Mohon tunggu...
TJAK LAN
TJAK LAN Mohon Tunggu... lainnya -

perajin tata letak + cerpen + puisi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Drama Dalam Segelas Chocolate Parfait

23 Januari 2016   07:52 Diperbarui: 23 Januari 2016   09:46 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerpen: Tjak S. Parlan

 “Menurut cerita yang kudengar, restoran ini pernah menjadi tempat favorit para meneer dan mevrouw Belanda. Mereka membuat janji, mengobrol, atau berdiskusi sambil makan es krim,” jelasnya kepadaku.

Aku perhatikan seluruh ruangan bernuansa retro itu. Ubin tua, kursi-kursi rotan, meja-meja bertaplak plastik.  Di sebagian dinding ruangan dipajang foto-foto lama berwarna sepia: gedung-gedung tua bergaya art deco, suasana jalan di depan sebuah gereja tua hingga foto seorang presiden. Gereja itu masih berdiri kokoh hingga saat ini. Aku sempat melihatnya sewaktu taksi yang kami tumpangi melintas di depannya beberapa saat lalu. Kami memilih tempat paling sudut, di dekat jendela yang terbuka, di samping sebuah piano tua yang tampaknya sengaja dipajang sebagai sebuah benda klasik.

“Alergi rokok?” tanyanya sambil mengeluarkan sebungkus rokok mild rendah tar.

“Tidak secara langsung. Aku cukup lama hidup bersama pengisap,” jawabku spontan.

Restoran itu tidak ber-ac. Di tengah-tengah ruangan sebuah baling-baling kipas angin sedang berputar. Beberapa jendela besar yang terbuka, membuat sirkulasi udara di ruangan cukup lancar. Tak ada peringatan dilarang merokok yang bisa kutemui di tempat itu.

“Mau pesan apa? Selain es krim, di sini ada steak yang rasanya istimewa,” katanya.

Aku sedang tidak berselera makan sebenarnya. Hanya ingin mencicipi yang dingin-dingin. Tapi kalau ada steak yang enak, bolehlah, pikirku. Aku pun memesan steak. Mengikuti sarannya, aku juga tergoda mencicipi es krim dengan cita rasa klasik yang menjadi andalan restoran itu. Yan’s special namanya, diambil dari nama pemilik restoran legendaris itu: Yan Sen. Yan’s special merupakan perpaduan tiga rasa es krim yang berbeda dan dinikmati dengan roll wafer. Benar yang dikatakannya, rasanya memang istimewa. Meski teksturnya terlihat sedikit kasar, namun terasa lebih lembut di lidah, dan tidak terlalu manis.

Ia sendiri hanya memesan segelas chocolate parfait.

Chocolate parfait, demi Tuhan aku mengenal nama itu. Bentuknya, bahkan rasanya. Cukup lama mengenalnya, aku tidak pernah tahu kalau ia juga penyuka es krim. Dan sekarang, lihatlah, ia mulai menikmati menu kesukaannya yang membuat sesuatu dalam diriku terasa berdesir.

“Sejak kapan kau suka itu?” tanyaku, menguji perasaaku sendiri.

“Sejak aku kembali ke kota ini,” jawabnya seraya menjilat lelehan es krim yang tertinggal di sudut bibirnya.

Dulu ia kuliah di kotaku, dan kami satu kampus. Aku mengenalnya pada tahun-tahun terakhir masa kuliah. Ia anak teknik, aku anak ekonomi. Kami sering bertemu di perpustakaan ketika mencari bahan untuk merampungkan tugas akhir. Yang paling kuingat, ia selalu duduk di pojok dekat jendela dengan kertas gambar di dekatnya dan sebuah pensil yang terselip di telinganya. Sesekali kami mengobrol, atau bertegur sapa seperlunya. Tidak ada yang istimewa. Aku bahkan tidak tahu nomor kontaknya. Kalau saja sebulan lalu ia tidak mengirimkan pertemanan di akun facebook-ku, aku mungkin saja sudah lupa dan tidak tahu bagaimana cara menghubunginya.

Ya, kalau saja penerbangan ke kota asalku tidak dibatalkan gara-gara kabut asap, mungkin aku tidak berjumpa dengannya hari ini. Tiga jam lalu aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan di kota yang baru kukunjungi pertama kali ini. Lalu tiba-tiba namanya menyelinap dalam pikiranku dan aku berusaha menghubunginya. Aku bertanya padanya perihal hotel yang mudah dijangkau dari bandara. Ia memberikan saran agar aku menunggu di bandara saja. Sekitar setengah jam berikutnya ia menjemputku dengan sebuah taksi. Mobilnya sudah dua hari masuk bengkel, katanya. Aku jadi merasa tidak enak karena telah merepotkannya. Tapi ia cuek. Ia juga sabar menungguku di lobi hotel saat aku sedang ceck in. Lalu ia menyarankan agar aku mencoba kuliner di restoran tua ini. Untuk membunuh waktu selama menunggu, katanya.

“Ini kunjungan pertamamu di kota ini kan?”

Aku mengangguk.

“Akan ada kunjungan lain setelah ini?”

“Untuk apa?”

“Untuk memesan es krim lagi,” katanya sambil tertawa renyah. Gigi kanan atasnya gingsul ternyata— sesuatu yang tak pernah kuperhatikan sebelumnya. “Maaf, hanya bercanda.”

Memang tidak menutup kemungkinan bagiku untuk berkunjung lagi ke kota ini. Kukatakan padanya bahwa aku sedang dalam perjalanan bisnis. Perusahaan properti tempatku bekerja memiliki cabang di beberapa kota. Faktanya, di kota inilah induk perusahaan itu berada. Jadi, setiap tahun ada pertemuan evaluasi yang harus dihadiri oleh setiap perwakilan cabang.

“Kau sendiri bagaimana, makin sibuk dengan desainmu?” tanyaku.

“Oh, aku, sedikit-sedikitlah. Tapi aku tidak lagi merancang gedung-gedung yang membuat kota ini semakin panas dari waktu ke waktu.”

Jawabannya tidak begitu mengejutkanku. Seingatku, dulu ia sempat menyinggung bahwa orang tuanya menginginkannya jadi arsitek. Ia tidak pernah menyukainya, namun berusaha menyelesaikan kuliahnya. Ia bercerita, tak butuh waktu lama baginya untuk membelot dari disiplin ilmu yang ia pelajari dengan terpaksa selama kuliah. Meskipun awalnya ia harus berhadapan dengan penolakan orang tuanya, usaha kecilnya terus berjalan. Kini, bersama seorang kawannya ia memiliki sebuah clothing line yang mulai dikenal di beberapa kota besar.

“Ini salah satu contohnya. Maaf, promo sedikit,” katanya memamerkan t-shirt warna turquoise yang melekat pantas di tubuhnya. “Kami juga punya yang couple series. Aku pilihkan yang cocok buat oleh-oleh nanti. Lumayan, buat romantis-romantisan dengan yang di rumah. Mohon jangan menolak.”

Aku tahu, di dunia ini banyak hal telah dilakukan orang-orang untuk memerbaiki keadaan. Mungkin dengan makan malam romantis, atau menyewa sebuah kamar yang menghadap ke pantai di sebuah resort yang hanya ada di pulau yang jauh. Tapi tak pernah ada yang bisa kau lakukan. Padahal kau bisa melakukan hal lainnya yang lebih sederhana, misalnya memesan sepasang kaos couple series di toko online. Lantas, ketika kau mulai berpikir untuk melakukannya, sesuatu telah terjadi. Rumah dan seisinya mulai mencurigakan. Di ranjang, di kamar mandi, di dapur, di halaman, pasanganmu membawa aroma yang bukan aroma tubuh yang kau kenal. Kau tidak akan pernah percaya telah menemukan aroma tubuh perempuan lain, jika saja kau sendiri tak memergokinya di suatu tempat. Pada puncaknya, setiap kata yang kau ucapkan adalah kesalahan. Akhirnya, kau harus menyewa seorang pengacara yang bisa membantumu untuk berpisah dengan pasanganmu.

Faktanya, itulah yang sedang terjadi padaku. Tentu saja, ia tidak tahu. Lihat saja, ia tampak begitu menikmati menu kesukaannya yang membuat sesuatu dalam diriku terasa berdesir itu. Chocolate parfait; kenapa kalian memiliki kesukaan yang sama?

“Boleh. Jangan sampai lupa,ya. Akan kutagih oleh-oleh itu nanti,” kataku.

“Kira-kira kapan pulangnya?”

Aku hanya mengangkat bahu, karena aku memang tidak tahu sampai kapan darurat asap yang menganggu penerbangan itu akan berakhir.

Kami meneruskan obrolan sore itu. Kami mengobrol tentang hal-hal lain di luar pekerjaan dan persoalan keluarga. Sebenarnya ia yang lebih banyak berbicara. Dia menceritakan padaku tempat-tempat menarik yang perlu kukunjungi suatu hari nanti. Aku mendengarkannya dengan tekun. Aku sering dibuatnya tertawa ketika ia menceritakan hal-hal yang lucu. Aku pasti salah jika sejauh ini mengira bahwa dia orang yang pendiam. Entahlah, yang pasti, hari itu ia telah menjadi penunjuk jalan yang baik sekaligus laki-laki yang menyenangkan untuk diajak bersekongkol membunuh waktu.

Kami berpisah di depan lobi hotel. Jika penerbangan masih tertunda, ia berjanji besok akan menemaniku jalan-jalan. Mungkin kami akan mengunjungi tempat yang lain, atau kembali ke restoran tua itu.

***

Dari berita pagi yang kulihat di TV, penerbangan masih ditunda lagi. Sorenya, ia menjemputku dengan mobil tuanya, dan kami kembali ke restoran tua itu lagi. Kami sepakat begitu saja. Termasuk, ketika memilih tempat dan menu yang sama seperti kemarin. Ketika kami menyadari itu, kami pun tertawa.

“Kita suka melakukan sesuatu yang sama di waktu yang berbeda, ya?” celetuknya tiba-tiba.

Mungkin, kataku dalam hati—meski sebenarnya aku kurang suka dengan menu pilhannya. Tapi tentu saja ia tidak tahu, karena aku tak akan mengatakan alasannya kepadanya.

“Sejak kapan kau suka itu?” tanyaku.

Ia tertawa sebelum menjawab. Aku baru sadar, itu pertanyaan yang sama seperti yang kuajukan kemarin.

“Kau suka mengulang pertanyaan yang sama di waktu yang berbeda, ya?”

“Aku penasaran.”

“Kau ingin tahu ceritanya?”

Aku mengangguk. Tiba-tiba aku berharap, ia benar-benar menceritakan sesuatu di balik segelas chocolate parfait itu. Ia kembali menikmati sesendok demi sesendok es krim yang menggiurkan itu. Diam-diam aku mencari-cari sesuatu yang ada dalam dirinya. Aku melirik tangannya. Urat-urat pada lengannya mencuat. Jari-jarinya yang kuat dibiarkan polos begitu saja. Tak ada cincin batu akik, atau –katakanlah— cincin kawin. Lalu terlintas begitu saja di benakku, tentang seorang laki-laki yang selalu mencopot cincin kawinnya setiap kali bertemu seorang perempuan. Aku lupa, kapan dan di mana pernah membaca cerita seperti itu. Atau, hal seperti itu memang sudah menjadi kebiasaan beberapa laki-laki?

“Sejak dulu aku sering berkunjung ke restoran ini. Aku senang dengan suasananya. Tapi aku jarang memesan es krim. Aku sebenarnya juga tidak begitu suka steak. Lalu pada suatu hari…” ia berhenti sejenak, mengambil sesendok es krim dan mengulumnya perlahan.

“Lalu pada suatu hari aku bersama seseorang. Hari-hari berikutnya, dalam waktu yang cukup lama, aku sering bersamanya di tempat ini. Kau tahu, apa yang selalu kami pesan?”

“Chocolate parfait,” kataku tiba-tiba.

“Tepat sekali.”

Lantas ia bercerita, bahwa apa yang telah dialaminya seperti sebuah drama. Ia tak pernah menduga jika drama itu telah berkisah terlalu jauh. Hingga pada suatu hari ia masih menemukan dirinya di tempat yang sama dengan menu yang sama.

“Yang membedakannya cuma satu. Aku duduk sendirian saja di meja ini,” katanya.

Jika ceritanya benar, itu cukup dramatis. Apa mungkin ia tahu, ada cerita lain yang lebih dramatis di balik segelas es krim? Ceritanya tidak sampai di situ saja ternyata. Kini, mantan kekasihnya itu telah hidup bahagia bersama kakak kandungnya di kota ini.

“Kau ini aneh,” kataku kemudian, “setahuku, cara membunuh kenangan adalah dengan membakar foto-foto lama, tidak mendengarkan lagu-lagu nostalgia, dan tidak memesan menu yang sama di sebuah restoran yang sama.”

Dia tersenyum mendengar apa yang kukatakan. Lalu katanya, “Pengidap fobia tak akan pernah bisa sembuh hanya dengan menghindari penyebabnya. Tapi harus melawannya.”

Aku cukup tercenung dengan apa yang dikatakannya. Itu mungkin teoritis. Atau jangan-jangan dia benar? Aku tak tahu. Yang kutahu, ingatan itu datang kembali. Ingatan tentang seseorang yang telah hidup bersamaku sekian lama. Seseorang yang sering mengajakku menikmati chocolate parfait  bersama-sama. Itu dulu, di tempat berbeda di kotaku, sebelum akhirnya segalanya menjadi berubah dan kami merencanakan sebuah perpisahan.

“Jadi, apa akan ada kunjungan lain setelah ini?” tanyanya, sesaat membuyarkan ingatanku.

“Untuk apa?” tanyaku.

“Untuk segelas chocolate parfait,” jawabnya sambil tertawa. Gigi kanan atasnya gingsul. Dan itu membuatnya tampak lebih manis.

Tidak jelas dia sedang bercanda atau tidak. Tapi aku sempat memikirkan jawabannya. Mengingat pekerjaanku, tidak menutup kemungkinan bagiku untuk berkunjung lagi ke kota ini. Selanjutnya aku berharap agar bencana asap ini akan segera berakhir. Bagaimanapun aku harus cepat kembali ke kotaku. Minggu ini, aku akan menghadiri sebuah persidangan untuk mendengarkan sebuah keputusan terakhir. Keputusan yang akan membuat kehidupan rumah tangga seseorang berubah selamanya. Keputusan yang berat untuk ditanggung sendirian. Tapi tentu saja, ia tidak tahu. Sebab aku tak akan menceritakan kepadanya. Lagi pula, apa istimewanya perempuan yang menceritakan bahwa dirinya sedang di ambang perceraian?

“Mungkin, jika penerbangan ditunda lagi aku akan menghubungimu,” kataku.

Kami terus melanjutkan obrolan sore itu. Ia tampak heran ketika aku memesan segelas chocolate parfait lagi untuk kami nikmati bersama-sama. Sesuatu yang tak pernah bisa kulakukan untuk waktu yang cukup lama. Tapi aku tidak bercerita bahwa di balik segelas chocolate parfait itu, pernah ada drama yang lain. Mungkin aku akan menceritakan padanya lain kali saja. Mungkin. ( )

Mataram, 14 September 2015

_____________________________________

*) Cerpen ini masuk nominasi pemenang Lomba Sastra dan Seni ke-3 Universitas Gajah Mada, 2015.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun