat. Oleh karena itu untuk bisa beroperasi, hanya dimungkinkan dengan memperoleh perizinan yang cukup rumit. Dan izin ini sewaktu-waktu dapat saja dicabut apabila terlihat tanggung jawab mendukung kebijaksanaan penguasa tidak dilaksanakan atau isi pemberitaannya terkesan berseberangan dengan keinginan penguasa.
Kegiatan penerbitan dengan sendirinya merupakan semacam persetujuan antara pemegang kekuasaan dengan pihak penerbit (pengusaha). Dimana yang pertama memberikan sebuah hak monopoli kepada penerbit dan yang berikutnya harus memberikan dukungan pada setiap kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dilakukan oleh penguasa. Selain itu juga pada masa tersebut pemegang kekuasaan memiliki hak untuk membuat dan merubah kebijaksanaanya dalam pemberian izin. Tidak jarang hak untuk menyensor bahkan sekaligus membredel penerbitan media apabila dianggap menyebarkan berita yang terkesan merongrong wibawa pemerintah dengan segala macam alasannya.
Kehidupan pers pada waktu itu sangatlah memprihatinkan karena berada dalam pasungan. Lembaga media yang ada pada umumnya tidak diberikan kesempatan untuk mengembangkan kreasinya dalam mengangkat suatu realitas, terlebih lagi melakukan fungsi kontrol terhadap jalannya pemerintahan. Oleh karena tidak diberikan keleluasaan maka sistim pemerintahan berjalan menurut kemauan penguasa. Hal seperti ini tentunya akan menimbulkan semacam api dalam sekam di kalangan pemerintahan apalagi kalau salah satu pihak merasa kurang sepaham dengan kebijakan pimpinan tertinggi. Keadaan seperti ini tentunya merupakan konflik interen yang dalam skala tertentu dapat menyebabkan semacam ledakan apabila hal tersebut terakumulasi secara sistimatik. Tidak jarang kondisi seperti ini dapat menimbulkan satu revolusi berdarah seperti yang terlihat di beberapa negara, misalnya pengalaman di Uni Soviet dan beberapa negara yang menganut sistim otoriter. Dengan demikian yang namanya kebenaran hanya dimiliki oleh penguasa.
Dari berbagai literatur kita juga mengetahui bahwa kehadiran lembaga media di dunia manapun sangat erat kaitannya dengan sistim politik oleh negara di mana media itu hadir. Selain itu menurut Fred S. Siebert terdapat paling tidak empat sistem pers di dunia ini. Antara lain Sistim Otoriter, Liberal, Tanggung jawab sosial dan Soviet komunis. Dalam perkembangan terakhir Denis Mc Quail menyebutkan ada enam sistem yang berlaku, dengan menambahkan sistim media pembangunan dan media demokratik partisipan.
Seperti hal Indonesia pada masa itu, kita tidak menganut salah satu dari sistem tersebut. Namun, kita menganut sistim Pers Pancasila, yang jika ditilik lebih jauh nampaknya merupakan kombinasi antara beberapa dari sistem yang ada. Namun dalam prakteknya, sistem yang kita anut cenderung otoriter.
Terbelenggunya lembaga media dalam menyampaikan laporan tentang fakta sosial tidak lepas dari sistem pers yang kita anut. Oleh karena itu setiap hasil liputan sebelum dimuat biasanya melalui sensor yang ketat. Apa lagi jika hasil liputan tersebut melibatkan kekuasaan negara, maka sudah pasti berdampak negatif terhadap kelangsungan kehidupan lembaga pers itu sendiri. Walaupun kita masih dapat melihat ada beberapa lembaga media cetak yang sampai saat ini masih dapat beroperasi namun sedikit munafik untuk dapat selamat dari sistim yang berlaku pada saat itu.
Belajar dari rezim Orde Lama dan Orde Baru, kebebasan pers di Indonesia hanya bisa dinikmati saat pers sedang berbulan madu dengan kekuasaan. Bulan madu ini selalu terjadi di masa transisi pascapergantian rezim. Biasanya setelah rezim baru berhasil melakukan konsolidasi kekuasaan, pers kembali diberangus, ditekan.