"Aku mau saja kalau kau tak keberatan."
      "Tidak, tapi bayar sendiri ya? Aku tidak bawa uang cukup untuk tiga orang. Ini spontanitas saja, baru terlintas di kepalaku tadi untuk merayakannya."
      "Tak apa. Ridan, kau ikut?"
      "Baiklah, aku ikut," sahut Ridan setelah berpikir singkat.
      "Kau betul-betul tak mau ke rumah duka melihat kremasi Siya?" Jani menanyakan Tuar.
      "Tidak. Nanti kita tanyakan saja cerita detilnya pada teman kita yang ikut pergi ke sana. Malas aku, masih mengkal rasanya gara-gara masalah yang dibuatnya."
      "Ya, akibat komentar Siya soal istrimu, Etona kan? Kau bilang Siya mencelanya karena olah raga lari pagi pakai baju terlalu terbuka, mau menggoda para pemuda. Kau sampai memukul dan menampar mulutnya. Untung saja dilerai banyak orang sebelum berlanjut. Orang itu memang tak bisa mengontrol cara bicaranya," Ridan menggelengkan kepala mengingat insiden itu.
      "Memang. Hanya karena Mawe minta maaf sampai menangis, tak enak hati aku dan Etona, barulah kami anggap masalah selesai dan dilupakan walaupun dalam hati aku masih sering kesal. Kalau bukan karena keramahan dan kebaikan Mawe, kami tak akan sudi melayat ke rumahnya. Baiklah, kupikir memang pantas juga merayakan kematian Siya dengan makan-makan. Ayo kita pergi sekarang," kata Tuar.
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H