“Sejak aku kembali ke kota ini,” jawabnya seraya menjilat lelehan es krim yang tertinggal di sudut bibirnya.
Dulu ia kuliah di kotaku, dan kami satu kampus. Aku mengenalnya pada tahun-tahun terakhir masa kuliah. Ia anak teknik, aku anak ekonomi. Kami sering bertemu di perpustakaan ketika mencari bahan untuk merampungkan tugas akhir. Yang paling kuingat, ia selalu duduk di pojok dekat jendela dengan kertas gambar di dekatnya dan sebuah pensil yang terselip di telinganya. Sesekali kami mengobrol, atau bertegur sapa seperlunya. Tidak ada yang istimewa. Aku bahkan tidak tahu nomor kontaknya. Kalau saja sebulan lalu ia tidak mengirimkan pertemanan di akun facebook-ku, aku mungkin saja sudah lupa dan tidak tahu bagaimana cara menghubunginya.
Ya, kalau saja penerbangan ke kota asalku tidak dibatalkan gara-gara kabut asap, mungkin aku tidak berjumpa dengannya hari ini. Tiga jam lalu aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan di kota yang baru kukunjungi pertama kali ini. Lalu tiba-tiba namanya menyelinap dalam pikiranku dan aku berusaha menghubunginya. Aku bertanya padanya perihal hotel yang mudah dijangkau dari bandara. Ia memberikan saran agar aku menunggu di bandara saja. Sekitar setengah jam berikutnya ia menjemputku dengan sebuah taksi. Mobilnya sudah dua hari masuk bengkel, katanya. Aku jadi merasa tidak enak karena telah merepotkannya. Tapi ia cuek. Ia juga sabar menungguku di lobi hotel saat aku sedang ceck in. Lalu ia menyarankan agar aku mencoba kuliner di restoran tua ini. Untuk membunuh waktu selama menunggu, katanya.
“Ini kunjungan pertamamu di kota ini kan?”
Aku mengangguk.
“Akan ada kunjungan lain setelah ini?”
“Untuk apa?”
“Untuk memesan es krim lagi,” katanya sambil tertawa renyah. Gigi kanan atasnya gingsul ternyata— sesuatu yang tak pernah kuperhatikan sebelumnya. “Maaf, hanya bercanda.”
Memang tidak menutup kemungkinan bagiku untuk berkunjung lagi ke kota ini. Kukatakan padanya bahwa aku sedang dalam perjalanan bisnis. Perusahaan properti tempatku bekerja memiliki cabang di beberapa kota. Faktanya, di kota inilah induk perusahaan itu berada. Jadi, setiap tahun ada pertemuan evaluasi yang harus dihadiri oleh setiap perwakilan cabang.
“Kau sendiri bagaimana, makin sibuk dengan desainmu?” tanyaku.
“Oh, aku, sedikit-sedikitlah. Tapi aku tidak lagi merancang gedung-gedung yang membuat kota ini semakin panas dari waktu ke waktu.”