Demokrasi dan kebebasan pers
Untuk menunjuk salah satu ciri dari demokrasi dan tidaknya sebuah pemerintahan, kehidupan media sering kali dijadikan parameter. Demokrasi mengandaikan kebebasan warga untuk berkumpul, berpendapat, dan mengemukakan kritik. Sebaliknya, pemerntahan yang antidemokrasi akan selalu mengawasi orang berkumpul, menekan pendapat, dan memberangus kritik. Cara yang konvensional adalah dengan mengatur dan mengarahkan pemberitaannya, menempatkan orang-orang nonpemerintah dalam jajaran redaksi dan kepemimpinan organisasi pers, dan bahkan merekayasa berita bohong. Di bawah pemerintahan yang otoriter, pers adalah makhluk yang paling tersiksa. Ia korban, sekaligus dengan terpaksa harus menjadi pelakunya sendiri. Demikian nasib pers di bawah pemerintahan otoriter, tak terkecuali pers di bawah Orde Baru.
Media massa selama Orde Baru jauh dari fungsinya sebagai pilar penegakan public sphere. Konsepsi korporatisme otoriter yang diterapkan Orde Baru, dengan kecenderungan kuat ke arah pewadahtunggalan dan homogenisasi, telah menempatkan berbagai kawasan publik dalam posisi di hadapan penguasa negara. Pers difungsikan sebagau aparatus ideologi negara, berpasangan dengan aparatus represif negara, seperti militer dan kelompok-kelompok political thugs.
Frans Magnis Suseno dalam bukunya: Mencari Sosok Demokratis, 1997, 60 memaparkan jaminan atas hak-hak dasar demokratis rakyat, yang merupakan satu bagian dari 5 gugus ciri hakiki negara demokratis menyebutkan:
- Hak untuk menyatakan pendapat serta untuk mengkiritik pemerintah baik secara lisan maupun tertulis; hak ini termasuk kebebasan pers.
- Hak untuk mencari informasi alternatif terhadap informasi yang disajikan oleh pemerintah.
- Hak berkumpul.
- Hak membentuk serikat, termasuk hak mendirikan partai politik dan hak berasosiasi.
Kebebasan pers sebagai bagian dari demokrasi dan basic human right, dijelaskan oleh Afan Gaffar dalam bukunya Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi. Campur tangan birokrasi dalam pers juga dirasakan sangat besar. Hal ini dilihat dari adanya Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dan Surat Izin Terbit serta pembredelan media cetak sama saat masa Orde Lama.
Secara normatif, hak masyarakat dalam proses berpendapat dijamin secara universal dalam naskah Deklarasi Hak Azasi Manusia PBB, khususnya Pasal 19 dan konvenan Hak-Hak Sipil dan Politik PBB Pasal 19 dan 20. Pasal 9 menyebutkan: “Setiap orang berhak atas kebebasan memiliki dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan dan untuk mencari, menerima serta menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dengan tidak memandang batas”.
Salah satu tonggak demokrasi adalah kebebasan pers. Pers yang bebas merupakan syarat yang hakiki adanya demokrasi. Pembredelan majalah Tempo, Editor dan DeTik pada Juni 1994 cukup menggambarkan kerapuhan kebebasan pers di Indonesia. Satu hal pasti ditetapkan penilaian standar, bahwa kebebasan pers memainkan peranan kunci dalam realisasi kenegaraan demokratis. Pers memberikan informasi serta segi-segi penilaian yang dibutuhkan masyarakat untuk membentuk pendapat bertanggung jawab terhadap pemerintah dan kehidupan politik.
Kebebasan pers menurut Ashadi Siregar dapat dilihat dari dua aras. Pertama, adalah kebebasan warga negara untuk mendapatkan informasi publik serta kebebasan warga menyatakan pendapat tentang masalah publik, dan kedua, adalah kebebasan media pers untuk mencari dan menyampaikan informasi publik. Ketika media pers berselingkuh dengan kekuasaan, maka kebebasan pers pun kehilangan jati dirinya.
Kebebasan pers yang bertanggung jawab — berlaku gelang karet
Dalam dunia pers pengendalian komunikasi politik yang bersifat gelang karet tersimpan dalam konsep kebebasan pers yang bertanggung jawab. Sebagaimana antara lain terlihat dalam UU No. 11 tahun 1966 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Pers yang kemudian ditambah atau diubah dengan Undang-Undang No. 4 tahun 1967 dan diubah lagi dengan UU No. 21 tahun 1982, kebebasan pers yang bertanggung jawab itu tersimpul dalam, Bab II, yang berisi Pasal 2 sampai pasal 5, mengenai Tugas, Fungsi, Hak dan Kewajiban Pers.
Dalam pasal 2 ayat 2 yang mengandung kewajiban pers nasional, antara lain terdapat kewajiban mempertahankan, membela, mendukung, dan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Di samping itu pers nasional juga berkewajiban memperjuangkan Amanat Penderitaan Rakyat berlandaskan Demokarasi Pancasila. Ia juga berkewajiban memperjuangkan kebenaran dan keadilan atas dasar kebebasan pers. Dalam UU No. 4 tahun 1967, lima kewajiban pers yang terkandung dalam Pasal 2 ayat 2 UU No. 11 tahun 1966 tidak mengalami perubahan. Perubahan baru terjadi dalam UU No. 21 tahun 1982.