"Entahlah, barangkali kebiasaan makan yang buruk. Aku tak tanyakan lebih banyak pada Mawe, dia sedang berduka dan harus mengurus surat kematian Siya."
      "Kau tak menemaninya?" tanya Jani.
      "Sudah ada ibu Mawe dan beberapa kerabatnya yang tak kukenal. Rupanya dia sudah menghubungi mereka saat kejadian. Tak ada urusan lagi aku di sana, jadi pulanglah aku. Lalu istirahat di rumah sambil menunggu jawaban kalian. Tapi karena tak ada balasan, ke sinilah aku datang mencari karena tahu kebiasaan kalian."
      "Ahh, begitu rupanya," timpal Tuar.
      "Siapa saja yang tahu?" tanya Jani.
      "Semua di lingkungan kita, kalian yang terakhir," sahut Ridan dengan wajah agak mencemooh karena kedua kenalannya menjadi yang terakhir menerima kabar.
      "Masih lebih baik jadi yang terakhir daripada tidak dapat kabar apapun," kilah Tuar, kembali membela diri, menepis malu.
      "Kau akan datang ke rumahnya? Melayat dan mengucapkan turut berduka cita?" tanya Jani, ikut mengalihkan.
      "Tidak. Aku tak berduka dengan kematian Siya, bahkan sekedar ucapan belasungkawa pada Mawe. Kalian?"
      "Aku juga tidak, tak ada rasa sedih. Senang aku mendengar dia mati," tutur Jani.
      "Sama halnya denganku, tapi aku akan datang sekedar menjadi tetangga yang baik," kata Tuar.