"Apa kau kira Siya orang penting untuk dihadiri acara pemakamannya? Apa sih yang kau pikirkan?" Tuar bertambah sebal.
      "Yah, siapa tahu kau mau melakukan tindakan belasungkawa sampai tuntas."
      "Tidak, cukup datang melayat ke rumahnya saja semalam. Tak perlu sampai ikut ke acara pemakamannya. Kau saja kalau begitu penasaran."
      "Tidak, terlalu berlebihan juga bagiku kalau mengingat ulah dan tingkah Siya selama ini pada kita," tolak Jani.
      "Aku juga," timpal Ridan yang baru buka suara.
      "Itulah maksudku. Terlalu berlebihan kalau sampai ikut semua acara duka sampai tuntas kalau mengingat kelakuan Siya yang minta ampun bikin kesalnya. Seharusnya kau sudah mengerti tanpa perlu dijelaskan," kata Tuar.
      "Ya memang. Aku hanya penasaran saja di mana Siya akan dikuburkan," Jani membela diri.
      "Tanyakan saja langsung, tapi jangan aku," Tuar memberi usul.
      "Kenapa tidak kirim pesan lewat gawai saja? Atau tanyakan pada teman dan tetangga kita yang lain. Barangkali mereka ada yang tahu atau ikut acara penguburan," Ridan melontarkan saran.
      Tuar dan Jani saling menatap dan menunggu satu sama lain, tak satupun yang mau mengirim pertanyaan karena enggan meluangkan waktu untuk hal itu. Penasaran tapi tak mau bertanya karena dihalangi rasa antipati yang sudah sangat tebal kepada mendiang.
      "Kenapa kau tak kirim pertanyaan itu pada Mawe atau Catano? Atau mungkin Forason?" tantang Tuar pada Jani.