Mohon tunggu...
vhalespi
vhalespi Mohon Tunggu... Wiraswasta - penulis dan wiraswasta

penulis, hobi membaca, menulis dan sejumlah hobi di banyak minat dan bidang lainnya

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

(Cerita 4 Bagian) Kematian yang Dirayakan Bagian 1/4

10 Juli 2023   06:00 Diperbarui: 10 Juli 2023   08:19 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kematian yang dirayakan

            "Siya sudah mati!" seru lelaki setengah baya itu

            "Yang benar??" sahut laki-laki lain yang sedang menikmati kudapan di warung.

            "Sungguh! Bukan dusta, tak pula kabar angin," jawab lelaki pertama.

            "Kau tak salah dengar?" tanya pria ketiga yang berkumis tipis.

            "Telingaku masih tajam menangkap suara yang diucapkan orang. Ini kudengar sendiri langsung dari mulut istrinya," tutur lelaki pertama dengan tak sabar, jengkel diduga salah dengar.

            "Mawe? Dia yang mengatakan sendiri kabar gembira, maaf, maksudku kabar duka itu?" orang kedua bertanya.

            "Betul, Mawe sendiri, istri Siya yang setia itu."

            "Apa sebabnya? Siya belum terlalu tua walau tak lagi muda. Mawe mengatakan pada kau, Ridan?" tanya si kumis tipis.

            "Gagal jantung, mendadak. Tadi pagi dia masih bugar dan beraktivitas seperti biasanya. Menyantap sarapan, lalu akan pergi hendak melakukan suatu urusan, berganti baju untuk keluar rumah. Tiba-tiba dia jatuh, wajahnya merah, napasnya terengah-engah, meremas dada. Mawe ada bersamanya sekamar, mengambilkan baju ganti dan memegang yang baru dilepas, menunggu sampai suaminya selesai," jawab Ridan, si lelaki pertama.

            "Kapan hal itu terjadi?" tanya lelaki kedua.

            "Empat jam yang lalu, Tuar, Aku baru diberitahunya tadi saat tak sengaja bersua di rumah sakit. Aku sedang cek rutin kondisiku saat kulihat Mawe turun dari ambulans dengan Siya di atas ranjang yang dilarikan ke UGD. Penasaran aku, jadi kususul mereka sambil memanggil Mawe yang semula tak mendengar. Setelah Siya masuk ruangan dan Mawe tak boleh ikut masuk, sadarlah ia aku memanggilnya. Kutanyakan padanya apa yang terjadi dan itulah kisahnya."

            "Dan kau baru mengabarkan kami sekarang?" protes Tuar, karena begitu lama hal itu baru dikatakan.

            "Kukirim pesan singkat pada istriku, kalian dan semua orang lain yang nomornya tersimpan di gawaiku. Kalian tak menerimanya?" Ridan membela diri.

            Tuar dan si kumis tipis berlekas-lekas menatap layar gawai masing-masing, saling memandang dan tampak malu.

            "Ya ada," jawab si kumis tipis.

            "Kenapa kalian tak melihatnya empat jam lalu?"

            "Aku bersama istriku empat jam lalu, kau tahulah kami sedang apa," Tuar menjawab sambil menaikkan alis dua kali dengan wajah senang.

            Ridan menggeleng dengan senyum tersungging, ditatapnya pria ketiga sambil bertanya, "Dan kau, Jani?"

            "Aku belum bangun, bergadang semalam, menonton pertandingan, lupa melihat pesan yang masuk," kata Jani, si kumis tipis.

            "Tidak penting kami terlambat membaca pesanmu. Tapi bukankah Siya sedikit lebih muda dari kita? Kenapa bisa kena serangan jantung?" tanya Tuar mencoba mengalihkan masalah.

            "Entahlah, barangkali kebiasaan makan yang buruk. Aku tak tanyakan lebih banyak pada Mawe, dia sedang berduka dan harus mengurus surat kematian Siya."

            "Kau tak menemaninya?" tanya Jani.

            "Sudah ada ibu Mawe dan beberapa kerabatnya yang tak kukenal. Rupanya dia sudah menghubungi mereka saat kejadian. Tak ada urusan lagi aku di sana, jadi pulanglah aku. Lalu istirahat di rumah sambil menunggu jawaban kalian. Tapi karena tak ada balasan, ke sinilah aku datang mencari karena tahu kebiasaan kalian."

            "Ahh, begitu rupanya," timpal Tuar.

            "Siapa saja yang tahu?" tanya Jani.

            "Semua di lingkungan kita, kalian yang terakhir," sahut Ridan dengan wajah agak mencemooh karena kedua kenalannya menjadi yang terakhir menerima kabar.

            "Masih lebih baik jadi yang terakhir daripada tidak dapat kabar apapun," kilah Tuar, kembali membela diri, menepis malu.

            "Kau akan datang ke rumahnya? Melayat dan mengucapkan turut berduka cita?" tanya Jani, ikut mengalihkan.

            "Tidak. Aku tak berduka dengan kematian Siya, bahkan sekedar ucapan belasungkawa pada Mawe. Kalian?"

            "Aku juga tidak, tak ada rasa sedih. Senang aku mendengar dia mati," tutur Jani.

            "Sama halnya denganku, tapi aku akan datang sekedar menjadi tetangga yang baik," kata Tuar.

            "Untuk apa bersikap baik padahal kau tahu sendiri seperti apa Siya," sanggah Ridan.

            "Tapi Mawe baik dan ramah, kepadanyalah aku memberi hormat dan duka."

            Ridan dan Jani mengangguk maklum. Keduanya terdiam sementara Ridan memesan makanan dari warung dan membayar.

            "Kapan kau akan ke sana?" tegur Jani pada Tuar.

            "Mungkin nanti sore atau malam. Bersama istriku, Etona."

            "Kau yakin akan ke sana?" tanya Ridan.

            "Ya. Kenapa?"

            "Bagaimana kalau hanya kalian berdua yang datang ke sana? Tak ada orang lain yang melayat atau ikut mengucapkan duka, masih yakinkah kau untuk pergi?"

            Tuar terdiam dan berpikir lalu mengangkat bahu dan berucap, "Entahlah, lihat saja nanti. Akan kukatakan pada Etona dan kami putuskan bersama."

            "Beri kabar kalau kau tetap datang ke sana. Mungkin Mawe bisa cerita lebih banyak penyebab kematian Siya," kata Ridan.

            "Kenapa tidak kau tanyakan sendiri?"

            "Sudah kubilang aku tak mau datang, meski untuk mengucapkan duka cita pada Mawe. Siya sudah sangat menyinggung perasaanku, tentu kau tahu itu."

            “Ya, kami tahu itu. Semua orang juga tahu. Semua yang dibuat tersinggung oleh Siya dan Mawe yang harus menanggung malu,” sahut Jani.

            “Baik, akan kukabari kalau nanti Mawe mau bicara padaku.”

BERSAMBUNG

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun