Mohon tunggu...
Abdi Galih Firmansyah
Abdi Galih Firmansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang

Menebar benih kebaikan, menyemai bunga peradaban, panen kebahagiaan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mbah Lim

6 September 2024   17:03 Diperbarui: 6 September 2024   17:03 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ketika Tuhan tersenyum melihat manusia berperan sesuai fungsi, sumber kehidupan itu diterjunkan deras sekali. Orang-orang pasar sibuk memayungi dagangan mereka dengan caranya masing-masing. Sembari menyeberangkan pelanggan, Rano menyemprit peluit seberisik mungkin agar segera membangunkan Kasdi yang pulas bersama becak yang mangkrak di emperan jalan. Di sudut lain, Si gadis sibuk menggedor pintu toilet, sedang di dalam ada pemuda yang baru saja tergopoh masuk kebelet beol.

"Mas, di luar hujan deras. Dagangan sampeyan segera diamankan!" ujar Mbak Imah.

"Iya Im. Minta tolong kamu amankan dulu ya!" teriak Mas Pri dari dalam.

Kata Ayahku, itulah naluri orang pasar: saling mengenal dan mengingatkan. Rata-rata mereka memiliki satu nilai pasti, yaitu sikap gamblang. Tak pernah ada sungkan. Semuanya dilakukan dan diomongkan impulsif.

Sore itu, kulihat suasana pasar begitu asri. Aroma hujan menyisipkan marem kala aku singgah sambil kutonton mereka meloncat-loncat. Aku pun selalu tersenyum kala mendengar mereka merintikkan kaki. Bersama orang pasar, mereka adalah simbol kemesraan yang dilukis langsung oleh tangan Tuhan. Pelikku mendadak hilang, yang tersisa hanyalah kesadaran bahwa hujan menyimpan ketuahan segar dan menawarkan ayem kepada semua. Andaikan dunia ini tanpa hujan, selain bumi, jiwa pun lebih kering lagi.

Orang-orang pasar masih sibuk menata ulang dagangan mereka. Namun, Pak Tua bersikap beda. Ia anteng menikmati hujan bersama rokok Dji Sam Soe dan alunan musik melayu melalui radio klasiknya. Begitu tenang menyeduh kopi sembari senyum-senyum sendiri. Dari jauh kulihat tempat itu sangat cocok buat nongkrong sekaligus meneduh.

Tetapi, kedai itu aneh, ia sama sekali tak dimampiri hujan, sedangkan anak-anak tuhan itu terlihat suka sekali menciprat kepada lapak orang-orang. Kedai itu seperti menyimpan payung gaib.

Aku terbirit kecil-kecilan mencoba menyusup ke dalam. Tak sepatah kata pun keluar, sama sekali tak menawariku seperti halnya penjual yang lain.

 "Permisi, kopi hitamnya satu Mbah," Hanya anggukan dagu dan raut datar yang kulihat.

Gelagatnya misterius, menandakan ia adalah orang yang antik. Wajahnya mencerminkan kematangan hidup. Tampilannya seperti manusia jawa tulen. Aku tak bisa menguraikan ciri orang ini lebih jauh, ia sulit dideskripsikan. Mbah Lim dikenal sebagai penjual kopi yang super cuek. Hanya orang beruntung saja yang diajak bicara sama dia. Menurut gosip yang kudengar, Mbah Lim itu bisa melihat isi hati seseorang. Ketika ketemu dengan yang hatinya bening, gembiranya bukan main. Orang itu diajak guyon, ngobrol ngalor-ngidul, ketawa-ketawa sampai puas. Namun sebaliknya, yang hatinya kotor sudah pasti tak dihiraukan sama sekali. Seperti dianggap tak ada.

Mbah Lim kerap bertingkah absurd di hadapan orang-orang pasar. Kiai terkenal di daerah itu menyebut bahwa Mbah Lim jadzab. Mereka pernah dibuat geger olehnya, lantaran ia berteriak sambil marah-marah di tengah keramaian.

"Hei sudah gilakah kalian! ayo hormat, tundukkan kepala, itu ada Kanjeng Nabi lewat!"

Aku tak begitu faham dengan orang ini. Aneh.

Sementara, punggung jaketku kuyup diguyur hujan. Kulepas dan kutaruh di kursi kiri yang kosong. Kebetulan, hanya aku satu-satunya pelanggan sore itu. Kesal menjadi muncul, ketika mengingat buku catatanku yang terbang dilibas angin dan dilindas hujan waktu di jalan. Aku jengkel dengan kondisi jalan berlubang yang kian hari semakin hancur.

 "Hidup sebaiknya sabar, walau pahit. Seperti kopi ini" ujarnya sembari menaruh pesananku di atas meja berbahan sungkai.

 "Mas, hujan itu jangan dipandang sebagai tetesan yang mengganggu, disitu banyak nyawa yang terselip"

"Maksudnya nyawa apa Mbah?" tanyaku.

 "Lihat jaketmu itu, ia meresap"

"Lihat mereka yang haus, ia menyegarkan"

"Lihat mereka yang wudlu, ia menyucikan"

"Lihatlah hujan, ia menghidupi semua"

"Air itu nyawanya banyak sekali, Mas"

 Sesaat anganku melayang, teringat sosok wali mastur yang diceritakan guruku pada saat ngaji bandongan. Kekasih tuhan yang zahid. Tak terlihat seperti kiai, tetapi maqom-nya setara bahkan lebih dari kiai. Ia sengaja sembunyi dari umat. Tak mau dikenal wali. Bekharisma mentereng bagi orang sekelilingnya. Yang tahu mereka wali adalah yang sama walinya. Kakekku pernah berkata bahwa semua tempat ada penjaganya, ada walinya. Termasuk di pasar itu.

"Sampeyan mau tak kasih ilmu?"

"Ilmu apa Mbah?" jawabku.

Sejenak ia mengambil kertas dan menulis doa.

"Ambil daun beluntas, genggamlah sambil baca ini: Bismilllailladzi la yadlurru ma'asmihi syai'un fii al-ardli walaa fii as-sama'i wahuwa sami'un alim. Haluskan lalu usapkan ke sekujur tubuhmu, maka marabahaya tak akan menyentuhmu!"

"Terima kasih Mbah" aku hanya mengangguk sopan, meskipun hatiku meragukannya. Bagiku yang demikian hanyalah klenik belaka.

Entah mengapa tiba-tiba sikapnya begitu dingin. Menurut firasat, ia tak menghendaki aku berlama-lama di sini. Wajahnya tak sumringah. Pembicaraan kita tiba-tiba berhenti. Setelah kubayar kopiku, ia tak bercakap sepatah kata pun. Aku tak dihiraukan di akhir momen. Ia tampaknya mengetahui apa yang tak terlihat dalam diriku. Ia seperti menyesal telah ngobrol denganku.

Momen yang kutunggu, hari ini tiba saatnya setelah seminggu yang lalu aku, Mujas, dan Salam berencana mendaki bukit. Sehabis Isya, kami berangkat naik motor dari kampus. Sampai sana sekitar jam sembilan. Rembulan terlihat begitu utuh di langit, indah sekali. Begitupun juga dengan percikan bintang yang berkedip-kedip.

"Sekarang malam Jum'at Kliwon. Kata orang jawa, banyak makhluk gaib berkeliaran" bisik Mujas.

"Huss, kamu ini!" timpal Salam.

Sebelum memulai pendakian, kami makan malam dan pemanasan sebentar di basecamp. Pos pertama kami lampaui dengan mudah, tak ada yang aneh. Namun, di tengah perjalanan menuju pos dua, kami dikejutkan oleh suara azan bercengkok jawa. Padahal, waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Sejurus kemudian, suara perempuan nembang dan wewangian dupa membuat bulu kuduk kami berdiri. Kami pun mencoba untuk tenang, tak menanggapi serius.

 "Sudah pasti itu Jin!" bisik Mujas, dengan mimik wajah yang geram campur takut.

Tak lama kemudian, ringkikan kuda terpacu berdengkusan terdengar keras sekali. Seperti berlari menuju arah kami. Tanpa basa-basi, Mujas langsung lari sekencang-kencangnya, disusul Salam, dan aku paling belakang.

Setelah sekian menit berlari, kami memutuskan untuk berhenti. Nafas kami sudah tak kuat lagi. Tepat di pinggir semak dan ilalang, aku menemukan daun beluntas terurai. Ia tampak melambai-lambi, seperti merayu-rayu. Sejenak aku teringat doa yang diberikan Mbah Lim kala itu. Antara ragu dan yakin, kertas doa pun kubaca. Kugulung-gulung daun itu sampai hancur lalu kuusapkan ke sekujur tubuhku. Aku hanya mencoba, tak terlalu obsesi. Semoga ia tak bermaksud aneh-aneh. Mujas dan Salam juga kusuruh mengamalkan doa itu.

Dalam cuaca yang begitu menggigil, ada semacam kehangatan yang datang menyelimuti kami. Tubuhku yang sebelumnya berat ditiban tas carier, kini terasa ringan. Seakan ada yang menopang dari belakang. Aku gemetar ketakutan sambil menerka dalam batin. Kami merasa tidak sedang bertiga, melainkan berenam. Sejak perjalanan menuju pos dua, tak seorang pun kami temui. Kami seperti melewati jalur yang asing. Untuk menuju puncak, normalnya diperlukan waktu sekitar 5-6 jam. Tetapi, kami tempuh hanya sekitar dua jam saja. Suara-suara menyeramkan tadi juga sirep. Keanehan itu benar-benar terjadi.

Beberapa hari kemudian, Aku mendatangi kedai Mbah Lim. Ingin kuceritakan pengalaman mistis itu kepadanya. Mujas dan Salam pun kuajak. Tetapi sayang, warung itu tak ada. Aku menghampiri Kasdi yang sedang merokok santai di atas becak.

"Apakah warung Mbah Lim sudah tutup ya Mas?"

"Mbah Lim yang mana?"

"Bagaimana sampeyan ini, ya Mbah Lim penjual kopi di ujung situ Mas"

"Warung itu sudah tutup. Mbah Lim sudah meninggal dua bulan yang lalu, apakah kamu tidak tahu? Kamu ini ada-ada saja!" Ujar Kasdi.

"Ah, tidak mungkin. Wong saya minggu kemarin ngopi di sini". Aku sama sekali tak percaya dengan apa yang diberitakan Kasdi. Akan tetapi, setelah kutanyakan kepada Mbak Imah dan Mas Pri, aku tercengang. Badanku seperti kesetrum, kaget bukan main. Ternyata benar apa kata Kasdi. Mbah Lim sudah meninggal dua bulan silam.

"Lantas, siapakah orang yang kutemui waktu itu?" aku mencoba menyangsikannya. Barangkali pengalaman itu sebenarnya hanyalah mimpi yang seperti terasa nyata, orang barat menyebutnya vivid dreams.

Dua hari kemudian waktu liburan kuliah tiba. Momen yang menyimpan fatamorgana. Meskipun dijatah satu bulan, tetap saja terasa singkat, selalu seperti satu pekan. Di sela mengisi waktu liburan bersama keluarga, Mbah Lim masih menjadi misteri bagiku. Aku mengangan-angan,

"Siapakah Mbah Lim sebenarnya?" pikiranku tak karuan ketika mengingat saat di kedai itu. Aku tak tenang. Ingin sekali kuceritakan kepada Ayah, tetapi kuurungkan niat itu. Ia tak akan percaya. Aku pasti diangggap mengada-ngada. Apalagi kepada Ibu. Ia selalu menertawakan ceritaku. Lebih baik aku diam saja. Kubiarkan ingatan itu beterbangan, hilang ditelan malam.

Lamat-lamat suasana yang kurasakan begitu sunyi. Kemudian terdengar suara hujan dan celoteh orang-orang pasar. Kulihat ke kanan dan ke kiri, rupanya aku sedang duduk di kedai Mbah Lim seperti aku pertama kali duduk di sana sore itu. Tak ada penjual dan pembeli. Di sini hanya aku seorang diri. Inginku berdiri meninggalkan tempat ini, tapi tak bisa. Badanku seperti sudah diset terdiam di sini. Kupanggil nama Mbah Lim berkali-kali, tapi tak seorang pun muncul.

Kemudian aku melihat seorang kakek berjalan menuju arahku, berjubah putih-bersorban hijau sambil membawa tongkat di tangan kanan. Di samping kiri, tampak pemuda berwajah murung, berperawakan kacau digandengnya. Meski tanpa payung, badan mereka tak basah. Aku tak kenal mereka berdua. Tetapi, wajah orang yang digandeng itu sangat mirip denganku. Semakin ia mendekat aku agaknya kenal dengan wajah Si kakek pula.

"Lihatlah jiwamu ini, kotor sekali!" sentak kakek tersebut yang ternyata adalah Mbah Lim.

Aku terperanjat dari kasurku, segera kuminum air putih lalu kuludahkan ke kiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun