Mohon tunggu...
vhalespi
vhalespi Mohon Tunggu... Wiraswasta - penulis dan wiraswasta

penulis, hobi membaca, menulis dan sejumlah hobi di banyak minat dan bidang lainnya

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

(Cerita 4 Bagian) Kematian yang Dirayakan Bagian 3/4

12 Juli 2023   06:00 Diperbarui: 12 Juli 2023   06:11 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kematian yang dirayakan

            "Yang sudah berlalu biarlah berlalu. Kapan Siya dikuburkan?" tanya Jani menengahi keduanya.

            Kali ini Tuar tampak kikuk, menyahut dengan suara pelan dan tak jelas.

            "Aku juga tak menanyakan hal itu."

            "Loh? Kenapa?"

            "Tak terpikir untuk datang ke acara pemakamannya. Lagipula kalau kalian jadi aku, apa kalian betah berlama-lama di rumah orang yang sudah sering membuatmu kesal?"

            Ridan dan Jani menggeleng serempak.

            "Mau ke rumahnya?" usul Jani.

            "Untuk apa?? Kau begitu penasaran ingin tahu kapan dia dimakamkan dan di mana kuburannya?" sahut Tuar, masih kesal sekaligus heran.

            "Barangkali kau mau ke sana lagi untuk menanyakan pada Mawe," jawab Jani.

            "Apa kau kira Siya orang penting untuk dihadiri acara pemakamannya? Apa sih yang kau pikirkan?" Tuar bertambah sebal.

            "Yah, siapa tahu kau mau melakukan tindakan belasungkawa sampai tuntas."

            "Tidak, cukup datang melayat ke rumahnya saja semalam. Tak perlu sampai ikut ke acara pemakamannya. Kau saja kalau begitu penasaran."

            "Tidak, terlalu berlebihan juga bagiku kalau mengingat ulah dan tingkah Siya selama ini pada kita," tolak Jani.

            "Aku juga," timpal Ridan yang baru buka suara.

            "Itulah maksudku. Terlalu berlebihan kalau sampai ikut semua acara duka sampai tuntas kalau mengingat kelakuan Siya yang minta ampun bikin kesalnya. Seharusnya kau sudah mengerti tanpa perlu dijelaskan," kata Tuar.

            "Ya memang. Aku hanya penasaran saja di mana Siya akan dikuburkan," Jani membela diri.

            "Tanyakan saja langsung, tapi jangan aku," Tuar memberi usul.

            "Kenapa tidak kirim pesan lewat gawai saja? Atau tanyakan pada teman dan tetangga kita yang lain. Barangkali mereka ada yang tahu atau ikut acara penguburan," Ridan melontarkan saran.

            Tuar dan Jani saling menatap dan menunggu satu sama lain, tak satupun yang mau mengirim pertanyaan karena enggan meluangkan waktu untuk hal itu. Penasaran tapi tak mau bertanya karena dihalangi rasa antipati yang sudah sangat tebal kepada mendiang.

            "Kenapa kau tak kirim pertanyaan itu pada Mawe atau Catano? Atau mungkin Forason?" tantang Tuar pada Jani.

            "Kenapa harus aku? Kenapa bukan kau?" balas Jani.

            "Sudah!!! Biar aku saja yang tanyakan!" hardik Ridan, membuat kaget kedua sejawatnya.

            Ridan menggerakkan jari-jarinya di atas layar gawainya, terdengar nada kirim lalu dia bergeming menunggu. Hampir satu menit kemudian terdengar nada pesan masuk yang dengan cepat dibaca lalu menatap kedua pria dihadapannya.

            "Bukan dikubur, tapi dikremasi," katanya singkat.

            "Kau bertanya pada siapa? Mawe?" tanya Jani.

            "Bukan, ke semua teman kita dengan fitur penyebar pesan ke semua orang tapi yang menjawab Catano. Hari ini keluarga Siya dan Mawe berangkat dari rumah ke rumah duka bersama rahib yang akan membawakan doa dan upacara berkabung      ."

            "Hari ini juga dikremasi? Di mana? Kenapa Catano mau ikut?" cecar Tuar.

            "Sebentar aku tanyakan detilnya dulu," jawab Ridan. Jari-jarinya kembali bergerak di atas layar alat komunikasinya, terdengar nada kirim, menunggu lalu bunyi nada balasan.

            "Catano tidak ikut, dia kebetulan ingat bertanya pada Mawe waktu melayat kemarin malam. Soal kapan dikremasi, dia tidak tahu. Tempatnya di rumah duka di pinggir kota," Ridan membaca pesan sambil bicara.

            "Aku tahu letak rumah duka itu," sahut Tuar.

            "Kau mau ke sana? Mau melihat jenazah Siya dibakar?" celetuk Jani.

            "Dia pasti dimasukkan ke dalam peti, bukan dibakar secara terbuka," Ridan menerangkan.

            "Ya tetap saja dibakar, pakai peti atau tidak. Tapi kutanya kau Tuar, kau mau ke sana melihatnya dibakar?"

            "Tidak. Aku cuma bilang kalau aku tahu lokasi rumah duka itu. Tapi kau bilang dibakar, rasanya kasar. Lagipula kan memang lebih sopan kata kremasi," sahut Tuar.

            "Sama sajalah. Intinya tubuh hangus dan hancur jadi abu karena api. Dan untuk apa bersopan-sopan pada Siya meski dia sudah mati? Waktu hidup tak pernah dia menghormati orang atau punya tata krama. Aku masih ingat, anakku pulang malam karena ada latihan ekstra kurikuler di sekolah dan ikut kursus tambahan. Waktu mereka berpapasan, Siya menuduh anakku keluyuran tak keruan dan bukan pulang setelah sekolah, lalu memarahinya seolah-olah dia ayah anakku dan merasa lebih tahu, memberi nasehat ini itu sambil menyindirku sebagai ayah yang tak becus mengurus anak sendiri. Marahlah aku, dan kau tahu sendiri kami jadi ribut. Jadi untuk apa aku harus memakai kata yang sopan padanya?" Jani bicara panjang dan penuh semangat sekaligus kesal.

            "Ya aku mengerti. Siya memang suka membuat masalah dengan semua orang. Aku pun tak luput dari ulahnya. Kau masih ingat kan? Aku sedang membetulkan atap rumah, dia kebetulan lewat, bertanya macam-macam. Mencela caraku lalu memberi tahu cara yang benar atau menyuruh panggil tukang saja. Aku malas menanggapinya, tapi dia terus saja mengoceh sampai habis sabar aku, lalu meneriakinya. Bisanya cuma mengganggu orang bekerja dan tak membantu sama sekali. Lalu dia membalas tapi aku lupa apa katanya. Pokoknya kami juga jadi ribut dan saking kesalnya, aku batal memperbaiki atap sampai selesai hari itu," imbuh Ridan.

            "Dan aku yakin, kita semua senang Siya sudah mati, maaf, maksudku meninggal," kata Tuar.

            "Untuk apa minta maaf pada kami? Lagipula tak apa-apa kau pakai kata mati, terlalu bagus untuk Siya dipilih kata meninggal. Orang seperti itu. Tapi sudahlah, mari kita peringati hari kematiannya dengan makan dan minum yang enak," kata Jani sambil memberi usul.

            "Merayakan kematian orang yang mengganggu ketenangan di lingkungan kita. Bisa-bisanya kau berpikir begitu, apa tidak keterlaluan?" tegur Ridan.

            "Diktator saja waktu mati, rakyat bersuka ria. Kenapa hanya seorang perusuh di kompleks kita mati, aku tidak boleh menyalurkan rasa senang?" tukas Jani ketus.

            "Yah kalau kau mau begitu, silakan saja. Tapi sudah kau pikirkan mau makan di mana?"

            "Di restoran di seberang gang masuk lingkungan kita, Tuar. Kau mau ikut?"

            "Aku mau saja kalau kau tak keberatan."

            "Tidak, tapi bayar sendiri ya? Aku tidak bawa uang cukup untuk tiga orang. Ini spontanitas saja, baru terlintas di kepalaku tadi untuk merayakannya."

            "Tak apa. Ridan, kau ikut?"

            "Baiklah, aku ikut," sahut Ridan setelah berpikir singkat.

            "Kau betul-betul tak mau ke rumah duka melihat kremasi Siya?" Jani menanyakan Tuar.

            "Tidak. Nanti kita tanyakan saja cerita detilnya pada teman kita yang ikut pergi ke sana. Malas aku, masih mengkal rasanya gara-gara masalah yang dibuatnya."

            "Ya, akibat komentar Siya soal istrimu, Etona kan? Kau bilang Siya mencelanya karena olah raga lari pagi pakai baju terlalu terbuka, mau menggoda para pemuda. Kau sampai memukul dan menampar mulutnya. Untung saja dilerai banyak orang sebelum berlanjut. Orang itu memang tak bisa mengontrol cara bicaranya," Ridan menggelengkan kepala mengingat insiden itu.

            "Memang. Hanya karena Mawe minta maaf sampai menangis, tak enak hati aku dan Etona, barulah kami anggap masalah selesai dan dilupakan walaupun dalam hati aku masih sering kesal. Kalau bukan karena keramahan dan kebaikan Mawe, kami tak akan sudi melayat ke rumahnya. Baiklah, kupikir memang pantas juga merayakan kematian Siya dengan makan-makan. Ayo kita pergi sekarang," kata Tuar.

BERSAMBUNG

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun