“Kita suka melakukan sesuatu yang sama di waktu yang berbeda, ya?” celetuknya tiba-tiba.
Mungkin, kataku dalam hati—meski sebenarnya aku kurang suka dengan menu pilhannya. Tapi tentu saja ia tidak tahu, karena aku tak akan mengatakan alasannya kepadanya.
“Sejak kapan kau suka itu?” tanyaku.
Ia tertawa sebelum menjawab. Aku baru sadar, itu pertanyaan yang sama seperti yang kuajukan kemarin.
“Kau suka mengulang pertanyaan yang sama di waktu yang berbeda, ya?”
“Aku penasaran.”
“Kau ingin tahu ceritanya?”
Aku mengangguk. Tiba-tiba aku berharap, ia benar-benar menceritakan sesuatu di balik segelas chocolate parfait itu. Ia kembali menikmati sesendok demi sesendok es krim yang menggiurkan itu. Diam-diam aku mencari-cari sesuatu yang ada dalam dirinya. Aku melirik tangannya. Urat-urat pada lengannya mencuat. Jari-jarinya yang kuat dibiarkan polos begitu saja. Tak ada cincin batu akik, atau –katakanlah— cincin kawin. Lalu terlintas begitu saja di benakku, tentang seorang laki-laki yang selalu mencopot cincin kawinnya setiap kali bertemu seorang perempuan. Aku lupa, kapan dan di mana pernah membaca cerita seperti itu. Atau, hal seperti itu memang sudah menjadi kebiasaan beberapa laki-laki?
“Sejak dulu aku sering berkunjung ke restoran ini. Aku senang dengan suasananya. Tapi aku jarang memesan es krim. Aku sebenarnya juga tidak begitu suka steak. Lalu pada suatu hari…” ia berhenti sejenak, mengambil sesendok es krim dan mengulumnya perlahan.
“Lalu pada suatu hari aku bersama seseorang. Hari-hari berikutnya, dalam waktu yang cukup lama, aku sering bersamanya di tempat ini. Kau tahu, apa yang selalu kami pesan?”
“Chocolate parfait,” kataku tiba-tiba.