Rezim Soekarno saat awal kemerdekaan hingga zaman Demokrasi Parlementer bersifat amat akomodatif terhadap pers. Namun setelah kekuasaannya terkonsolidasi, September 1957, Soekarno berkolaborasi dengan militer membredel 10 surat kabar. Beberapa tahun kemudian, Februari 1965, 21 surat kabar di Jakarta dan Medan juga diberangus. Sebulan berikutnya, delapan media dan mingguan di berbagai kota juga dibungkam.
Perilaku sama ditunjukkan Orde Baru. Bulan madu pers dan kekuasaan berakhir saat Malari. Pasca Malari, rezim Orba membredel 12 media massa. Empat tahun kemudian, membredel tujuh koran dan tujuh media kampus. Puncaknya, Juni 1994, pemerintah memberangus Tempo, Editor, dan Detik.
Catatan sejarah itu menunjukkan, penguasa tak pernah benar-benar merelakan kebebasan pers. Solahudin, Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen.
Bila pers Orde Baru ditandai dengan pers yang tidak bebas dan bertanggungjawab; pers orde Habibie adalah pers yang bebas dan tidak bertanggungjawab.
Pers adalah universitas besar dengan masyarakat sebagai mahasiswanya. Pers bertugas mengamati realitas sosial ekonomi dan menyampaikan gambaran realitas itu setepat mungkin kepada masyarakatnya. Untuk Orde Reformasi, tugas pers tidak berhenti di situ. Pers bukan hanya pencatat, perekam, pengamat, peneliti realitas. Ia juga harus berperan-serta sebagai pengubah realitas. Ia harus menjadi agent of reform.
Dalam hubungannya dengan pemerintah, para pakar komunikasi bercerita tentang tiga modus peran pers. Pers dapat menjadi watch-dog, yang segera menggonggong ketika terjadi penyimpangan pada perilaku rezim. Semua kebijakan pemerintah menjadi target serangan pers. Konon, begitulah pers di negara-negara maju. Lewat gonggongan media, Clinton harus menghadapi impeachment. Sebelum ada pengadilan dari departemen kehakiman, terlebih dahulu ada pengadilan pers, trial by the press. Peran watch dog ini sudah lama kita tepiskan sebagai tidak sesuai dengan Pers Pancasila.
Secara praktis, pers kita selama Orde Baru mengambil posisi sebagai slave, budak pemerintah. Kemitraan hanya tumbuh di antara yang setingkat, yang equal. Dalam hubungan yang supra- dan subordinasi, pers hanya menjadi kuda tunggangan pemerintah. Apalagi Pedang Damocles siap memancung leher pers Indonesia, kapan saja dan karena apa saja.
Demokrasi harus menjadi ideologi pers pasca-Orde Baru. Tetapi, bukankah pers harus bebas dari ideologi? Tidak ada satu pun pers di dunia ini yang tidak bias secara ideologis.
Ideologi adalah masalah pemihakan. Banyak sosiolog dan pakar komunikasi melihat distorsi yang terus-menerus dalam pemberitaan. Jamieson dan Campbell, dalam The Interplay of Influence, melaporkan penelitian para ilmuwan kemasyarakatan tentang pers, “Mereka tidak berpendapat bahwa ada konspirasi atau kesengajaan untuk mendistorsi pemberitaan dan peliputan. Merka berpendapat bahwa secara tidak disadari, peliputan pers bermuatan ideologis. Pers selalu memihak kepentingan kelompok dan tertentu dengan mengabaikan kepentingan kelompok yang lain. Pers menyembunyikan hubungan timbal-balik antara pers dengan sektor publik dan swasta, atau dalam kata-kata Tom Wicker. Kolumnis New York Times: Jurnalisme objektif selalu memihak posisi Establishment (Jalaluddin Rakhmat; Pers Indonesia Pasca-Orde Baru: Mencari Sosok Pers Reformis http://www.muthahhari.or.id/doc/artikel/edisihaji/perspascaorba.htm).
Selama Orde Baru, Departemen Penerangan pada akhirnya mempunyai fungsi utama untuk melakukan kontrol terhadap pers. Karena itu bila Departemen Penerangan dihidupkan kembali, institusi ini akan menjadi ancaman nyata bagi kebebasan pers sehingga eksistensinya akan melawan konstitusi dan hukum yang berlaku.
Undang-Undang Pokok Pers No 21/1982 yang berlaku pada zaman Orde Baru, kata Solahudin, jelas menyatakan larangan pembredelan terhadap pers. Akan tetapi, kenyataannya ketentuan itu dihilangkan substansinya dengan Peraturan Menteri Penerangan No 1/ 1984 yang memberikan kewenangan kepada Menteri Penerangan untuk mencabut Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). “Bila Deppen dihidupkan lagi, kejadian seperti ini akan berulang,” kata Solahudin (Presiden Megawati Harus Pertahankan Kebebasan Pers; Kompas).