"Dia pasti dimasukkan ke dalam peti, bukan dibakar secara terbuka," Ridan menerangkan.
      "Ya tetap saja dibakar, pakai peti atau tidak. Tapi kutanya kau Tuar, kau mau ke sana melihatnya dibakar?"
      "Tidak. Aku cuma bilang kalau aku tahu lokasi rumah duka itu. Tapi kau bilang dibakar, rasanya kasar. Lagipula kan memang lebih sopan kata kremasi," sahut Tuar.
      "Sama sajalah. Intinya tubuh hangus dan hancur jadi abu karena api. Dan untuk apa bersopan-sopan pada Siya meski dia sudah mati? Waktu hidup tak pernah dia menghormati orang atau punya tata krama. Aku masih ingat, anakku pulang malam karena ada latihan ekstra kurikuler di sekolah dan ikut kursus tambahan. Waktu mereka berpapasan, Siya menuduh anakku keluyuran tak keruan dan bukan pulang setelah sekolah, lalu memarahinya seolah-olah dia ayah anakku dan merasa lebih tahu, memberi nasehat ini itu sambil menyindirku sebagai ayah yang tak becus mengurus anak sendiri. Marahlah aku, dan kau tahu sendiri kami jadi ribut. Jadi untuk apa aku harus memakai kata yang sopan padanya?" Jani bicara panjang dan penuh semangat sekaligus kesal.
      "Ya aku mengerti. Siya memang suka membuat masalah dengan semua orang. Aku pun tak luput dari ulahnya. Kau masih ingat kan? Aku sedang membetulkan atap rumah, dia kebetulan lewat, bertanya macam-macam. Mencela caraku lalu memberi tahu cara yang benar atau menyuruh panggil tukang saja. Aku malas menanggapinya, tapi dia terus saja mengoceh sampai habis sabar aku, lalu meneriakinya. Bisanya cuma mengganggu orang bekerja dan tak membantu sama sekali. Lalu dia membalas tapi aku lupa apa katanya. Pokoknya kami juga jadi ribut dan saking kesalnya, aku batal memperbaiki atap sampai selesai hari itu," imbuh Ridan.
      "Dan aku yakin, kita semua senang Siya sudah mati, maaf, maksudku meninggal," kata Tuar.
      "Untuk apa minta maaf pada kami? Lagipula tak apa-apa kau pakai kata mati, terlalu bagus untuk Siya dipilih kata meninggal. Orang seperti itu. Tapi sudahlah, mari kita peringati hari kematiannya dengan makan dan minum yang enak," kata Jani sambil memberi usul.
      "Merayakan kematian orang yang mengganggu ketenangan di lingkungan kita. Bisa-bisanya kau berpikir begitu, apa tidak keterlaluan?" tegur Ridan.
      "Diktator saja waktu mati, rakyat bersuka ria. Kenapa hanya seorang perusuh di kompleks kita mati, aku tidak boleh menyalurkan rasa senang?" tukas Jani ketus.
      "Yah kalau kau mau begitu, silakan saja. Tapi sudah kau pikirkan mau makan di mana?"
      "Di restoran di seberang gang masuk lingkungan kita, Tuar. Kau mau ikut?"