“Tepat sekali.”
Lantas ia bercerita, bahwa apa yang telah dialaminya seperti sebuah drama. Ia tak pernah menduga jika drama itu telah berkisah terlalu jauh. Hingga pada suatu hari ia masih menemukan dirinya di tempat yang sama dengan menu yang sama.
“Yang membedakannya cuma satu. Aku duduk sendirian saja di meja ini,” katanya.
Jika ceritanya benar, itu cukup dramatis. Apa mungkin ia tahu, ada cerita lain yang lebih dramatis di balik segelas es krim? Ceritanya tidak sampai di situ saja ternyata. Kini, mantan kekasihnya itu telah hidup bahagia bersama kakak kandungnya di kota ini.
“Kau ini aneh,” kataku kemudian, “setahuku, cara membunuh kenangan adalah dengan membakar foto-foto lama, tidak mendengarkan lagu-lagu nostalgia, dan tidak memesan menu yang sama di sebuah restoran yang sama.”
Dia tersenyum mendengar apa yang kukatakan. Lalu katanya, “Pengidap fobia tak akan pernah bisa sembuh hanya dengan menghindari penyebabnya. Tapi harus melawannya.”
Aku cukup tercenung dengan apa yang dikatakannya. Itu mungkin teoritis. Atau jangan-jangan dia benar? Aku tak tahu. Yang kutahu, ingatan itu datang kembali. Ingatan tentang seseorang yang telah hidup bersamaku sekian lama. Seseorang yang sering mengajakku menikmati chocolate parfait bersama-sama. Itu dulu, di tempat berbeda di kotaku, sebelum akhirnya segalanya menjadi berubah dan kami merencanakan sebuah perpisahan.
“Jadi, apa akan ada kunjungan lain setelah ini?” tanyanya, sesaat membuyarkan ingatanku.
“Untuk apa?” tanyaku.
“Untuk segelas chocolate parfait,” jawabnya sambil tertawa. Gigi kanan atasnya gingsul. Dan itu membuatnya tampak lebih manis.
Tidak jelas dia sedang bercanda atau tidak. Tapi aku sempat memikirkan jawabannya. Mengingat pekerjaanku, tidak menutup kemungkinan bagiku untuk berkunjung lagi ke kota ini. Selanjutnya aku berharap agar bencana asap ini akan segera berakhir. Bagaimanapun aku harus cepat kembali ke kotaku. Minggu ini, aku akan menghadiri sebuah persidangan untuk mendengarkan sebuah keputusan terakhir. Keputusan yang akan membuat kehidupan rumah tangga seseorang berubah selamanya. Keputusan yang berat untuk ditanggung sendirian. Tapi tentu saja, ia tidak tahu. Sebab aku tak akan menceritakan kepadanya. Lagi pula, apa istimewanya perempuan yang menceritakan bahwa dirinya sedang di ambang perceraian?